Rabu, 12 Juni 2013

Politik Belah Bambu


Politik Belah Bambu

 

Untuk menjaga eksistensi penjajahannya di Indonesia, Belanda menggunakan taktik divide et impera (memecah-belah lalu menguasai). Dengan cara itu kerajaan di nusantara diintrik, berselisih lalu perang, akhirnya Belanda datang mendamaikan dan tampil sebagai pemenang.

 

Untuk menghadapi kelompok Islam, Belanda juga mengambil strategi serupa, tetapi dengan taktik lain yaitu dengan politik “belah bambu” (satu diinjak yang lain disanjung). Islam pesantren yang sangat anti kolonial dan berjalan sesuai dengan tradisinya sendiri disebut Islam kuno, Islam tua atau Islam kolot, yang dicitrakan serba buruk.persoalannya hanya tidak sesuai dengan selera kolonial, tetapi juga karena punya kepribadian.

 

Sementara kelompok Islam yang mau bekerja sama dengan belanda dengan membangun sistem sekolah modern, berpakaian ala Belanda, berpikir dan berperilaku seperti Belanda disebut sebagai Islam modern, yang kemudian disanjung Belanda sebagai Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Kelompok terakhir ini tidak hanya disanjung dalam sepanjang literatur dan forum, tetapi juga disubsidi oleh pemerintah kolonial.

 

Dengan kenyataan itu, para ilmuwan, politisi dan sejarawan Belanda menafikan peran Islam pesantren yang dianggap tradisional karena menentang penjajah. Karena itu Belanda membiarkan serangan kaum modernis terhadap kehidupan pesantren, bahkan di sana-sini memberikan umpan, dengan mengatakan Islam pesantren itu masih bercorak Hindu, anemis, sehingga menjadi sasaran Islam puritan untuk melakukan Islamisasi pesantren.

 

Belanda sangat risau terhadap keberadaan pesantren, bukan hanya karena selama ini dianggap sebagai basis perlawanan atas pemerintah kolonial. Tetapi yang lebih mengerikan lagi pesantren mempunyai sistem pendidikan sendiri yang bersifat kerohanian, yang tidak hanya merupakan warisan tradisi islam, tetapi juga warisan tradisi nusantara pada umumnya, sehingga watak lokal dari Islam ini sangat kental, padahal Belanda mau meng-universal-kan kebudayaan sesuai dengan selera Eropa. Sementara pesantren menolak seluruh tradisi Eropa sejak dari cara berbakaian, bahasa dan sistem pendidikannya yang sekuler.

 

Bisa dilihat dalam buku yang ada, pada umumnya ditulis orang Barat, peran kiai atau pesantren dalam revolusi tidak penah ada. Belanda memang alergi terhadap pesantren, karena mengalami trauma perang Diponegoro, yang berbasis di pesantren. Maka pesantren harus dieliminir dengan membangun pendidikan Barat untuk membelokkan ajaran Islam.

 

Dengan demikian Islam bisa diatur dan dijinakkan. Pesantren sulit dijinakkan, karena punya paradigma sendiri, karena itulah dibenci para politisi dan peneliti atau ilmuwan Barat pada umumnya. Anehnya kebencian dan serangan itu sering dibungkus dengan kedok akademis, obyektif, padahal pemikirannya sangat subyektif, ditentukan selera dan kepentingan pemerintah kolonial. []

 

(Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar