Jumat, 23 Mei 2014

Kang Komar: Kegaduhan Ruang Publik



Kegaduhan Ruang Publik
Oleh: Komaruddin Hidayat

Ruang publik semakin tidak nyaman dihuni, dilihat, dan didengarkan. Ada dua macam ruang publik yang ingin saya bahas di sini. Pertama yang bersifat fisik, yang kedua realitas simbol berupa wacana publik. Yang pertama kondisinya semakin parah, misalnya saja fasilitas jalan umum yang rusak dan macet.

Belum lagi bicara saluran air dan kondisi taman kota serta waduk penampungan hujan yang semakin tidak terurus dengan baik. Sungai kian dangkal dengan air yang kotor bercampur sampah. Ruang publik yang kian rusak ini sudah pasti berdampak negatif terhadap siapa pun dan sangat merugikan pertumbuhan generasi baru yang tengah lahir dan berkembang. Lantas, mari kita amati dan simak wacana dan pertunjukan yang terjadi di ruang publik baik yang disajikan televisi, surat kabar, majalah maupun media sosial seperti Twitter. Hampir mayoritas berita yang dominan bersifat negatif, tidak berkualitas. Bahkan cenderung merusak.

Di Twitter hujat-menghujat dan saling serang antarpendukung parpol dan tokoh politik tak pernah surut. Sampai-sampai muncul dugaan, semua itu dilakukan oleh sebuah tim yang terorganisasi dengan modal uang dan jaringan informasi. Siapa orangnya, kita tidak tahu karena tampil dengan nama samaran. Di era keterbukaan tentu saja semua itu hal yang biasa-biasa saja. Yang jelas disayangkan adalah jika berbagai informasi yang dilempar ke ruang publik itu berupa fitnah. Fitnah akan mudah termakan ketika disertai bumbu-bumbu sentimen keagamaan.

Seputar pileg dan menghadapi pilpres, berbagai berita, opini dan rekayasa serta fitnah kesemuanya berbaur sulit dibedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sekian banyak peristiwa hukum dan pidana juga dikait-kaitkan dengan opini politik. Politik dan pertarungan perebutan kekuasaan memenuhi ruang pemberitaan media massa. Bahwa bernegara, berbangsa, dan berdemokrasi itu artinya berebut kekuasaan. Bukan pemilu untuk memajukan pembangunan, tetapi kemenangan pemilu yang jadi agenda pokok setiap lima tahunan. Di antara pemilu ke pemilu adalah selingan dan konsolidasi.

Ketika seorang pejabat tinggi negara bekerja dengan baik, lalu hal itu ditafsirkan sebagai investasi agar pada pileg atau pemilu yang akan datang terpilih kembali. Atau bisa jadi memang obsesinya begitu. Di samping gosip politik seputar koalisi dalam pemilu nanti, sempat muncul juga kekhawatiran jangan-jangan pilpres yang jauh-jauh sudah direncanakan akan gagal terlaksana karena berbagai alasan. Mimpi buruk itu bisa datang karena KPU dianggap gagal melaksanakan pemilu sesuai dengan undang-undang atau karena koalisi untuk mendapatkan tiket ke panggung pertarungan tidak memenuhi ketentuan.

Kegaduhan seputar politik diramaikan lagi dengan terjeratnya pejabat tinggi negara oleh KPK. Setelah tokoh-tokoh Partai Demokrat dan beberapa politikus parpol lain masuk tahanan KPK, menyusul Akil Mochtar dan Hadi Poernomo yang keduanya merupakan ikon dari sebuah lembaga tinggi negara, yaitu MK dan BPK. Pasokan wacana dan tontonan ruang publik yang sudah rutin adalah sinetron, berita korupsi, politik, dan gosip selebritas serta mimbar agama. Tapi jika diamati, sangat sedikit informasi dan wacana yang memberikan kebanggaan dan inspirasi bagi anak-anak bangsa untuk terpanggil dan bangkit ikut serta membuat bangsa ini maju.

Ini bisa dibandingkan misalnya dengan Eropa yang dibuat gegap gempita oleh tontonan dan berita olahraga. Atau Korea Selatan dengan iklan inovasi teknologi serta musiknya. Atau beberapa negara lain yang selalu menyampaikan berita peresmian berbagai gedung dan fasilitas umum yang baru. Yang mengemuka di sini adalah kekecewaan pada kinerja wakil rakyat, kecewa pada kinerja birokrasi yang korup dan tidak produktif, ujian nasional yang menelan biaya mahal tetapi kualitas yang dihasilkan tidak naiknaik. Subsidi harga BBM yang mendekati Rp 300 triliun sehingga menambah macet karena jalan raya tidak bertambah.

Desentralisasi kekuasaan politik dan keuangan yang telah menyuburkan raja-raja kecil yang korup di daerah. Tenaga kerja Indonesia yang diperas baik di luar negeri maupun di Tanah Air dan sekian berita yang menenggelamkan informasi tentang berbagai capaian dan kemajuan bangsa ini. Sesungguhnya kegaduhan yang dimunculkan dari ranah politik itu wajar dan logis. Itu terjadi di negara mana pun. Namun kalau itu yang dominan dan membuat rakyat letih karena miskin inspirasi, motivasi, dan keteladanan, situasi ini amat merugikan dan membahayakan bagi masa depan bangsa karena kita akan kehilangan generasi tangguh dan cerdas.

Setiap anak yang lahir dan mau tumbuh berkembang langsung terhadang oleh suasana batin yang menghalangi loncatan perkembangan mereka. Yang menutupi dan membuat surut mimpi-mimpi besar dan langkah ke depan mereka. Lambat-laun dan ini sudah terjadi, yang akan menguasai jaringan dan pusat-pusat transaksi keuangan serta kekayaan alam adalah (beralih ke) orang asing. Anakanak bangsa cukup belajar, lalu dengan ijazah di tangan melamar kerja kepada mereka untuk bertahan hidup. Syukur-syukur bisa membeli gaya hidup untuk memenuhi mimpi dan dahaga hedonismenya.

Gaya hidup dengan ditopang aksesori yang mahal menjadi sangat penting untuk menitipkan atau menggantungkan dirinya agar kelihatan sebagai orang sukses, hebat, bahagia, dan berharga. Ketika dirinya merasa tidak berharga atau dilanda krisis harga diri, jalan yang mudah adalah membeli gantungan yang bisa menaikkan citra dirinya. Gantungan itu bisa saja mobil mewah, rumah megah, dan ornamen lain. []

KORAN SINDO, 25 April 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar