Sejarah mencatat, upaya bughot (memberontak) oleh sejumlah kelompok terhadap pemerintahan yang sah sebagian besar dimotori oleh tentara yang sudah merasa tidak sejalan dengan visi pemerintahan yang ada dengan ambisi tinggi meraih kekuasaan politik.
Sebut saja kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang diprakarsai Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu digerakkan oleh Dipo Nusantara Aidit, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang didirikan oleh Letkol Achmad Husein, Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang dimotori oleh Lektol Venjte Sumual, Kolonel D.J. Somba, dan Mayor Eddy Gagola.
Di beberapa literatur sejarah menyebutkan, proklamasi kemerdekaan RI dibarengi gerakan ‘hijrah’ pasukan, baik dari tentara nasional, Hizbullah dan Sabilillah dari kawasan jajahan Belanda ke kawasan RI.
Gerakan pembersihan dalam bentuk ‘hijrah’ tersebut menyisakan beberapa tentara. Sisa-sisa laskar tentara tersebut selanjutnya diorganisasi secara perorangan, misal di Jawa Barat oleh Kartosoewirjo untuk melakukan perlawanan terakhir.
Dijelaskan oleh Abdul Mun’im DZ dalam Runtuhnya Gerakan Subversif di Indonesia (2014), sejumlah tentara yang tertinggal di Jawa Barat tersebut diorganisir kemudian dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII).
Setelah itu mereka merancang Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian pada 10 Februari 1948 dan pada 25 Agustus 1948 dikeluarkan Maklumat Pemerintah Islam Indonesia yang menandai berdirinya Negara Islam menggantikan Republik Indonesia yang dianggap kafir dan komunis.
Terhadap gerakan-gerakan subversif tersebut, para kiai tidak tinggal diam begitu saja. Mereka tidak mau bangsa dan negara yang telah dibangun atas dasar konsensus (kesepakatan) kebangsaan menjadi hancur hanya karena kepentingan kelompok tertentu yang ahistoris. Aksi gerombolan DI/TII bukannya menguntungkan umat Islam tetapi malah menimbulkan malah petaka bagi Muslim itu sendiri. Tidak sedikit umat Islam yang menjadi korban kekejaman DI/TII.
Gerakan DI/TII yang sudah melampaui batas kemanusiaan dan konsensus bersama negara berdasarkan Pancasila membutuhkan pemikiran, bantuan, dan partisipasi aktif dari para kiai. Dalam memoarnya (2008), KH Idham Chalid yang saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II dan Kepala Badan Keamanan membentuk badan yang diberi nama Kiai-kiai Pembantu Keamanan (KPK).
Kiai di dalam badan disebut KPK ini utamanya untuk merespons anggapan DI/TII yang menganggap bahwa negara ini adalah Republik Indonesia Kafir (RIK). Namun, sejumlah laskar yang memang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) seperti Hizbullah dan Sabilillah turut membantu mengantisipasi pemberontakan DI/TII maupun yang dilakukan oleh PKI kala itu.
KPK terdiri dari sejumlah kiai dari beberapa provinsi yang di daerahnya ada gerombolan DI/TII. KH Idham Chalid menunjuk KH Muslich sebagai Ketua KPK. Umumnya, setiap provinsi hanya menunjuk satu orang kiai dalam mengkoordinir gerakan KPK. Kecuali provinsi yang sudah pada kondisi gawat seperti Jawa Barat. Di tanah Priangan ini, diangkat dua orang kiai.
Anggota KPK di Jawa Barat adalah KH Dimyati (Ciparai) dan Moh. Marsid. Untuk Jawa Tengah dipimpin oleh KH Malik, kiai terkemuka asal Demak. Di Jawa Timur ada KH Raden As’ad Syamsul Arifin Situbondo.
Adapun di Kalimantan KPK dimotori oleh KH Ahmad Sanusi, Lampung digerakkan oleh KH Zahri, Sumatera Selatan dipimpin oleh ulama terkemuka di Sumsel dan Rais Syuriyah NU Bengkulu KH Jusuf Umar, Sumatera Tengah KH Kahar Ma’ruf, Sumatera Utara dan Aceh Tengku Mohammad Ali Panglima Pulen (pernah menjadi Ketua PWNU Aceh dan Anggota MPRS, dan di Sulawesi KH Abdullah Joesoef.
Dari badan yang dibentuk oleh KH Idham Chalis tersebut, semua kiai sepakat bahwa DI/TII adalah kelompok pemberontak yang mengganggu keamanan bangsa dan negara secara nasional sehingga perlu dilawan. Apalagi mereka sudah terbukti memakan korban manusia yang tidak sedikit.
Para kiai di dalam KPK menyatakan, penilaian dan anggapan DI/TII yang menyebut Indonesia sebagai Republik Indonesia Kafir (RIK) tidaklah benar. Karena berdasarkan konsensus bersama, seluruh warga negara bebas menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing. Sebab itu sebagai negara kesatuan, tidak sepatutnya seorang atau kelompok menginginkan bentuk negara lain yang tidak sesuai dengan kemajemukan bangsa Indonesia. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar