Rabu, 12 Juni 2013

(Ngaji of the Day) Membaca Al-Qur’an Saat Haid


Membaca Al-Qur’an Saat Haid

Oleh: M. Masyhuri Mochtar

 

Mengalami pendarahan haid memang lumrah dan biasa bagi kaum Hawa, karena haid merupakan ketetapan dari Allah SWT. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW menyatakan, “Ini (haid) adalah suatu ketetapan Allah bagi putri-putri keturunan Adam.” Dalam kaitan dengan agama, haid tidak hanya dipandang sebagai siklus bulanan, lebih dari itu haid sebagai persoalan penting karena juga terkait dengan aktifitas ibadah.


Sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih bahwa di antara hal yang diharamkan bagi wanita haid adalah membawa dan membaca al-Qur’an. Termasuk juga bagi penyandang hadats besar. Namun kemudian, hukum ini menjadi dilema ketika wanita yang mengalami pendarahan haid adalah seorang hafidzah (penghafal al-Qur’an). Juga ketika ia adalah seorang guru al-Qur’an bagi anak-anak kecil atau seorang pelajar agama yang di dalam pelajarannya terdapat ayat-ayat suci al-Qur’an. Sebab, jika aktifitas itu ditinggalkan, tentunya telah mengabaikan kewajiban menjaga hafalan dan belajar agama.


Pada dasarnya muslim/muslimah dianjurkan untuk membaca al-Qur’an, karena membaca al-Qur’an merupakan bagian dari ibadah. Hanya saja, untuk membaca al-Qur’an disyaratkanbersuci terlebih dahulu dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. Nah, orang yang sedang haid atau nifas adalah termasuk orang yang sedang menanggung hadats, oleh karenanya tidak boleh membaca al-Qur’an. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Orang yang sedang haid atau junub tidak boleh membaca sesuatu dari al-Qur’an.” (HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).


Pada dasarnya keharaman membaca al-Qur’an bagi penyandang hadats besar, termasuk wanita haid, ketika ada niatan membaca al-Qur’an. Jika tidak ada niatan membaca al-Qur’an, seperti niat berdzikir maka baginya tidak diharamkan. Dari kata kunci inilah dari beberapa pembahasan dalam bab haid disebutkan tentang kebolehan membaca al-Qur’an bagi wanita haid ketika diniati berdzikir.


Dengan demikian, bagi pengajar al-Qur’an, seperti guru TPQ diperbolehkan mengajarkan al-Qur’an bagi anak didiknya. Asalkan ketika membaca tidak berniatan membaca al-Qur’an dan tidak menyentuhnya. Juga diperbolehkan ketika bahan mengajar dengan cara memutus-mutus antar kalimat atau mengeja.


Ini pun jika mengikuti pendapat dari kalangan mazhab Syafi’i. berbeda dengan mazhab Maliki yang memperbolehkan bagi wanita yang sedang haid dan nifas membawa, menyentuh dan membaca al-Qur’an ketika dalam rangka mengajar atau belajar. Menurut mereka, karena kondisi ini dalam keadaan darurat, juga dengan alasan bahwa Sayyidatina Aisyah r.a pernah membaca al-Qur’an dalam keadaan sedang haid. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh sebagian besar ulama. Sebab, apa yang dilakukan oleh Aisyah r.a. tersebut―jika riwayatnya dianggap shahih―bukan otomatis menunjukkan bolehnya membaca al-Qur’an bagi orang yang sedang haid, karena bertentangan dengan sabda Nabi di atas.


Selanjutnya bagaimana dengan siswi yang sedang mengalami haid? Bukankah ada buku pelajaran atau kitab yang di antara isinya adalah ayat-ayat al-Qur’an? Untuk hal ini, status hukumnya dipilah meninjau keadaan buku pelajarannya; jika hanya buku pelajaran yang di dalamnya terdapat ayat al-Qur’an menurut pendapat yang shahih, diperbolehkan membawa dan menyentuhnya asalkan bukan hanya pada ayat al-Qur’annya. Oleh karena itu, jika sedang menulis al-Qur’an harus menghindari jangan sampai menyentuh tulisannya.


Kebolehan menyentuh buku pelajaran yang berisikan al-Qur’an ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi. Menurut beliau, orang yang hadats, junub, haid dan nifas menyentuh kitab-kitab fikih atau lainnya yang berisikan ayat-ayat suci al-Qur’an menurut madzhab yang shahih diperbolehkan. Meskipun , Imam an-Nawawi sendiri tidak mengingkari ada ulama yang tetap mengharamkannya.


Hukum ini berbeda dengan kitab tafsir yang memang lebih banyak al-Qur’annya dari pada penafsirannya. Jika demikian maka menyentuh dan membawanya adalah haram. Jika lebih banyak keterangannya dari pada ayat al-Qur’annya maka ulama khilaf dan menurut ashah hukumnya boleh dan yang lain mengatakan haram. Ada pula yang memilah; jika antara al-Qur’an dan lainya ditulis tersendiri atau dibedakan dengan warna maka hukumnya haram dibawa dan disentuh oleh orang yang menyandang hadats; jika tidak dibedakan maka hukumnya boleh.


Hukum lain yang terkait adalah wanita yang sedang haid dan ia adalah seorang yang hapal al-Qur’an (hafidzah), padahal ia dituntut untuk terus men-takrar hapalannya. Juga sama dengan persoalan di atas yang berhubungan dengan niat. Ia diperkenankan untuk membaca al-Qur’an, meskipun dalam keadaan haid, asalkan tidak diniatkan membaca al-Qur’an atau berniatan hanya untuk melekatkan hapalannya. Atau hanya membaca di dalam hati, sampai tidak mengeluarkan suara yang dapat didengar sendiri.


Hal yang perlu diketahui bahwa pengertian membaca di sini adalah mengucapkan ayat-ayat al-Qur’an melalui mulut, baik dengan melihat mushhaf ataupun dengan mengucapkan ayat-ayat yang sudah dihafalkan. Ukurannya, seseorang disebut membaca jika dari mulutnya terdengar suara yang bisa didengar sendiri. Apabila orang yang sedang haid/nifas tersebut hafal ayat-ayat al-Qur’an kemudian membacanya dalam hati, maka yang demikian itu diperbolehkan.

 

Sementara itu, Habib Ahmad bin Umar asy-Syathiri mengatakan bahwa perempuan haid diperbolehkan membaca al-Qur’an, dan hukum ini berlaku bagi perempuan yang hafidzah dengan alasan mempermudah mereka untuk menghafal al-Qur’an dan biar hafalannya tidak lemah.

 

Sampai di sini kita ketahui bahwa hukum wanita haid terdapat perbedaan ulama terkait dengan hukum membaca al-Qur’an. Kita anggap perbedaan ini sebagai rahmat sehingga dapat dijadikan solusi ketika merasa kesulitan karena ingin menjaga hafalan, belajar agama atau mengajarkan al-Qur’an. Semoga bermanfaat. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar