Senin, 03 Juni 2013

Mahfud MD: Demokrasi dan Nomokrasi Kita


Demokrasi dan Nomokrasi Kita

 

TAK dapat disangkal, keadaan politik dan ketatanegaraan kita saat ini mendapatkan banyak kritik dari kita sendiri. Pemilu yang berlangsung 9 April lalu mendapatkan sorotan dan hardikan ketidakpuasan karena penyelenggaraannya tidak beres. Sudah hampir tiga pekan pemilu berlangsung, tetapi penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik manual maupun yang elektronik, tak beres-beres. Protes dan penolakan atas rekapitulasi hasil pemungutan suara terjadi di berbagai daerah.

 

Tetapi, kalau kita mau melihat dari segi positif, perkembangan sekarang ini dapat dilihat sebagai kemajuan dalam kehidupan demokrasi kita. Saat ini rakyat sudah bisa memilih dengan bebas, termasuk bebas menerima uang dengan janji memilih calon atau parpol tertentu tetapi kemudian tidak benar-benar memilih sang pemberi uang.

 

Banyak yang telanjur memberikan uang, tetapi diri atau partainya tidak dipilih juga. Sudah banyak rakyat yang berpandangan bahwa menerima uang sekaligus memilih pemberinya bisa dosa dua kali, yakni dosa karena menerima uang (suap) dan dosa karena memilih berdasar suap. Jadi, kalau menerima uang tetapi tidak memilih yang memberikan uang, dosanya hanya satu, malah bisa berpahala karena mendorong orang untuk kapok berpolitik uang kepada pemilih.

 

Kemajuan lainnya, KPU sebagai penyelenggara pemilu sekarang ini adalah lembaga yang mandiri, tidak menjadi bagian struktural dari pemerintah dan dibentuk oleh peserta pemilu sendiri (parpol-parpol) melalui DPR.

 

Tuduhan kecurangan pemilu tidak bisa lagi dialamatkan kepada pemerintah dan parpol tertentu karena pemerintah terdiri atas berbagai partai. Di tingkat pusat pemerintah merupakan koalisi, sedangkan di tingkat daerah pemerintahan dikuasai oleh parpol yang berbeda-beda.

 

Jadi, kalau pemerintah dituduh curang, hampir semua parpol menjadi tertuduh karena hampir semua parpol turut memerintah; kalau tidak di pusat, ya di daerah.

 

Di tingkat masyarakat pun kecurangan dalam pemilu memang terjadi di sana-sini, tetapi bukan lagi kecurangan yang dihegemoni oleh negara untuk satu parpol tertentu. Menurut media massa, kecurangan-kecurangan pemilu seperti money politics serta isu penggelembungan suara melalui kolusi dan penyuapan terhadap petugas rekapitulasi dilakukan oleh oknum atau caleg berbagai parpol di berbagai daerah. Kecurangan-kecurangan yang terjadi sekarang tidak lagi didominasi oleh dan untuk satu parpol tertentu.

 

Keadaan tersebut berbeda dengan era Orde Baru yang mengesankan kecurangan dilakukan oleh dan untuk satu parpol pendukung rezim yang berkuasa. Dulu penyelenggara pemilu bukan KPU, melainkan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh menteri dalam negeri dan menjadi tertuduh utama atas kecurangan yang masif.

 

Pelaksanaan pemilu sekarang memang buruk, terjadi kesemrawutan dan isu kecurangan di berbagai lini. Tetapi, keadaan itu dapat dilihat sebagai kemajuan dalam demokrasi kita karena kesemrawutan tersebut menjadi tanggung jawab bersama.

 

Tegasnya, kesemrawutan yang sebenarnya merupakan kemunduran pemilu ini merupakan kemajuan demokrasi karena ia menjadi tanggung jawab bersama, tidak lagi karena hegemoni negara.

 

Kemajuan lain dalam perkembangan demokrasi kita dewasa ini ialah adanya kebebasan bagi siapa pun untuk melancarkan kritik bahkan mengajukan diri untuk menjadi presiden. Setiap hari kita dapat mendengar kritik tajam dan menonton demonstrasi tentang kehebatan orang yang merasa hebat, meski kemudian ternyata tidak punya kehebatan apa pun.

 

Kita juga dapat menonton berbagai trik politik dalam pencalonan presiden yang sekarang bisa dilakukan oleh siapa pun secara sangat bebas dan demokratis.

 

Ini dapat kita catat sebagai kemajuan dalam demokrasi. Sebelum reformasi, tak mungkinlah kita bisa menyaksikan itu karena (dulu) tak ada yang berani melakukannya kecuali mau ditangkap atau diisolasi. Itulah yang mungkin dapat disebut sebagai kemajuan dalam kemerosotan demokrasi.

 

Tetapi, kemajuan yang tampaknya tidak paradoks dalam perkembangan ketatanegaraan kita adalah menguatnya nomokrasi (kedaulatan hukum) sebagai pengimbang atas demokrasi (kedaulatan rakyat). Jika dulu keputusan-keputusan politik yang hegemonik selalu bisa dipaksakan atas nama demokrasi, sekarang keputusan lembaga demokrasi dapat dibatalkan oleh lembaga nomokrasi.

 

Lihat saja betapa banyaknya UU yang ditetapkan secara demokratis di DPR tetapi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan nomokrasi. Ini kemajuan yang signifikan, tidak paradoks, dan perlu dikuatkan. []

 

Moh. Mahfud MD, Akademisi

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar