Selasa, 04 Juni 2013

(Ngaji of the Day) Sosialisme Abu Dzarr: Ide Pemerataan Ekonomi untuk Zuhud


Sosialisme Abu Dzarr: Ide Pemerataan Ekonomi untuk Zuhud

Oleh: Ahmad Dairobi

 

Kehidupan sufi bukan ruang sempit di menara gading. Ketika ditelusuri ke dalam akar sejarah, para sufi dari kalangan sahabat justeru menjadi figur pergerakan yang amat menentang terjadinya ketimpangan sosial.


Abu Dzarr al-Ghifari adalah tokoh sufi yang sangat disegani di kalangan sahabat. Ia enggan dengan kekayaan, tapi sangat memikirkan kesejahteraan rakyat. Beliau tidak henti-hentinya menyuarakan pemerataan ekonomi di masyarakat. Beliau muak melihat ketimpangan yang muram antara si miskin dan si kaya. Beliau berteriak dari Syiria hingga ke pusat pemerintahan Islam di Madinah, agar si kaya tidak menumpuk kekayaan pribadi.


“Wahai orang-orang kaya, bantulah yang miskin. Orang-orang yang menupuk kekayaan dan tidak mendermakannya di jalan Allah, akan dipanggang di neraka.” Kalimat itu seringkali diteriakkan oleh Abu Dzarr di Syiria pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Serentak, rakyat kecil yang berekonomi lemah menjadi pendukung Abu Dzarr. Mereka meneriakkan kalimat yang sama di penjuru Syiria—mirip orasi massif kaum proletar dalam pergulatan sosialisme modern.


Orang-orang kaya merasa terganggu dengan ‘ketajaman’ orasi Abu Dzarr dan orang-orang melarat itu, seperti juga para borjuis di masa Perang Dingin yang sangat risih dengan ide sosialisme. Mereka mengadu kepada pemerintah. Dan, Mua’wiyah (Gubernur Syiria), mengirim Abu Dzarr ke Khalifah di Madinah.


Di hadapan Khalifah, Abu Dzarr bersikukuh dengan pandangannya bahwa orang-orang kaya tidak semestinya menumpuk harta. Ia berdalil dengan firman Allah SWT dalam surat at-Taubah bahwa orang-orang yang menumpuk emas-perak dan tidak dinafkahkan di jalan Allah SWT, mereka akan mendapat siksa yang pedih dan dipanggang di neraka.


Di hadapan Khalifah, Abu Dzarr didebat oleh Ubay bin Ka’b. Ia bilang: “Tidak masalah, orang kaya menyimpan harta, asal ia memenuhi kewajiban terkait dengan kekayaannya itu”. Abu Dzarr berang. Beliau tidak bergeming dengan pandangannya. “Aku tidak rela dengan orang-orang kaya, sehingga mereka membagikan hartanya dan berbuat baik kepada orang di sekelilingnya…,” tegasnya kepada Khalifah.


Abu Dzarr dengan segala kesufiannya, memiliki kepekaan yang begitu tajam terhadap kondisi sosial masyarakat di sekeliling dirinya. Ia hidup papa, tidak suka harta, tapi memiliki gagasan yang revolusioner mengenai kesejahteraan.


Dengan gagasannya itu, Abu Dzarr dianggap sebagai simbol pembela orang-orang kecil yang melarat. Bahkan, ada yang sampai menganggap pembelaan ini sebagai pula pembelaan dalam jihadnya bersama Rasul. An-Nassyar menyatakan: “Abu Dzarr terus berjihad di medan perang bersama Rasulullah, sehingga Islam jaya dan panji orang-orang miskin yang melarat dan lemah berkibar.”


Ide sosialisme Islam semacam Abu Dzarr inilah yang kemudian diusung oleh kelompok Islam sosialis Indonesia beberapa dekade setelah kemerdekaan. Beberapa tokoh muslim sosialis meneriakkan pembela terhadap rakyat kecil dengan menggunakan kata mustadh’afin, sebuah term yang akrab sekali dengan pembelaan al-Qur’an terhadap muslimin yang tertindas di Mekah. Mereka menemukan muara dalam Islam sebagai dasar atas kecenderungan mereka yang memihak terhadap sosialisme yang diadopsi dari Eropa pada masa Perang Dingin.


Meski sama-sama pembelaan terhadap rakyat jelata, ide dan semangat Abu Dzarr sangat berbeda dengan sosialisme modern. Abu Dzarr tidak mendasarkan paham ekonominya sebagai move politik. Beliau tidak memiliki kepentingan dan tendensi apapun dengan paham itu. Meskipun ada yang menengarai bahwa beliau dipengarui Abdullah bin Saba’, politisi pengacau pada masa pemerintahan Utsman. Bahkan, ada pula yang mengaitkan paham Abu Dzarr dengan paham sosialisme ekstrim Mazdak di Persia, yanga menyatakan bahwa harta dan wanita adalah aset umum yang tidak bisa menjadi milik pribadi.


Abu Dzarr tidak dipengaruhi oleh siapapun. Beliau membenci penimbunan kekayaan semanjak awal masuk Islam. Dan, pandangan itu terus beliau pegang sampai dijemput ajal sendirian di Rabdzah, sebuah pelosok di timur Madinah.


Sebagai sufi yang tak memiliki kecintaan apapun terhadap harta, Abu Dzarr sangat risih dengan watak serba matrealistik pada saat itu. Bukan karena sentimen terhadap orang-orang kaya, tapi berjuang menghadang watak rakus yang menjalar dengan sangat cepat dan mengakar di tengah-tengah masyarakat.


Fokus Abu Dzarr bukan mengubah orang miskin menjadi orang kaya, tapi mengubah watak orang-orang kaya agar tidak rakus, tertumpu pada materi dan gila harta. Ketimpangan sosial di sekitarnya, beliau jadikan sebagai tangga untuk mengubah moralitas orang-orang kaya agar mau berbagi, tidak menumpuk kekayaan dan tidak ‘mempertuhankan’ materi.


Abu Dzarr memberikan warna yang unik dalam tasawuf dan paham kesejahteraan masyarakat. Di satu sisi, beliau suka hidup miskin, di sisi lain beliau meneriakkan pemerataan ekonomi dan mengecam orang-orang kaya.


Keunikan ini, karena Abu Dzarr tidak memiliki kepentingan apapun, kosisten untuk zuhud dan menginginkan orang lain untuk juga menjadi zuhud serta menafkahkan hartanya di jalan kebaikan. Protesnya terhadap orang-orang kaya, bukan karena dirinya miskin. Tapi, karena muak dengan kecenderungan materialistik mereka.


Dari situ, yang muncul sebagai esensi dalam paham ekonomi sufistik Abu Dzarr adalah pembentukan moralnya, sedangkan pemerataan ekonomi atau kesejahteraan bersama merupakan imbas dari pembentukan moral itu. Ekonomi sufistik Abu Dzarr ini bisa dinalar dengan logika ekonomi dan tasawuf sekaligus. Logika ekonominya adalah jika orang-orang kaya menjadi zuhud, maka seluruh komponen masyarakat akan sejahtera. Sedangkan logika sufistiknya adalah jika orang-orang kaya membagi-bagikan kekayaannya, maka mereka menjadi orang-orang yang zuhud.


Sebagai falsafah hidup pribadi atau gerakan moral, ekonomi sufistik ala Abu Dzarr adalah sebuah ide yang betul-betul heroik dan indah. Tapi, untuk menjadi ideologi masyarakat, ekonomi Abu Dzarr hampir menjadi sebuah utopia. Maka, tidak heran, ketika menjawab desakan Abu Dzarr, Khalifah Utsman berkata: “Wahai Abu Dzarr, tidak mungkin membawa masyarakat manjadi zuhud semua. Yang harus aku lakukan adalah mengatur mereka dengan hukum Allah dan memberikan anjuran agar mereka hidup sederhana.”


Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur, Edisi 004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar