Senin, 26 Maret 2012

Bambang: Jangan Tuduh PTUN Pembela Koruptor

Jangan Tuduh PTUN Pembela Koruptor
Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI



KALAU Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) membatalkan kebijakan ilegal tentang pengetatan remisi bagi terpidana korupsi, tidak berarti PTUN membela koruptor. Ada dua pesan dari keputusan PTUN itu. Pertama, pejabat tinggi negara jangan amatiran. Kedua, jangan juga aji mumpung.



Wakil Menkumham Denny Indrayana dan kawan-kawannya menebar tuduhan. Siapa pun yang menentang kebijkan pengetatan remisi bagi terpidana korupsi dituduhnya sebagai pembela koruptor. Secara tak langsung, Mantan Menkum-HAM Yusril Ihza Mahendra pun dituduh demikian. "Saya ucapkan selamat kepada Bapak Yusril Ihza Mahendra yang telah membebaskan koruptor" kata Yusril mengutip pernyataan Denny. Yusril hanya membantu tujuh narapidana yang merasa dizolimi oleh Kebijakan Pengetatan Remisi bagi terpidana korupsi yang diterbitkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin dan Wakilnya Denny Indrayana.



Kalau seperti itu logika berpikir seorang pejabat tinggi negara, Denny pun mestinya melayangkan tuduhan kepada PTUN sebagai pembela koruptor. Sebab kebijakannya dibatalkan demi hukum oleh PTUN. Namun, sejak awal berbagai kalangan enggan menanggapi tuduhan itu. Alasan utamanya adalah tuduhan itu keluar dari konteks masalah. Konteks persoalannya adalah pelanggaran terhadap tata perundang-undangan. Kebijakan itu ditentang karena menabrak peraturan perundang-undangan. Bukan kebijakan pengetatan remisinya yang ditentang.



Dengan melancarkan tuduhan seperti itu, Denny tampak mencari cara instan untuk mengatasi persoalan yang sedang dihadapinya. Bahkan sangat kekanak-kanakan serta cenderung menghalalkan segala cara. Misalnya, ketika menanggapi kemungkinan tuntutan dari pihak-pihak yang dizolimi oleh kebijakan pengetatan remisi itu, Denny dengan lantang mengaku siap mati. “Apa pun yang dilakukan; dipidana sekalipun untuk kebijakan ini, saya siap. Kalau karena pembebesan bersyarat dan pengetatan remisi ini saya masuk penjara, mati pun saya siap," katanya.



Sekadar mengingatkan, kebijakan pengetatan remisi bagi terpidana korupsi sudah cacat sejak awal. Semula, judul kebijakannya ‘Moratorium Remisi’. Karena dihujani kecaman dari masyarakat, beberapa jam kemudian judul kebijakan itu berubah menjadi ‘Pengetatan Remisi’. Tetap saja kebijakan ini illegal karena melanggar Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan hak Warga Binaan Pemasyarakatan, termasuk pemberian remisi.



Selain itu, mekanisme penetapan kebijakan ini pun sangat amatiran. Kebijakan ini ditetapkan melalui telepon oleh Denny pada 30 Oktober 2011. Keesokan harinya, 31 Oktober 2011, perintah lisan itu langsung dijadikan surat edaran Plt Dirjen Pemasyarakatan. Tampak serba buru-buru, karena surat edaran itu bertujuan segera membatalkan pelaksanaan surat keputusan (SK) Remisi Menkum HAM yang diterbitkan Menkum-Ham sebelumnya. SK Remisi Menkum-HAM itu akan diberlakukan bagi 102 terpidana koruptor dan narkotika, untuk periode 28 - 30 Oktober 2011. Agar pembatalan itu sah, diterbitkanlah surat Keputusan Menkum- HAM yang membatalkan SK remisi para terpidana itu. Tetapi tanggal penerbitan SK pembatalan itu dua minggu kemudian, tepatnya 16 November 2011. Tetap saja tampak konyol. Kepmen pembatalan itu merujuk ke PP No. 32/1999, tetapi PP ini sudah usang, sebab telah diganti dengan PP No. 28/2006.



Akibat penetapan kebijakan yang demikian amatiran itu, 102 narapidana merasa dizolimi oleh Menkum-Ham dan wakilnya. Fakta tentang penzoliman pun telah diperkuat oleh PTUN. Setidaknya, kebijakan pengetatan remisi itu sudah diuji oleh pengadilan. Kebijakan itu nyata-nyata bertentangan dengan undang-undang yang berlaku Wajarlah jika sistem hukum juga memberi ruang kepada 102 narapidana yang dizolimi itu untuk mengajukan tuntutan pidana kepada pihak yang melakukan penzoliman.



Terjadi keanehan di Kementerian Hukum dan HAM. Jika Menkum-HAM dapat menerima keputusan PTUN itu, Denny sebagai Wakil justru akan mengajukan banding. Keinginan banding itu rupanya sebuah keterpaksaan yang harus dilakoni. Denny merasa telah dipermalukan oleh keputusan PTUN itu. Selain itu, dengan mengajukan banding, Denny bisa menghindar, setidaknya mengulur waktu, dari kemungkinan gugatan para narapidana yang merasa dizolimi. Memang, mereka bisa mempidanakan Menkum-HAM dan wakilnya dengan pasal 333 KUHP dengan ancaman maksimal 8 tahun penjara.



Keputusan PTUN itu merupakan pesan kepada penyelenggara pemerintahan untuk jangan sekali-kali bertindak semena-mena. Termasuk semena-mena terhadap para narapidana. Keputusan PTUN itu juga mengajarkan kepada semua pejabat tinggi negara agar selalu menaati struktur perundang-undangan di negara ini. Menjadi pejabat tinggi negara tidak berarti boleh melanggar undang-undang. Jangan aji mumpung.



Kalau masih konsisten untuk memberlakukan pengetatan remisi bagi terpidana koruptor, kebijakannya harus dirumuskan dengan benar seturut peraturan perundang-undangan. Sudah ditegaskan sebelumnya bahwa jangankan pengetatan, penghapusan remisi bagi koruptor pun pasti disetujui rakyat. Yakinlah bahwa seluruh komponen rakyat, termasuk DPR, pasti mendukung pengetatan remisi bagi terpidana koruptor. Sebab, hakikatnya, tak ada yang ingin membela koruptor.



Akhir-akhir ini, publik masih menggunjingkan wacana tentang memiskinkan koruptor. Seharusnya, Kemenkumham merespons wacana ini. Apalagi, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memberi isyarat setuju dengan ide memiskinkan koruptor. Dengan demikian, selain merumuskan lagi kebijakan pengetatan remisi, Kemenkumham sudah ditantang untuk merumuskan kebijakan yang memberi hak kepada negara untuk memiskinkan para koruptor.



Artinya, pekerjaan yang harus diselesaikan Amir dan Denny masih banyak, dan bukan hanya persoalan remisi. Belum lama ini, terjadi kerusuhan di penjara Kerobokan, Denpasar, Bali. Mudah-mudahan, Amir dan Denny tahu bahwa latar belakang kerusuhan di Kerobokan adalah masalah lama yang sengaja tidak diselesaikan karena perilaku korup oknum sipir penjara atau lembaga pemasyarakatan (Lapas).



Menteri Hukum dan HAM serta wakilnya harus segera membenahi pengelolaan Lapas, dan memperbaiki perlakuan terhadap para narapidana. Kalau tidak segera dibenahi, kerusuhan serupa bisa meledak di lapas lain. Sebab, aspirasi narapidana Kerobokan adalah aspirasi narapidana di semua Lapas lainnya. Artinya, kerusuhan Kerobokan bisa menjadi preseden. Narapidana mempersoalkan kelebihan kapasitas, diskriminasi perlakuan dan pungutan liar di Lapas. Semua itu adalah penyimpangan manajemen Lapas yang sudah menjadi rahasia umum.



Pengetatan remisi, memiskinkan koruptor hingga pembenahan manajemen Lapas adalah pekerjaan besar yang menuntut kosentrasi penuh. Pekerjaan besar ini tidak boleh diganggu atau direduksi oleh kepentingan politik sesaat. Pengetatan remisi bagi terpidana korupsi adalah kebijakan yang cukup strategis dalam konteks pemberatasan korupsi. Dari pengetatan remisi, diharapkan tumbuh efek jera.



Sayang, kebijakan pengetatan remisi yang dirancang Menkum-HAM dan wakilnya itu illegal karena dibebani kepentingan politik yang sempit. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar