Jika kita teliti dan cermat, semua aturan agama (syari’at) adalah untuk kemaslahatan umat. Tidak ada satu pun aturan agama Islam yang merugikan pemeluknya. Orientasinya bisa dua arah: meraih dan mempertahankan kemaslahatan atau menolak dan menghilangkan mafsadat (kerugian atau bahaya). Semua ulama sepakat akan hal ini. Dari kalangan manapun. Syekh ‘Izuddin bin Abd as-Salam mengatakan,
إن الشريعة كلها مصالح إما درء مفاسد أو جلب مصالح
Artinya, “Sesungguhnya seluruh syari’at adalah untuk tujuan maslahat, baik dalam bentuk menilat maafsadat ataupun meraih mashlahat.”
Imam al-Qarafi mengawali kitabnya, al-Furuq, mengatakan bahwa kemaslahatan dalam aturan syari’at merupakan hal yang sudah menjadi ‘kebiasaan’ bagi Allah swt. Tentu, sesuatu yang diniliai terbiasa memiliki nilai konsisten pada setiap waktu dan tempat.
إن عادة الله تعالى في الشرائع أن الأحكام تتبع المصالح
Artinya, “Sudah menjadi kebiasaan bagi Allah dalam menetapkan hukum-hukum syariat berioentasi pada kemaslahatan.” (Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, juz 3, hal. 95) Ibnul Qayyim al-Jauziyah juga mengatakan,
فإن الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد في المعاش والمعاد وهي عدل كلها ورحمة كلها ومصالح كلها وحكمة كلها فكل مسألة خرجت عن العدل إلى الجور وعن الرحمة إلى ضدها وعن المصلحة إلى المفسدة وعن الحكمة إلى العبث فليست من الشريعة و إن دخلت فيها بالتأويل
Artinya, “Sesungguhnya syari’at itu bangunan dan fondasinyaa didasarkan pada kebijaksanaan (hikmah) dan kemaslahatan para hamba-Nya di dunia dan akhirat. Syari’at secara keseluruhan adalah keadilan, rahmat, kebijaksaanaan dan kemaslahatan. Maka dari itu, segala perkara yang mengabaikan keadilan demi tirani, kasih sayang pada sebaliknya, kemaslahatan pada kemafsadahan, kebijaksanaan pada kesia-siaan, maka itu bukan syari’at, meskipun semua dimasukkan ke dalamnya melalui interpretasi.” (Ibnu al-Qayyim , I’lam al-Wuawwiqin an Rabb al-Alamin, Vol. I (Beirut: Darul Jil, 1973), hal. 333.)
Lebih tegas lagi, Ibnu ‘Asyur menjelaskan, meskipun dalam sebagian hukum-hukum syari’at sekilas memberatkan, tapi sejatinya adalah untuk tujuan kebaikan (maslahat). Contoh saja tentang kehamaran minum khamer (minuman keras). Sekilas memang larang itu memberatkan bagi sebagian kalangan, seperti para pemabuk. Tapi ada tujuan kemaslahatan agung di baliknya.
Bahkan, dengan mengharamkan khamer berarti telah menutup rapat-rapat pintu kemaksiatan. Dalam Islam khamer disebut sebagai sumber kejahatan (ummu al-khabaits). Rasulullah saw bersabda,
اجْتَنِبُوا الْخَمْرَ فَإِنَّهَا أُمُّ الْخَبَائِثِ
Artinya, “Jauhilah khamer, karena sesungguhnya itu adalah sumber dari perbuatan-perbuatan kriminal.”
Bukti bahwa Islam adalah agama penebar kemaslahatan adalah Allah telah mengutus Nabi Muhammad saw sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dalam al-Quran, Allah swt berfirman,
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ
Artinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya [21]: 107)
Allah telah mengutus Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan ajaran Islam dengan kasih sayang. Tentu, kasih sayang termasuk dalam bentuk menjaga kemaslahatan dan mencegah kemadharatan.
Kalau kita perhatikan, dalam beberapa ayat Al-Qur’an secara jelas Allah swt mengungkapkan alasan-alasan sebuah syariat ditetapkan. Baik untuk meraih kemaslahatan ataupun mencegah bahaya (mudharat).
Dalam rangka meraih maslahat misalkan dijelaskan tentang maslahat yang didapatkan bagi orang yang melaksanakan shalat. Allah berfirman:
وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ
Artinya, “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut [29]: 45)
Ayat di atas sangat jelas sekali, syariat shalat ditetapkan agar seorang hamba terhindar dari perbuatan kriminal. Saat seorang hamba sedang shalat, sejatinya ia sedang menghadap Tuhan yang sangat agung dan begitu baik terhadapnya. Secara logika, bagaimana mungkin ia berani berbuat jahat (maksiat) terhadap-Nya?
Dalam pemberlakuan syari’at qishash juga demikian. Secara zahir memang qishash adalah menghukum dengan melukai secara fisik, membalas nyawa dengan nyawa. Tetapi sejatinya adalah untuk menjamin keselamatan nyawa umat manusia, baik nyawa si pelaku, nyawa korban, ataupun nyawa umat manusia secara lebih luas. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman,
وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Artinya, “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 179)
Syekh Fakruddin al-Razi, seorang ilmuwan muslim yang juga sebagai pelopor logika induktif, dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib, mengatakan bahwa syariat qishash ditetapkan sebagai bentuk jaminan hidup bagi orang yang berniat membunuh, bagi orang yang hendak dibunuh dan bagi umat manusia secara umum.
Bagi orang yang punya niat membunuh, karena ia tahu jika menghilangkan nyawa akan dibalas nyawa, ia akan mengurungkan niatnya. Dengan tidak membunuh, berarti ia juga tidak akan dibunuh dan nyawa dirinya selamat. Ini yang dimaksud jaminan kehidupan bagi pihak yang berniat membunuh.
Bagi orang yang tadinya hendak menjadi sasaran terbunuh, karena orang yang berniat membunuh tadi tidak jadi membunuh, maka ia tetap selamat dari tindak pembunuhan oleh orang yang tadinya berniat membunuh. Ini yang dimaksud jaminan kehidupan bagi pihak yang tadinya hendak dibunuh.
Sementara bagi umat manusia secara umum adalah, dengan adanya syariat qishash, mereka yang punya niat untuk membunuh orang lain, akan mengurungkan niatnya karena takut diqishash. Sehingga tidak terjadi lagi orang membunuh ataupun dibunuh.
Dengan begitu, lanjut Al-Razi, syariat qishash telah menjamin kehidupan seluruh umat manusia.
Berangkat dari prinsip maslahat, ada beberapa kaidah yang menjadi acuan penetapan hukum syari’at. Diantaranya:
1)الأصل في المنافع الإذن وفي المضار المنع
Artinya, “Terhadap hal-hal yang memiliki nilai manfaat, pada dasarnya adalah boleh. Sementara yang memiliki nilai madharat dalah dilarang.”
2)الضرر يزال
Artinya, “Bahaya (kerugian) harus dihilangkan.”
3)الفتوى تدور مع المصلحة حيث دارت
Artinya, “Sebuat fatwa harus beroientasi pada maslahat.”
4)تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
Artinya, “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus selalu terikat pada maslahat.”
Demikianlah, semua aturan-aturan agama selalu mengacu pada kemaslahatan umat manusia. Bahkan, hal-hal yang terkadang terlihat begitu memberatkan, ada kemaslahatan yang selalu diprioritaskan. []
Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Mahasantri Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar