Rabu, 28 Mei 2014

Kang Komar: Defisit Kepercayaan



Defisit Kepercayaan
Oleh: Komaruddin Hidayat

Kita semua mudah membayangkan, bahkan mungkin pernah mengalami, betapa tidak nyamannya ketika sebuah relasi sosial diterpa defisit kepercayaan. Energi batin akan terkuras jika antara suami-istri sudah saling curiga.

Orang tua dan anak tak lagi saling percaya. Begitu pun jika hal demikian terjadi antarsesama teman atau antara atasan dan bawahan dalam sebuah perusahaan atau perkantoran. Kehidupan akan terasa aman, nyaman, dan menjadi produktif jika tercipta kultur saling percaya dan saling menghargai. Karena pada dasarnya kita semua makhluk sosial. Tidak akan bisa memenuhi kebutuhan dasar tanpa bantuan dan kerja sama dengan orang lain.

Meminjam ungkapan Fukuyama, masyarakat yang mengalami defisit kepercayaan (low trust society) akan menelan biaya ekonomi dan sosial amat tinggi sehingga pasti tidak akan sanggup berkompetisi dalam panggung dunia. Ini semua kita alami dan rasakan. Kita sulit percaya pada birokrasi dan pelayanan negara karena sering kali dikecewakan. Sejak mengurus KTP sudah diminta uang.

Dalam berbagai perizinan usaha banyak sekali pungutan ilegal sehingga menambah ongkos produksi. Padahal tugas negara itu melayani, sedangkan mereka sudah digaji. Tugas negara adalah memberikan kenyamanan kepada warganya. Sekarang ini banyak orang tua waswas ketika melepas anaknya ke sekolah. Padahal sudah ada penjaga keamanan di jalan maupun di sekolah. Bahkan sekolah mahal yang bertaraf internasional, Jakarta International School (JIS), tidak juga bisa dipercaya untuk menjaga keamanan anak-anak didiknya.

Guru pun tidak dipercaya menyelenggarakan ujian nasional sehingga dikerahkan polisi untuk mengawasi. Yang ironis adalah jika rakyat tidak lagi percaya kepada wakilnya yang duduk di lembaga DPR. Ini semua indikator nyata betapa kita dilanda krisis kepercayaan baik vertikal maupun horizontal. Sekarang ini yang juga menyedihkan adalah instrumen negara yang bertanggung jawab bagi keberhasilan pileg dan pilpres ternyata di berbagai daerah sulit dipercaya kinerjanya.

Rakyat kecewa pada kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak amanah menjaga dan meneruskan data dan fakta otentik suara pemilih.Beberapa caleg marah karena hasil suaranya hilang berpindah ke caleg lain. Caleg yang tidak memiliki saksi suaranya tidak dijamin keselamatannya. Sementara saksi akan mempertimbangkan besar-kecilnya bayaran. Orang lebih percaya pada uang ketimbang kepada orang.

Zona yang paling dan harus mendatangkan rasa nyaman, aman dan saling percaya tentu saja keluarga. Tapi apa jadinya kalau lingkungan keluarga pun mengalami defisit kepercayaan? Pemerintah ke depan mesti bekerja keras membangun kepercayaan publik kepada negaranya. Oleh karenanya kabinet mendatang mesti diisi orang-orang yang pantas dipercaya baik karena integritasnya maupun kompetensi bidang keahliannya.

Tidak hanya kabinet, sesungguhnya semua pimpinan daerah juga mesti memiliki komitmen yang sama, bagaimana membangun pemerintahan yang bisa dipercaya dan jadi solusi bagi rakyat, bukannya malah menciptakan masalah dan menambah beban rakyat. Sebagai orang awam dalam bidang ekonomi, saya sulit menjelaskan mengapa negara kita terbelit utang. Padahal sumber alam melimpah.

Banyak orang pintar dan perguruan tinggi berdiri di mana-mana. Tapi mengapa kita sulit melakukan pembangunan sejak dari infrastruktur, pusat-pusat industri dan ruang publik yang indah dan nyaman dihuni? Para politikus sibuk memenangi pileg dan bersiap memenangi pilpres, tapi seberapa peduli dan serius memenangi hati rakyat untuk menciptakan trust society, masyarakat yang bisa hidup bersama dengan sikap saling menghargai dan memercayai?

Di antara solusi yang mesti ditegakkan adalah adanya kepastian hukum, birokrasi yang melayani dan tidak korup, keteladanan dari para pemimpin untuk hidup sederhana, dan keberpihakan yang jelas kepada rakyat menengah ke bawah. []

KORAN SINDO, 02 Mei 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar