Rabu, 26 Juni 2013

(Ngaji of the Day) Sunan Kalijaga dan Karyanya


Sunan Kalijaga dan Karyanya

Oleh: Abdullah Hamid*

 

Hampir semua orang di Indonesia, apalagi umat Islam mengenal nama Sunan Kalijaga yang masa kecilnya bernama Raden Mas Syahid. Beliau adalah putera Raden Sahur yang beragama Islam atau Tumenggung Wilatikta, pernah menjadi Adipati Tuban.


Haul Akbar Ke-428 Sunan Kalijaga tahun 2013 diperingati tanggal 10 Muharram 1434 H nanti di kompleks makam dan Masjid Kadilangu, Demak. Biasanya diisi lantunan khataman Qur’an, tahlil dan shalawat Nabi.

 

Silsilah Raden Sahur atau Ario Wilotikto ke atas adalah putera Ario Tejo (Islam) atau Syekh Ngabdurahman, menantu Ario Dikara, putera Ario Lena, putera Ario Sirowenang, putera Raden Sirolawe, putera Ronggolawe, putera Ario Wiraraja (Adipati Tuban I), putera Adipati Ponorogo. Itulah asal usul Sunan Kalijaga yang banyak ditulis dan diyakini orang.

 

Dalam Babad Lasem ditambahkan, masa muda Sunan Kalijaga dihabiskan lama di Lasem untuk berguru dengan Sunan Bonang di Desa Bonang. Nama lainnya adalah Santi Kusuma, memiliki saudara Santi Puspa dan Santiyogo atau Sayid Abubakar atau Sunan Kajoran, sedangkan makam keduanya di Taman Sitoresmi Caruban dekat makam Nyi Ageng Maloka, wafat tahun 1490 M yang membuka pesantren putri yang tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Lasem tetapi juga santriwati yang berasal dari luar daerah seperti putri Sunan Muria (Komariah), putri Sunan Kudus (Sundariah) yang makamnya juga di Caruban. Bahkan santriwatinya ada dari Minangkabau. Seperti diketahui bahwa Sultan Mahmud dari Minangkabau adalah murid dari Sunan Bonang. Ketika ia pulang ke Minangkabau ia mengajak wanita-wanita Minangkabau untuk belajar di pesantren Maloko, sehingga pesantren ini bertambah ramai.

 

Sumber lain yang orisinil tentang kisah Wali Songo juga tersedia. Prof MC Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, juga menerbitkan karya ilmiah dengan subyek sejarah Mataram, Kartasura, dan Yogyakarta, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa sebelumnya banyak bersumber dari cerita rakyat yang versinya banyak sekali. Mungkin cerita rakyat itu bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas Kadipaten, lalu sedikit demi sedikit mengalami kontroversi setelah melewati para pengagum atau penentangnya, yang masih harus ditelaah keakuratannya.

 

Sunan Kalijaga meninggalkan dua buah karya tulis, yang satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewa Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewa Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Sebagian pengagumnya menganut ajaran Syekh Siti Jenar.

 

Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan shalat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali di dalam Serat Dewa Ruci. Tidak ditulis bukan berarti tidak wajibkan, karena isinya memang lebih banyak cerita hikmah pewayangan. Menceritakan Bima yang mawas diri dengan tujuan menyucikan diri agar bisa menyatu dengan khaliqnya dengan langkah-langkah dalam dunia tasawwuf, yaitu takhalli, tahalli dan tajalli yang tidak bertentangan dengan agama tauhid. monotheisme.

 

Kalau Serat Dewa Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijaga. Seorang pegawai Departemen Agama Kudus, Drs.H.M. Khafid Kasri, sekarang Pengasuh Pondok Pesantren Subulus Salam Demak, mendapat petunjuk untuk mencari buku tersebut, dan ternyata disimpan oleh RA Supartini Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis tangan di atas kulit kambing yang terdapat prasasti penulisan tahun 1806 Caka yang berarti 1884 masehi, menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa.

 

Pada tahun 1992 buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan penerbit Balai Pustaka. Pada waktu Sunan Kalijaga masih berjatidiri seperti tertulis di dalam Serat Dewa Ruci, murid-murid kinasih-nya masih berfaham manunggaling kawulo Gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Ki Ageng Pemanahan dan sebagainya), sedang setelah kaffah murid dengan tauhid murni, yaitu seperti Joko Katong ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo, tempat leluhur Sunan Kalijaga berasal. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas sampai sekarang, termasuk Kyai Kasan Besari (guru R Ng Ronggowarsito) atau Ki Ageng Basyariyah, situsnya di Komplek Pemakaman Kuno Desa Sewulan Madiun.

 

Menurut penulis, Serat Dewa Ruci ditulis pada fase awal Sunan Kalijaga memulai dakwahnya, mencontoh metode dakwah Nabi Muhammad pada periode Makkah. Setelah Sunan Kalijaga melakukan pembinaan iman dan Islamnya, sama seperti periode Madinah oleh Nabi Muhammad SAW, barulah mengajak secara kaffah dengan menulis Suluk Linglung. Di dalamnya mengajarkan puasa dan kewajiban menunaikan shalat sebagaimana shalat yang dicontohkan Rasulullah.

 

Sebelumnya sebagian orang Jawa memahami bahwa yang dilakukan bukan shalat lima waktu melainkan shalat da'im, tidak shalat lima waktu melainkan shalat da'im dengan membaca Laa illaha ilallah kapan saja dan dimana saja tanpa harus wudhu dan rukuk-sujud.

 

Ajaran Sunan Kalijaga dalam kitab Suluk Linglung memiliki relevansinya dengan perintah shalat dalam Isra’ Mi’raj yang kita peringati sekarang. Bagi orang Jawa, terutama yang abangan, intrepretasi Sunan Kalijaga tentang Islam selalu menjadi rujukan atau panutan. Maka pesan tersebut patut disosialisasikan. Menjadi tuntunan penting ketika menjelaskan tatacara shalat yang benar.

 

Sayangnya sepeninggal Sunan Kalijaga, yang tersebar luas di masyarakat Jawa hanya Serat Dewa Ruci. melalui media wayang selama ratusan tahun. Baru tahun belakangan ini Suluk Linglung dipublkasikan ke masyarakat. Untungnya ada ahli warisnya yang masih menyimpan kitabnya. Bisa jadi keterangan kitab tersebut selama itu langka karena ada unsur kesengajaan atau semata-mata kurangnya perhatian kita.
Serat Dewa Ruci terkenal, karena disampaikan dengan pendekatan budaya, melalui medium lakon wayang. Terutama sampai tahun 90-an kesenian wayang masih sangat populer ditonton banyak orang, terutama generasi itu masih sering melihatnya di TVRI. Sekarang generasi sesudahnya tampaknya menganggap ketinggalan zaman, mereka lebih senang menonton hiburan modern seperti film, sinetron dan konser musik Meski di sejumlah daerah dan komunitas masih ditemukan kelompok penggemar wayang.

 

Kedua buku tersebut benar, tidak ada yang salah. Saling mengisi kekurangan atau kelebihanya. Tentunya sebagai penentu nilai atau rujukan utama adalah karya terakhir atau pamungkas. Semacam wasiat, ditulis di usia puncak kearifannya, setelah mengalami laku dan manis asamnya garam kehidupan.

Suluk Linglung menerangkan pentingnya bersyari’ah serta didasari itu menjalankan ibadah secara suntuk yang mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam ensiklopedia Wikipedia, suluk berarti melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan.

 

Ditegaskan lagi dalam Suluk Sajatining Salat karya Pangeran Sastrawijaya yang wafat tahun 1818 M, seorang pujangga istana yang diangkat oleh Pakubuwono III dan masih keturunan Raden Kajoran Ambalik atau Panembahan Rama, diterangkan untuk menunaikan shalat dengan sempurna harus melalui beberapa tingkatan, antara lain shalat jumungah, yaitu shalat yang dikerjakan dengan seluruh anggota badan sesuai aturan-aturan syari’at yang disebut juga sembah raga.


* Pengasuh Pesantren Budaya Asmaulhusna (SAMBUA) Lasem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar