Senin, 17 Juni 2013

Mahfud MD: Pahlawan Suara Terbanyak


Pahlawan Suara Terbanyak

 

Ketika pada 2 Desember 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) me-imitus pemberlakuan sistem suara terbanyak untuk pemilu legislatif, ada yang berkomentar sinis, "MK mengabulkan gugatan orang frustasi karena dijadikan caleg di nomer buntut." Maklum, media massa lanya menyebut Sholeh sebagai pemohon judicial review yang kemudian dikabulkan oleh MK itu.

 

Sholeh adalah calon anggota legislatif (caleg) DPRD Surabaya dari PDI Perjuangan yang diletakkan pada nomer urut 7. Dia menggugat sistem proporsional setengah terbuka yang menekankan pada sistem nomer urut sebagai sistem yang tidak adil, tidak mencerminkan kedaulatan rakyat, dan melanggar prinsip-prinsip konstitusi.

 

Ketika MK mengabulkan permohonan pemberlakuan sistem suara terbanyak itu, Sholeh dianggap sebagai pahlawan oleh para pendukung sistem suara terbanyak, tapi oleh pendukung sistem nomer urut dianggap sebagai orang stres yang merusak. Padahal, bukan hanya Sholeh yang mengajukan gugatan ke MK. Ada juga Sutjipto dan Jose Dima Satria.

 

Sutjipto adalah caleg DPR-RI nomer unit 1 dari Partai Demokrat untuk daerah pemilihan Jawa Timur VIII. Dia menyatakan, posisinya pada nomer urut 1 diuntungkan oleh sistem nomer unit, tapi demi sehatnya kedaulatan rakyat dan tegaknya keadilan dia meminta pemberlakuan sistem suara terbanyak. Sedangkan Jose Dima Satria adalah warga masyarakat biasa yang merasa pilihannya dan pilihan rakyat bisa mubazir (sia-sia) dan tak sesuai dengan kedaulatan rakyat jika anggota legislatif ditetapkan dengan sistem nomer urut. "Tidaklah adil jika caleg nomer urut 3 yang mendapat 50.000 suara disingkirkan oleh caleg nomer urut 1 yang hanya mendapat 500 suara," kata Jose.

 

Tampak jelas, pemberlakuan sistem suara terbanyak bukan hanya keinginan mereka yang merasa frustasi, stres, atau akan tergusur oleh pemberlakuan sistem nomer urut seperti yang disangkakan oleh beberapa orang, melainkan keinginan banyak orang yang menghendaki keadilan dan menghormati suara rakyat.

 

Pro dan kontra yang mucul atas putusan MK adalah wajar. Tak pernah ada putusan MK yang didukung oleh semua orang. Yang kalah pasti mengkritik bahkan melakuknn counter attack, sedangkan yang menang pasti memuji - muji. Karena itulah, MK tak perlu terpengaruh dan takut pada cacian atau bangga akan pujian jika pujian atau cacian itu datang dari pihak yang beperkara atau punya kepentingan langsung, sebab sikap mereka lebih dipengaruhi oleh kependngan subjektif.

 

Namun, terlepas dari sikap mereka yang beperkara dan berkepentingan langsung, dukungan atas putusan MK oleh masyarakat itu tampak lebih dominan. Penempatan vonis pemberlakuan suara terbanyak sebagai berita utama dengan judul-judul yang mendukung, seperti "Suara Rakyat Dihargai" dan "Kemenangan Akal Sehat", serta apresiasi yang dituangkan di dalam tajuk atau editorial berbagai media massa menunjukkan bahwa nurani dan akal sehat masyarakat mendukung penerapan suara terbanyak itu.

 

Memang, dalam pelaksanaannya, sistem suara terbanyak menimbulkan banyak masalah, seperti persaingan membabi buta, money politics, stres berat, bahkan tindakan bunuh diri. Namun hal-hal itu harus dipandang sebagai risiko perubahan yang untuk tahap awal tak bisa dihindari. Kalau ke depan kita terus maju dengan sistem suara terbanyak, apalagi mengikuti sistem distrik seperti yang pernah direkomendasikan oleh LIPI, pemilu yang akan datang akan jauh lebih baik.Kelak, orang takkan lagi berani berlaga dalam pemilu kalau tidak punya kapabilitas dan ketokohan yang relevan. Nyatanya, berdasarkan pengalaman tahun 2009, rakyat mutlak menentukan pilihannya sendiri. Yang menghamburkan uang untuk merayu rakyat tetap tak terpilih kalau tak layak, sebab rakyat sudah fasih mengatakan, "Terima uangnya jangan pilih orangnya." Artis yang populer pun kalau tak punya kapasitas yang meyakinkan untuk menjadi wakil rakyat juga tak dipilih tokoh politik ataupun pengusaha banyak yang berguguran.

 

Boleh saja Sholeh, Sutjipto, dan Jose dianggap sebagai pahlawan suara terbanyak karena inisiatifnya mengajukan judicial review ke MK.Tapi apreasiasi dapat juga diberikan kepada para caleg yang telah bertarung untuk mendapat suara terbanyak sebagai caleg, termasuk mereka yang kemudian stres berat karena tak terpilih setelah melakukan segalanya dan menggelontorkan uang. Mereka itu patut juga diapresiasi karena telalh memberi pelajaran kepada kita bahwa suara rakyat tak mudah dibeli, dan bahwa rakyat tak bisa dikibuli dengan atribtu ketokohan dan keartisan kalau, nyatanya tak bermutu. []

 

Moh. Mahfud MD, Akademisi

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar