Jumat, 09 Maret 2012

(Ngaji of the Day) Hukum Tidur di Dalam Masjid


Hukum Tidur di Dalam Masjid



Sebagai seorang muslim, masjid adalah tempat yang sering kita datangi. Belakangan ini, aturan ‘Dilarang Tidur di Dalam Masjid’ kerap kita jumpai di sekian masjid. Bagaimana bisa aturan ini dibuat? Aturan ini diputuskan sepihak oleh pengurus sebagian masjid bahkan oleh oknum pengurus. Aturan ini sulit diabaikan, lebih-lebih dilanggar karena aturan ini tercetak di atas kertas folio dengan huruf besar-besar dan tebal, yang dilekatkan hampir di tiap kaca-kaca bagian belakang masjid.Pengurus masjid memang bermaksud baik dengan kebijakan itu seperti menjaga kebersihan dan keheningan masjid dari liur atau dengkuran yang ditimbulkan orang yang tidur, atau menghindari pencuri (microfon atau ampli, mesin elektronik pengeras suara) yang berpura-pura tidur. Tetapi sumber hukum larangan tersebut patut ditelaah lebih lanjut.



Kalau ditinjau dari segi fiqh sebenarnya, “Tak masalah tidur di masjid bagi orang yang tidak junub meskipun dia telah berkeluarga. Sejarah mencatat bahwa Ash-habus Shuffah –mereka adalah para sahabat yang zuhud, fakir dan perantau– tidur (bahkan tinggal) di masjid pada zaman Rasulullah SAW. Tentu saja haram hukumnya jika tidur mereka mempersempit ruang gerak orang yang sembahyang. Ketika itu, kita wajib menegurnya. Disunahkan pula menegur orang yang tidur di saf pertama atau di depan orang yang tengah sembahyang,” [M. Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi, Syarh Kasyifatus Saja ala Matni Safinatin Naja (Surabaya: Maktabah Ahmad bin Sa‘ad bin Nabhan wa Auladih, tanpa tahun) Hal. 29].



Pandangan fiqh di atas merupakan bagian dari sejarah kemanusiaan Rasulullah SAW. Jangankan untuk sekadar tidur lepas penat dalam hitungan jam (di siang hari bagi pekerja atau di malam hari bagi pelancong)? Bahkan untuk jangka yang tak terbatas sekalipun, agama memberikan toleransi untuk mereka seperti perlakuan Rasulullah terhadap Ash-habus Shuffah.



Jadi larangan tidur di masjid dimungkinkan hanya sejauh yang bersangkutan memiliki hadats besar atau mengganggu ruang gerak orang sembahyang yang menelan hanya 75cm x 1 meter. Ukuran ini bagi orang Indonesia sudah cukup leluasa untuk melakukan sembahyang. Larangan bisa saja dibelakukan dengan catatan pengurus masjid menyediakan ruang lain di masjid yang dapat digunakan untuk istirahat. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan pengurus masjid, tidak menyurutkan langkah dakwah Islam.


Ustadz Alhafidz Kurniawan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar