Rabu, 26 Juni 2013

Gelar untuk Menaklukan Kiai Hasyim Asy’ari


Gelar untuk Menaklukan Kiai Hasyim Asy’ari

 

Belanda sangat risau dengan bangkitnya kelompok agama yang terus-menerus mengusik ketenangan penjajah. Langkah preventif segera diambil dengan mengutus berbagai intelektual ke pesantren, persis ketika Belanda mengirim Gericke untuk menyelidiki kehidupan pesantren Tegalsari yang diduga sebagai sumber spiritual perang Diponegoro. Sehingga mampu menggerakkan seluruh kekuatan bangsa. Kali ini Belanda mengirim van der Plaas yang tujuannya untuk modernisasi pesantren, tetapi KH Hasyim Asy’ari waspada terhadap muslihat untuk merongrong pendidikan pesantren dan menggantinya dengan pendidikan sekolah model Belanda itu.

 

Kiai Hasyim dengan gigih melawan agenda kolonial itu justru semakin memperkuat jaringan pendidikan pesantren. Melihat keteguhan pendirian ulama kharismatik itu, maka sekitar tahun 1935, Belanda mengambil siasat lain, bukan melawan, tetapi menjinakkan dengan tipu muslihat melalui pemberian gelar Bintang Perak, atas jasanya dalam mengembangkan pendidikan Islam. Tetapi gelar itu ditolak oleh Kiai Hasyim, sebab ia tahu bahwa pemberian gelar itu hanya tipu muslihat untuk menjinakkannya.

 

Melihat rencananya gagal, maka Belanda tidak kehilangan akal, dengan meningkatkan pemberian gelar yang lebih tinggi lagi yaitu memberikan Bintang Emas. Penghargaan tinggi itu pun ditampiknya pula, maka Belanda semakin kehilangan akal untuk menaklukkan pemimpin para ulama itu. Bahkan setelah itu Kai Hasyim juga semakin keras menetang segala kebijakan Belanda antara lain soal waris yang oleh Belanda hendak diintegrasikan ke dalam Nationaale Raad (hukum positif). Oleh Kiai Hasyim hal itu dianggap sebagai cara untuk mengintervensi kedaulatan hukum Islam, karena itu ditolak.

 

Ulama dahulu percaya bahwa pesantren dengan spirit pendidikan Islam mampu menangani pendidikannya sendiri tanpa dibantu oleh penjajah. Mereka sadar betul sebaik apapun bantuan kolonial itu bertujuan menjajah. Sayang, sikap kiai Hasyim yang nota bene dihormati sebagai pendiri NU itu tidak ada yang mau meneladani, baik para santrinya termasuk anak cucunya. Bagaimana mereka sangat gigih menjalankan agenda kolonial di pesantren. Dan bagaimana mereka dengan terbuka dan senang hati menerima berbagai penghargaan kolonial. Padahal kiai yang beramal berdasarkan keikhlasan tidak memerlukan berbagai gemerlapnya gelar, baik yang bersakala nasional maupun internasional. Tetapi karena keilmuan dan integritas ulama semakin menurun mereka membutuhkan berbagai gelar sebagai legitimasi keulamaan mereka. Padahal tidak sedikit gelar yang menjebak, seperti yang pernah dilakukan kolonial pada Kiai Hasyim. Sikap itu yang perlu diteladani. (Mun’im Dz)

 

Disadur dari buku Kebangkitan Ulama dan sumber lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar