Rabu, 19 Juni 2013

Cak Nun: Politik Lemah Syahwat


Politik Lemah Syahwat

Oleh: Emha Ainun Nadjib

 

Kebanyakan orang yang pergi berobat ke dukun penyembuhan lemah syahwat, sekeluarnya dari sana biasanya punya kecenderungan psikologis untuk memberi kesan kepada orang lain bahwa ia telah sukses menegakkan kembali syahwatnya — meskipun pada kenyataannya tak ada yang berubah pada syahwatnya.

 

Pertimbangannya minimal ada dua. Pertama, ia merasa akan turun martabatnya kalau di pandangan orang lain ia masih lemah syahwat. Watak kelekakiannya mendorong terciptanya citra bahwa ia gagah perkasa. Kedua, kalau ternyata pengobatan yang ia alami tidak mengubah apa-apa, maka ia tidak mau sendirian tertipu. Ia mau setiap orang menjadi korban yang sama seperti dia.

 

Manusia hidup dalam “citra”, tidak harus dalam kenyataan. Orang memilih bertempat tinggal dalam “kesan”, bukan realitas. Yang penting orang lain terkesan bahwa ia hebat, tidak penting apakah ia hebat betul atau tidak. Yang penting Anda menampilkan indikator-indikator kasat mata yang membuat orang lain menyangka Anda orang baik, dermawan, jujur, atau citra baik apa saja.

 

Toh kebanyakan masyarakat juga memiliki kemalasan yang sangat serius untuk menelusuri atau menyelami realitas, mereka umumnya pasrah pada kesan tentang seseorang. Yang penting Pak Itu menyumbang sangat banyak untuk pembangunan Masjid: bahwa uangnya dari diperoleh dari korupsi atau hasil “mbekingi” perjudian, semua jamaah sepakat diam-diam untuk pura-pura tidak tahu.

 

Yang penting Megawati itu putrinya Bung Karno dan sejak awal hidupnya sudah nyantol dengan sejarah kebangsaan. Tidak penting apakah Megawati mengerti persoalan negara dan rakyat atau tidak, apakah memiliki kapabilitas managemen untuk menjadi kepala Negara atau tidak. Tidak penting apakah kalau menjawab wawancara wartawan selalu menggelikan dan selalu juga berikutnya Laksamana Sukardi menambahinya dengan substansi yang sering berbalikan dengan apa yang terlanjur dikemukakan oleh Megawati.

 

Kalau Bu Mega terlanjur bilang “A”, padahal yang benar adalah “B”, maka pendamping beliau kemudian mengatakan: “Maksud Bu Mega itu ‘B’ sebenarnya”, dan kita kaum wartawan harus menulis “B”, sebagai penjelasan dari “A”. Padahal jelas “A” dan “B” bertentangan satu sama lain. Kalau saya bilang “Setan”, pendamping saya bilang “Maksudnya Cak Nun itu Malaikat” – maka seluruh Indonesia dan dunia akan diberi informasi tentang malaikat, padahal sesungguhnya yang nyata adalah setan.

 

Kenyataan “setan” bisa ditutupi dengan citra atau kesan “malaikat”. Atau sebaliknya. Itulah atmosfir wacana yang sampai ke masyarakat selama ini, sehingga sesungguhnya rakyat Indonesia tidak pernah mengerti apa-apa. Saya menampung anak yatim sejak kecil dan saya posisikan sebagai anak saya sendiri sampai selesai saya sekolahkan. Sesudah tamat, ia dibisiki seseorang yang mengatakan bahwa sebenarnya Cak Nun itu orang yang culas dan kejam – si yatim itu langsung percaya dan mengambil keputusan untuk meninggalkan dan memusuhi saya.

 

Seorang teman saya membantu seorang Kiai buta mencari biaya untuk membangun gedung demi gedung pesantren, selalu memberikan pembiayaan untuk operasional pesantren, serta membantu si Kiai dalam berbagai bentuk. Nanti ketika santri dan ummat berkumpul bersama Kiai dalam suatu acara khol, mereka ditanya siapa idola mereka, siapa pemimpin yang mereka anut?

 

Mereka menjawab: “Gus Dur!”

 

“Berapa kali Gus Dur nyambangi pesantren Panjenengan?”

 

Mereka menjawab: “Belum pernah”.

 

“Apakah Gus Dur pernah memberi bantuan kepada pesantren Penjenengan?”

 

“Belum pernah”.

 

“Apakah ada di antara Panjenengan yang kenal Gus Dur?”

 

“Tidak ada”.

 

“Apakah Gus Dur kenal Panjenengan?”

 

“Tidak”.

 

Tetapi Gus Dur adalah idola mereka, panutan mereka, pemimpin mereka, pilihan presiden mereka.

 

Orang hidup dalam “citra”, tidak dalam kenyataan. Kenyataan senyata apapun kalah oleh citra. Saya tidak pernah masuk Parpol, tidak pernah menjadi anggota DPR, tidak pernah menjadi pejabat serendah apapun, tidak pernah punya perusahaan, tidak pernah berususan dengan proyek-proyek dan konglomerat, dan sampai hari ini saya menunggu orang membuktikan dan mengumumkan besar-besaran bahwa saya pernah dikasih uang oleh Suharto atau siapapun kroninya — dan tak kunjung datang pengumuman itu — tetapi sebagian orang tetap mencitrakan saya sebagai “orangnya Suharto”. Sementara mereka mengangkat Akbar Tanjung yang dulu Menterinya Suharto menjadi calon presiden reformasi. Juga menjunjung Nurkhalis Madjid yang dulu anggota MPR di jaman Suharto.

 

Manusia hidup dalam citra.

 

Citra itulah yang dipertahankan mati-matian oleh Amrozi. Amrozi marah besar dan serius kalau dikatakan bukan dia yang melakukan pengeboman di Bali 12 Oktober itu. TNI bikin demo bom di Bogor untuk membuktikan bahwa TNI tidak punya kemampuan untuk melakukan pemboman jenis “Dimona Micro Nuclear” yang aksesnya hanya dimiliki oleh 5 negara besar di luar Indonesia, yang menghasilkan lubang besar di tanag dan jamur raksasa di angkasa, yang dalam radius 20 meter sekelilingnya tak ada benda yang tersisa kecuali jadi abu. Jadi kemampan Amrozi jauh di atas TNI.

 

Kalau Anda membuktikan bahwa bom yang dipasang oleh Amrozi di Bali — namun tidak meledak karena dirancang untuk didahului beberapa menit oleh meledaknya “Dimona Micro Nuclear” — hanyalah bom ringan dan sekedar di atas molotov atau “Sinso” (Bensin Rinso) dan di bawah TNT atau C4: Amrozi akan menjawab: “Hasil ledakan itu jauh melebihi kapasitas bom aslinya berkat kekuasaan Allah, sebagaimana lemparan pasir Mujahidin di Afganistan bisa menghancurkan tank-tank”.

 

Amrozi tidak terima kalau dia dituduh bukan dia pelaku bom Bali. Dia ingin hidup dalam citra, bukan dalam kenyataan tentang dirinya. Maka jangan heran dia bergembira ria dihukum mati, karena vonnis itu mengukuhkan citranya. Maka ia juga selalu bertanya kepada setiap Polisi yang mengawalnya: “Pak, kapan sih saya ditembak?” Amrozi sangat merindukan mati, dalam konsep yang dia pahami sebagai syahid.

 

Amrozi tidak mau dituduh “lemah syahwat”. Dia butuh citra kejantanan tentang dirinya. Itulah sebabnya seorang pakar psikiatri dari Unair meminta Amrozi diperiksa secara psikiatris, dan bukan diperiksa oleh psikolog seperti yang dilakukan oleh Polri. Sebab kalau pemeriksaan klinis-psikiatris dilakukan pada Amrozi, secara yuridis ia akan bebas — itu itu merugikan Polri maupun Amrozi sendiri.

 

6 Oktober 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar