Selasa, 20 Maret 2012

(Ngaji of the Day) Membangun Sinergisitas Organisasi & Pesantren


Membangun Sinergisitas Organisasi & Pesantren

Oleh: Hairul Anam



Lima belas abad silam, Nabi Muhammad SAW. telah bersabda bahwa kejahatan yang terorganisir dengan baik bisa mengalahkan kebajikan yang tidak teroganisir secara baik. Hemat saya, urgensitas suatu organisasi menemukan titik labuhnya dalam pernyataan tersebut. Berpangkal dari itulah, upaya menolak pentingnya organisasi tentu tak ada gunanya, bak menebaskan pedang ke air yang mengalir.


Sebagai tempat melejitkan pengajaran Islam, tentu pesantren menyadari hal itu. Stake holder pesantren pastinya mengetahui betapa peradaban Islam terbangun berkat strategi dakwah nabi dan pengikutnya yang dilakukan secara baik, terorganisir. Sebut saja misalnya dalam proses penulisan wahyu, nabi melibatkan Zaid bin Tsabit sebagai sekretarisnya. Di sini ditemukan salah satu unsur utama dalam sebuah organisasi, yaitu adanya pemerintah dan yang diperintah. Dan keutuhan firman Allah tersebut, menyebar ke seantero dunia tidak lepas dari upaya pengorganisiran yang dilakukan para sahabat penerus nabi seperti Usman bin Affan, Umar bin Khattob, dan seterusnya.


Berpangkal pada pengalaman saya sebagai santri, dalam tulisan ini, saya hendak mengurai pengamatan saya selama ini terhadap pesantren kaitannya dengan organisasi beserta problem yang menyertainya. Untuk kepentingan itu, saya akan coba melakukan pendekatan analitis-deskriptif. Dan saya bakal menguatkan analisis semua itu dengan menawarkan solusi alternatif yang bisa dijadikan pegangan.


Pesantren & Organisasi, Dataran Teoritis


Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa pesantren berasal dari kata “santri” dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri (1982: 18), sedangkan santri sendiri ialah orang yang mendalami ilmu agama secara sungguh-sungguh (KBBI Offline, 2010). Dengan begitu, saya memahami bahwa pesantren merupakan tempat orang-orang yang belajar agama secara sungguh-sungguh. Tidak hanya itu, melainkan juga dilengkapi dengan keberadaan kiai sebagai seorang yang menguasai ilmu agama secara mendalam dan berkenan mengajarkan ilmunya kepada orang yang belajar agama tersebut. Adapun yang dimaksud organisasi ialah satu-kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian dalam perkumpulan untuk mencapai tujuan tertentu, atau kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama (KBBI Offline, 2010).


Pada wilayah itu, menurut M Dawam Raharjo dalam Artikelnya berjudul “Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan” yang termaktub dalam buku Pesantren dan Pembaruan, didirikannya pesantren tidak terlepas dari tujuan khusus dan tujuan umum. Tujuan khususnya ialah guna mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan dan mengamalkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun tujuan umumnya ialah untuk membimbing anak didik agar menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup mengamalkan ilmunya dan menjadi muballigh bagi masyarakatnya (1995: 2).


Mencermati penjabaran di atas, betapa mulianya tujuan pesantren. Kalau tujuan itu tercapai secara utuh, umat Islam tentunya semakin tercerahkan sekaligus mencerahkan. Dan tujuan tersebut sulit terwujud secara optimal tanpa adanya pengorganisiran secara baik di pesantren. Membangun sinergisitas antara organisasi dan pesantren pun menjadi keharusan yang tak terbantahkan.


Hakikatnya, di dunia pesantren kini sudah terbangun adanya sistem keorganisasian, terutama di pesantren-pesantren yang terbilang maju dan mampu mengimbangi pergerakan roda zaman. Di dalamnya ditemukan adanya ketua pengurus, sekretaris, bendahara, dan sebagainya. Dalam batas tertentu, keorganisasian di pesantren yang tercermin dari sistem kepengurusan berlangsung dengan baik. Pada aras itu, kiai tetap berperan sebagai sentral kebijakan yang digelontorkan di dunia pesantren. Kebijakan kiai selalu mewarnai sistem kepengurusan di dalamnya.


Kendati demikian, kita masih menemukan beberapa celah di pesantren. Celah tersebut berkenaan dengan pemahaman terhadap organisasi yang belum mengental. Tak sulit kita menemukan pesantren yang lengkap dengan sistem kepengurusannya tapi kehidupan santri di dalamnya terbilang memilukan; dicekoki dengan ajian kitab an sich, menjalani kejenuhan di sekolah formal, minimnya kegiatan yang merangsang daya kreativitas dan menggali ragam potensi yang dimiliki oleh para santri, serta serumpun aktivitas keseharian lainnya.


Saya tidak bermaksud mau menyatakan bahwa rutinitas keseharian tersebut kurang baik. Baik, memang. Tapi kalau tidak disertai dengan sistem pengorganisiran yang baik, semuanya tidak menutup kemungkinan bisa berantakan. Pengontrolan santri nakal bersekolah, misalnya. Tanpa adanya pengorganisiran yang baik yang tercermin dari kekompakan pengurus, santri yang nakal biasanya kurang terurus. Ia terbuai dengan kenakalannya dan baru menyesal ketika dibenturkan dengan kebijakan DO dari sekolah.


Tidak hanya itu, dari analisis-reflektif yang saya lakukan, setidaknya terdapat 3 problem utama yang mengitari kehidupan pesantren sentuhannya dengan ranah organiasi. Pertama, bangunan ideologi Aswaja yang belum tertanam secara kuat. Paham Aswaja yang menjadi ideologi pesantren belum ‘diracik’ dengan baik, hanya ditransformasikan dengan pola ajian kitab dan atau ceramah saja. Ini dapat dilihat dari pola pengajaran di pesantren yang menitiktekankan pada transformasi keilmuan semata, tanpa ditopang dengan kajian mendalam yang bisa menyegarkan ‘dahaga’ keilmuan para santri.


Konkretnya, penanaman ideologi keaswajaan di pesantren masih terbilang lemah. Akibatnya, nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja belum tersentuh secara optimal. Sebut saja misalnya masih adanya tindak kekerasan di pesantren yang justru dipelopori oleh santri senior yang sudah lama mengenyam ilmu di dalamnya. Mengenai persoalan ini, saya telah mengurai panjang lebar dalam Artikel saya berjudul “Aswaja & Pesantren” (Radar Madura, Jumat, 15/01/2010).


Persoalan tersebut masih dihadapkan pada gerakan Islam Radikal yang selalu serius melebarkan sayap gerakannya hingga ke lingkungan pesantren. Saya tak berpretensi menghadirkan bukti kuantitatif di sini. Termasuk yang bersentuhan langsung dengan pesantren-pesantren di Madura. Hanya saja, problematika tersebut amat saya rasakan sewaktu saya aktif sebagai peneliti di The Pencil Connection Madura.


Kedua, pemegang otoritas kebijakan di pesantren (baca: kiai) tak jarang bersikap otoriter. Sikap seperti ini menjadi kelebihan sekaligus kelemahan. Kelebihan, karena dengan begitu bakal tercipta ketegasan dan kecepatan dalam mencetuskan kebijakan. Kelemahan, sebab hal itu tidak mencerminkan ajaran Islam sebagaimana yang telah dicontohkan Muhammad SAW. Kita tahu, sikat inklusif menjadi cermin kepribadian Nabi Muhammad SAW.


Ketiga, lemahnya jiwa kepemimpinan. Sudah menjadi perbincangan umum, sistem pergantian kepemimpian di pesantren bersifat monarki absolut, dilakukan turun temurun. Potensi dan pengasahan potensi kepemimpinan di dalamnya tidak dilakukan secara serius. Terpenting keturunan kiai, ia berhak menggantikan sang kiai ketika wafat kelak. Akibatnya, tatkala sudah terjadi pergantian kepemimpinan di pesantren, gerak langkah pesantren pun jauh dari harapan. Ini terjadi kalau penggantinya tersebut tidak terasah potensi kepemimpinannya.


Tawaran Solusi


Atas semua itu, membangun operasi gabungan (sinergi) antara organisasi dan pesantren merupakan kemestian. Keberadaan pesantren yang tidak ditopang dengan sistem keorganisasian secara baik hanya akan menyisakan perkembangan yang stagnan. Dan ini berdampak buruk terhadap masa depan santri beserta eksistensi pesantren untuk masa-masa selanjutnya.


Menilik persoalan utama yang dialami pesantren di atas, saya berupaya menawarkan beberapa solusi di bawah ini. Solusi ini bukanlah sesuatu yang paten, ia masih terbuka terhadap ragam kelemahan. Dari itulah harus dicermati dan disikapi secara kritis.


Kaitannya dengan masalah pertama, saya ingin menawarkan solusi dengan menguatkan hubungan ideologis dengan organisasi pembangun benteng pertahanan paham Aswaja, Nahdlatul Ulama (NU).



Benar memang, pesantren selama ini sudah menjadi bagian dari NU. Bangunan kultural dan struktural sangat kental. Sayangnya, yang melibatkan diri kebanyakan para kiainya. Sedangkan para santri lebih ditekankan aktif di pesantren. Pada wilayah itu, tak sedikit kiai yang hanya aktif masuk bagian sebagai pengurus NU, tetapi penanaman Aswaja pada santri belum begitu digalakkan.


Oleh karenanya, memberikan restu atau rekomendasi agar santri bisa aktif secara kultural dan struktural di keorganisasian NU kiranya sangatlah bijak. Misalnya mengikutsertakan santri ke organisasi yang dinaungi NU semacam IPPNU/IPNU sebagai badan otonom dari NU. Beberapa santri didelegasikan untuk menjadi bagian dari IPPNU/IPNU untuk kemudian membangun gerakan ideologis di pesantren. Penting digarisbawahi, relasi struktural akan mampu mengentalkan relasi kultural.


Sedangkan problem kedua sangat bergantung pada kesadaran kiai itu sendiri. Terpenting ialah sikap otoriter (eksklusif) mesti diubah menjadi inklusif atau terbuka atas ragam masukan dari siapa pun. Pada tataran teknis misalnya dihubungkan dengan ragam kebijakan pesantren. Para santri—terutama yang menjadi Pengurus—harus diberi peluang menyampaikan gagasannya demi kemajuan pesantren. Dalam hal ini, efektivitas dan efesiensinya amat saya rasakan sewaktu menjadi santri di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Di pesantren yang berdiri pada 1887 ini, para kiainya terbuka terhadap ragam masukan dari para santri.


Permasalahan berikutnya dapat disiasati dengan menumbuhkembangkan proses kaderisasi yang baik. Bolehlah putra kiai menjadi penerus kiai nantinya, tetapi setelah ia menempa potensi kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Tidak harus di luar pesantren, melainkan hal itu bisa juga dimulai di dalam pesantren sendiri. Dalam pada itu, melibatkan para putra kiai ke struktur kepengurusan di pesantren sangatlah baik guna memupuk potensi kepemimpinan dalam dirinya.


Sebagai uraian akhir, bagi saya, pesantren adalah wadah utama dalam menjaga dan menguatkan nilai-nilai keislaman. Tanpa ditopang dengan sistem keorganisasian yang baik, tentu berdampak buruk terhadap masa depan Islam. Ketika pesantren sudah mampu membangun sistem keorganisasian yang baik, peradaban Islam yang mulai redup bisa diharapkan terang benderang kembali. Amin. Wallahu A’lam. []



* Kontributor NU Online Pamekasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar