Kamis, 15 Maret 2012

Bambang: Harga BBM Bersubsidi dan Keadilan

Harga BBM Bersubsidi dan Keadilan



Bambang Soesatyo

Anggota DPR RI



PEMERINTAH  harus memaksimalkan dulu pemanfaatan anggaran, sebelum menaikkan harga BBM bersubsidi. Karena efekvitas pemanfaatan anggaran masih sangat rendah, rakyat akan merasa dizolimi jika pemerintah begitu saja menaikkan harga BBM bersubsidi.



Dengan alasan situasi perekonomian global yang terus diselimuti ketidakpastian, menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi menjadi kebijakan yang sulit dihindari pemerintah. Sebab, harga minyak mentah di pasar internasional meningkat tajam. Konsekuensinya, beban subsidi BBM dalam APBN tahun berjalan dipastikan membengkak. Tahun lalu, subsidi BBM membengkak dari pagu Rp 129,7 triliun menjadi Rp 165,2 triliun.



Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan para menteri ekonomi sudah dan terus member sinyal bahwa pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi.  Ketika memberi pengarahan kepada peserta Raker Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di Luar Negeri, Kamis (23/2). Presiden menegaskan,  “Kebijakan (menaikkan harga BBM) ini terpaksa, tetapi ini akan membawa keselamatan perekonomian kita di masa depan. Kalau ada solusi lain, tidak perlu dinaikkan.”  



Mudah dipahami kalau rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi didorong oleh kenaikan harga minyak mentah dunia yang dipicu oleh ketegangan Iran versus Amerika Serikat, sejumlah negara di Eropa serta Israel. Harga minyak naik sangat tajam menyusul keputusan Iran menghentikan ekspor minyak ke sejumlah negara di Eropa Barat. Harga minyak mentah dunia  bergerak naik memasuki kisaran 120 dolar AS per barel,  sementara ICP (Indonesia  Crued Prize) hanya diasumsikan 90 dolar AS per barel,

                              

Sudah bertahun-tahun pemerintah menunjukan itikad menaikkan harga BBM bersubsidi.  Alasannya pun selalu sama, yakni terjadinya pembengkakan subsidi BBM akibat  dua faktor. Fluktuasi harga minyak dunia dan penambahan kuota  BBM bersubsidi. Sudah disiapkan sejumlah opsi dan skenario pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, tetapi itikad  mengurangi subsidi BBM selalu dibatalkan. 



Kalau tahun ini pemerintah akhirnya benar-benar ‘berani’ menaikkan harga BBM bersubsidi,  pastilah karena pemerintah merasa alasannya sudah sangat lengkap. Pemerintah memanfaatkan momentum ketegangan Iran versus barat untuk merealisasikan kenaikan harga BBM bersubsidi. Pemerintah berasumsi bahwa rakyat bisa memahami kebijakan ini, karena banyak negara pun tahun ini harus mengubah kebijakan energinya masing-masing.



Namun, alasan ketegangan internasional itu saja belum cukup.  Situasi global masih diselimutiketidakpastian, sehingga niat merealisasikan kenaikan harga BBM bersubsidi itu terlalu terburu-buru. Kalau Iran dan AS-Eropa dalam jangka dekat bisa mencari jalan tengah sehingga mendorong penurunan harga minyak mentah dunia, rakyat tetap dirugikan karena pemerintah belum tentu bersedia menurunkan lagi harga BBM bersubsidi yang sudah dinaikan karena alasan lonjakan harga minyak mentah dunia.



Oleh karena itu, demi keadilan dan ksejahteraan rakyat Indonesia, harga BBM bersubsidi harus tetap dipertahankan pada posisinya yang sekarang, sambil terus mengamati fluktuasi harga minyak mentah dunia. Pengalaman membuktikan bahwa pembengkakan subsidi BBM tidak membuat perekonomian Indonesia bangkrut. Bahkan, melalui mekanisme subsidi BBM itu, rakyat kalangan bawah di Indonesia bisa menikmati sedikit tingginya pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu mencapai 6,5 persen itu.



Desember  tahun lalu, pemerintah mengajukan usul  penambahan kuota BBM bersubsidi  1,5 juta kilo liter. Dengan tambahan itu, kuota BBM bersubdisi tahun 2011 menjadi 41,9 juta kilo liter dari sebelumnya 40,4 juta kilo liter. Biaya untuk tambahan kuota itu diperkirakan Rp 4,5 triliun.  Sudah terbukti bahwa keuangan negara tidak mengalami gangguan serius.



Tidak Adil



Kalau mengacu pada keluhan pemerintah sendiri, pembengkakan subsidi BBM mestinya tidak patut dijadikan isu. Pun jangan dikambinghitamkan sebagai faktor perusak keseimbangan APBN. Bahwa terjadi pembengkakan karena subsidi salah sasaran, pemerintah justru harus memperbaiki kesalahannnya sendiri. Kuota subsidi BBM tidak perlu ditambah jika pemerintah mampu mendistribusikan BBM bersubsidi dengan tepat.  Jadi, jangan melemparkan kesalahan itu kepada masyarakat kalangan sebagai konsumen BBM bersubsidi.



Kalau pemerintah bisa meningkatkan efektivitas pemanfaatan anggaran, mestinya tidak ada persoalan serius yang berkait dengan anggaran untuk subsidi BBM. Justru karena pemanfaatan anggaran masih jauh dari efektif, subsidi BBM dijadikan kambing hitam.  



Ketika memberi pengarahan pada sidang kabinet di kantor Presiden, pertengahan Desember 2011, mempersoalkan minimnya anggaran belanja infrastruktur di APBN, karena sebaian besar anggaran habis untuk biaya rutin, seperti gaji pegawai dan belanja modal kementerian /lembaga. "Anggaran untuk belanja modal di APBN kita masih terlalu rendah. Saya berharap dalam APBN-P nanti, kalau ada sisa anggaran, jangan digunakan yang lain, kecuali untuk belanja modal dan pembangunan infrastruktur. Tahun 2013 dan 2014 saya ingin jauh lebih besar sehingga masuk akal," kata Presiden SBY waktu itu.



Dan, Rabu (22/2)  pekan lalu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan penggunaan anggaran pemerintah harusnya untuk hal yang menyentuh masyarakat luas. "Hampir seluruh instansi, penyerapannya ekstrem di akhir-akhir tahun. Di awal tahun, lebih didominasi gaji dan operasional saja, dan yang menyentuh masyarakat luas kurang sekali," kata Menkeu.



Kalau seperti itu kenyataannya, mengapa pemerintah tidak mengoreksi dulu kebijakan tentang alokasi dan pemanfaatan anggaran sebelum mempersoalkan anggaran subsidi BBM?  Apa yang dikemukakan  Presiden dan Menkeu itu jelas otokritik atau ajakan instropeksi mengenai perlunya meningkatkan efektivitas pemanfaatan anggaran.



Subsidi BBM dan pembangunan infrastruktur merupakan kepentingan rakyat. Maka, menjadi tidak adil kalau subsidi BBM harus dikurangi sementara pemerintah dalam praktik pengelolaan dan pemanfaatan anggaran lebih memrioritaskan gaji dan belanja rutin K/L. Bukankah rakyat pun berhak mendapatkan kompensasi dari pengelolaan anggaran negara yang belum sehat itu? Dengan demikian, menaikkan harga BBM bersubsidi saat ini justru melukai rasa keadilan masyarakat, terutama mereka yang benar-benar hanya bisa mengonsumsi BBM bersubsidi.    



Demi keadilan dan kesejahteraan rakyat yang apa adanya seperti saat ini,  skenario kebijakan BBM bersubsidi tahun 2012 jangan buru-buru diubah hanya karena faktor ketegangan Iran versus barat. Pertahankan dulu kuota BBM bersubsidi 2012 sebesar 40 juta kilo liter itu. Kuota itu terdiri dari premium 24,41 juta kilo liter, minyak tanah 1,7 juta kilo liter, dan solar 13,89 juta kilo liter.



BBM bersubsidi itu bermakna sangat strategis, karena dibutuhkan puluhan, bahkan lebih dari 100 juta warga.  Dilihat dari jumlah konsumennya, apa pun isu tentang BBM bersubsidi  otomatis menjadi sangat sensitif. Oleh karena itu, jangan asal bicara untuk masalah yang satu ini. Boleh jadi, setelah menyimak sejumlah pernyataan para petinggi di Jakarta, para spekulan saat ini sedang berulah menggoreng harga BBM bersubsidi di pelosok-pelosok daerah.



Artinya, jangan pernah lagi mewacanakan kenaikan harga BBM bersubsidi di ruang publik. Kalau masih dalam tahap rencana, biarkan menjadi masalah  dalam birokrasi pemerintah. Setelah final, barulah kebijakan itu disosialisasikan. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar