Senin, 19 Maret 2012

(Buku of the Day) Penakluk Badai, Novel Biografi KH. Hasyim Asy'ari

Catatan Kecil Dari Novel Biografi KH Hasyim Asy’ari Hasyim
043.jpg
Judul Buku : Penakluk Badai, Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari
Pengarang : Aguk Irawan MN
Penerbit : Global Media Utama
Tahun Terbit : Cet. ke-I, 2012
Tebal : xxxii + 530 halaman + lampiran
Peresensi : KH Imam Jazuli, Lc., MA*

The Hidden History (sejarah yang tersembunyi) kini telah terkuak. Munculnya karya fiksi dalam bentuk novelisasi biografi tokoh besar KH. Hasyim Asy’ari ini menggemparkan kesadaran historis kita. Bangsa Indonesia pada umumnya, dan masyarakat sejarah khususnya, perlu mempertimbangkan kembali informasi-infromasi sejarah yang tertuang dalam karya fiksi ini.

Bapak Revolusi Pendidikan Islam

Aguk Irawan mencoba menyingkap detail karisma dan keagungan KH. Hasyim Asy’ari yang selama ini hanya direduksi sebagai tokoh besar di kalangan Ormas Nahdhatul Ulama (NU) yang perannya sering hanya diketahui sekedar membela Aswaja dan menolak keras wahabisme. Lebih dari itu, dengan mengangkat perjuangan dan sumbangsihnya di bidang pendidikan, KH. Hasyim ditampilkan sebagai Bapak Revolusi Pendidikan Islam. Dimulai dari Tebuireng, KH. Hasyim mendirikan pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat bromocorah, perampok, pemabok, suka berjudi dan prostitusi, dan asusila. Tindakan ‘nyleneh’ beliau kali ini membuat cengang para Kiai Sepuh karena dianggap tidak lazim.

Di bidang kurikulum dan metode pengajaran, gagasan KH. Hasyim Asy’ari membongkar kejumudan yang mengkarat. Materi ilmu-ilmu umum sampai metode seminari dimasukkan ke dalam Pendidikan Islam bersanding imbang dengan ilmu-ilmu agama. Sementara metode pengajaran ala salaf yang dikenal di kalangan pesantren tetap dipertahankan sisi-sisi positifnya (hlm, 171-172). Tentu saja para Kiai Sepuh terheran-heran melihat perubahan pada para santri yang mulai memperdebatkan dan kritis terhadap wacana ilmu pengetahuan. Kelak, Bahts al-Masail sebagai metode Istimbat al-Hukm dalam tradisi NU, sejatinya, adalah buah manis dari metode pengajaran yang dipopulerkan oleh beliau.

Nasionalis Sejati

Novel ini kembali menampilkan KH. Hasyim sebagai sosok kontroversial, yang gagasannya selalu melampaui zamannya. Melalui hasil istikharahnya (hlm, 320), KH. Hasyim Asy’ari mau menerima tawaran kerjasama dari Jepang. Sementara banyak para Kiai lain dan rakyat yang sempat menjadi korban kekejaman Jepang mengkhawatirkan langkah politik KH. Hasyim tersebut. Jepang sendiri melunak dan mengambil jalan koperatif terhadap pribumi lantaran cemas bahwa suatu hari nanti Belanda akan merebut kembali wilayah yang kini diduduki Jepang. Kecemasan itu terbukti. Forum Internasional di Wina pada 1942 memutuskan bahwa negara-negara sekutu sepakat akan mengembalikan wilayah-wilayah yang diduduki Jepang kepada koloni masing-masing.

Landasan logika yang dijadikan pijakan KH. Hasyim adalah kenyataan bahwa beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dijajah Belanda, sehingga mentalitasnya rapuh dan mudah ciut. Dengan didikan dan gemblengan militer dari Jepang, bangsa Indonesia diharapkan memiliki kesiapan mental dengan suasana peperangan. Hal ini menjadi modal untuk kelak merebut kemerdekaan yang sesungguhnya. Sementara para kiai dari pesantren-pesantren lain melontarkan tuduhan bahwa KH. Hasyim Asy’ari adalah antek kolonialisme dan anti kemerdekaan (hlm, 322). Bagi mereka, cara yang tepat merebut kemerdekaan adalah dengan melawan kaum penjajah, tanpa kompromi apapun. Dengan kata lain, kubu KH. Hasyim adalah kubu nasionalis sejati sementara para kiai lain adalah nasionalis-idealis. Namun nyatanya, langkah politik yang ditempuh KH. Hasyim terbukti berbuah manis, masyarakat pribumi telah mengalami kemajuan yang pesat berkat keterlibatan Jepang.

Dalang di Balik Tercetusnya Ideologi Negara

Novel ini semakin seru tatkala menceritakan suasa politik nasional yang memanas lantaran terjadinya pertentangan kelompok dalam menentukan ideologi negara. Pada sidang BPUPKI 28 Mei-1 Juni 1945, kubu yang didalangi Soekarno dan Soepomo menghendaki negara ini bercorak nasionalis sekuler. Sedangkan kubu yang dikomandoi Muhammad Yamin menginginkan Islam sebagai landasan dasar negara Indonesia. Kedua kubu ini masih terus saling menguatkan pandangan masing-masing, sehingga nasib Indonesia masih di ambang kesuraman, apakah dijadikan negara sekuler atau negara Islam. Pertentangan tersebut baru reda setelah hadirnya Abdul Wahid Hasyim.

Abdul Wahid Hasyim yang sudah menerima gagasan dari ayahandanya, KH. Hasyim Asy’ari, tampil sebagai penengah dan mempertemukan dua kubu yang bertentangan itu. Wahid Hasyim menyampaikan pesan-pesan dari ayahandanya bahwa kondisi sosial politik bangsa Indonesia ketika itu persis dengan kondisi Madinah pada masa Rasulullah. Karena itulah, ideologi negara yang tercantum dalam Piagam Madinah layak untuk dijadikan contoh dalam merumuskan ideologi negara Indonesia. Mendengar penjelasan dari Wahid Hasyim, putra KH. Hasyim, kubu Soekarno dan kubu M. Yamin sama-sama menerima. Sejak saat itulah, Piagam Jakarta disepakati bersama (hlm, 346). Secara tidak langsung, KH. Hasyim Asy’ari adalah dalang di balik tercetusnya ideologi negara Indonesia, dan berkat gagasannya itu pertentangan ideologi dapat diredakan.

Pembela Kemerdekaan

Kadang kala, pihak yang paling mencintai negara adalah rakyat, dan pemerintah seringkali memiliki logika yang jauh dari hati nurani kaum bawah. KH. Hasyim Asy’ari atas nama hati nurani rakyat mengeluarkan fatwa jihad fi sabilillah untuk melawan tentara sekutu yang berniat kembali menguasai Indonesia. Sementara pemerintah menyepakati kesepatakan ‘gelap’ dengan pihak kolonial yang disebut Perundingan Linggarjati. ‘Kesepatakan gelap’ yang dimaksud adalah kesepatakan yang tidak mewakili seluruh suara rakyat, sehingga Perundingan Linggarjati-salah satu pointnya—membentuk Negara Republik Indoneisa Serikat (RIS). KH. Hasyim, Bung Tomo, Jenderal Soedirman, Kiai Wahab Hasbullah, dan tokoh-tokoh lainnya mengadakan kesepakatan tandingan di Tebuireng. Bagi kubu KH. Hasyim, kemerdekaan adalah harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Negara RIS dianggap sama halnya dengan menggadaikan kembali kemerdekaan. Pada saat itulah, negara menjadi ‘tak-berfungsi’. KH. Hasyim menjadi komando utama untuk menggerakkan rakyat melawan penjajah. Sayangnya, KH. Hasyim harus pergi menemui Tuhan Pencipta Kehidupan ini tepat pada saat satu persatu wilayah nusantara ini jatuh ke tangan penjajah.

Sebagai buku bermuatan sejarah, karya Aguk Irawan ini dapat dibilang sukses. Namun sebagai karya fiksi, ia menyimpan ‘kecacatan’; data-data sejarah menumpuk disana-sini, sehingga mengganggu pembaca menikmati keindahan fiksi itu sendiri. Akan tetapi, ‘kekurangan’ ini boleh jadi sebagai ‘sisi keunggulan’nya, mengingat informasi-informasi sejarah yang ditampilkan seakan-akan ingin menciptakan ‘sejarah baru’ versi si pengarang. Terbukti ketika beberapa tokoh nasional yang kita puja selama ini, malah dalam novel ini diungkap segala sisi keburukannya (hlm, 401).

* Wakil Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (PP RMI)-PBNU Jakarta, Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar