Rukhsah secara bahasa adalah mempermudah dan meringankan dalam satu urusan. Kalimat rakhkhasha fil amri berarti memudahkan urusan tersebut. Secara istilah rukhsah merupakan hukum yang tetap berdasarkan dalil yang berbeda dengan dalil syar’i karena pertimbangan uzur mukallaf. (Syekh Ali Jum’ah Muhammad, Al-Hukmus Syar’i indal Ushuliyyin, [Kairo, Darus Salam: 2013 M/1434 H], halaman 78).
Rukhsah terdiri atas empat jenis yakni rukhsah wajib/darurah, rukhsah sunnah, rukhsah, mubah, dan rukhsah makruh. Pada kesempatan kali ini, kita akan menyebutkan sejumlah contoh rukhsah wajib atau rukhsah darurat yang harus ditempuh oleh seseorang.
Contoh rukhsah yang wajib diambil adalah konsumsi daging bangkai oleh orang yang terpaksa/darurat (mudhtharr). (Syekh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, Al-Wadhih fi Ushulil Fiqh, [Kairo, Darus Salam: 2018 M/1439 H], halaman 57).
Syekh Ali Jum’ah menerangkan hal yang sama. Salah satu contoh rukhsah wajib adalah konsumsi daging bangkai bagi orang yang terpaksa. Sedangkan konsumsi daging bangkai pada asalnya adalah haram sebagaimana Surat Al-Maidah ayat 3.
Hanya saja kondisi darurat mewajibkan orang yang terpaksa untuk mengonsumsi daging bangkai demi menyelamatkan jiwa sebagaimana Surat Al-Baqarah ayat 173. (Ali Jum’ah, 2013 M/1434 H: 79).
Rukhsah yang wajib diambil, kata Syekh Wahbah Az-Zuhayli, adalah konsumsi bangkai bagi mereka yang terpaksa memakannya. Konsumsi daging bangkai yang asalnya haram menjadi wajib karena uzur tertentu, yaitu menjaga keselamatan jiwa. (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Ushulul Fiqhil Islami, [Beirut, Darul Fikr, Al-Muashir: 2013 M/1434 H], juz I, halaman 115).
Az-Zuhayli mengutip Surat Al-Baqarah ayat 195:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Artinya: “Jangan lemparkan dirimu dengan sebab perbuatanmu ke dalam jurang kebinasaan,” (Surat Al-Baqarah ayat 195).
Abu Zahrah menyebutnya rukhsah darurah dengan menyebutkan contoh kasus yang sama. (Imam Muhammad Abu Zahrah, Ushulul Fiqh, [Kairo, Darul Fikr Al-Arabi: 2012 M/1433 H], halaman 51).
Contoh lain dari rukhsah jenis ini adalah tayamum karena ketiadaan air atau karena khawatir menggunakan air. Orang yang khawatir atas keselamatan jiwanya ketika harus membasuh najis dengan air, diwajibkan untuk bertayamum sebagaimana dijelaskan Imam Ar-Rafi’i. (Ali Jum’ah, 2013 M/1434 H: 79).
Imam Bukhari, Abu Dawud, dan Al-Baihaki, meriwayatkan kisah sahabat Amr bin Ash yang melakukan tayamum karena khawatir mati kedinginan, lalu mengimami shalat di tengah pasukannya. Rasulullah saw yang mendengar laporan tersebut dari sebagian sahabat hanya tertawa dan tidak mengecamnya.
عن عمرو بن العاص قال احتلمت في ليلة باردة في غزوة ذات السلاسل فأشفقت إن اغتسلت أن أهلك فتيممت ثم صليت بأصحابي الصبح فذكروا ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال يا عمرو صليت بأصحابك وأنت جنب فأخبرته بالذي منعني من الاغتسال وقلت إني سمعت الله يقول وَلَا تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا فضحك رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يقل شيئا
Artinya: “Dari Amr bin Ash, ia berkata, ‘Suatu malam yang dingin aku bermimpi (jimak/ihtilam) pada perang Zatus Salasil. Aku khawatir mati kedinginan bila mandi, lalu aku bertayamum, lalu shalat subuh bersama pasukan. Mereka menceritakan peristiwa ini kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya, ‘Wahai Amr, kamu dalam keadaan junub melakukan shalat bersama pasukan?’ Aku lalu menceritakan kepadanya alasan yang menghalangiku untuk mandi. Kubilang, aku mendengar firman Allah ‘Jangan kalian bunuh diri kalian. Sungguh, Allah maha penyayang terhadap kalian,’ (Surat An-Nisa ayat 29). Nabi saw hanya tertawa dan tidak mengatakan apapun,” (HR Bukhari, Abu Dawud, dan Al-Baihaki dengan lafal Abu Dawud).
Adapun Imam Al-Ghazali mengatakan, tayamum saat ketiadaan air bukan bagian dari rukhsah, tetapi azimah (pelaksanaan hukum asal) karena memang perintahnya demikian. Sedangkan tayamum karena khawatir menggunakan air lantaran uzur tertentu seperti kehausan, luka, atau uzur lainnya, baru tergolong rukhsah. (Ali Jum’ah, 2013 M/1434 H: 79).
Syekh Ali Jum’ah menyebutkan contoh lainnya, yaitu kewajiban pembatalan puasa oleh musafir yang dikhawatirkan keselamatan jiwanya bila melanjutkan ibadah puasa. Pada situasi darurat keselamatan jiwa seperti ini, pelaksanaan puasa Ramadhan menjadi haram sebagaimana diyakini Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa dan Al-Jurjani dalam At-Tahrir. (Ali Jum’ah, 2013 M/1434 H: 79-80).
Contoh yang diangkat terakhir sejalan dengan riwayat Imam Muslim yang menceritakan pembatalan puasa Ramadhan Rasulullah setelah Ashar dengan mengangkat gelas airnya tinggi-tinggi agar terlihat yang kemudian diikuti oleh sahabat dalam perjalanan Fathu Makkah.
Sebagian sahabat sebelumnya sudah jatuh pingsan karena mungkin dehidrasi. Adapun sebagian orang yang memaksakan diri untuk melanjutkan puasanya, oleh Rasulullah saw disebut sebagai orang yang bermaksiat.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
Artinya: “Dari sahabat Jabir bin Abdillah RA, Rasulullah SAW keluar pada tahun Fathu Makkah (630 M/8 H) menuju Makkah pada bulan Ramadhan. Rasulullah masih berpuasa. Tiba di Kira Al-Ghamim, orang-orang juga masih berpuasa. Rasulullah kemudian meminta segelas air (karena kondisi fisik menurun) lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sehingga orang banyak melihat gelas yang dipegangnya. Ia kemudian meminumnya. Setelah itu Rasul dikabarkan bahwa sebagian orang memaksakan diri berpuasa. Rasul mengatakan, ‘Mereka orang yang bermaksiat. Mereka orang yang bermaksiat,’” (HR Muslim).
Kalau orang tersebut memaksakan diri dengan meneruskan puasanya, kata Imam Al-Ghazali terdapat dua kemungkinan (Ali Jum’ah, 2013 M/1434 H: 80) yakni:
a. Puasanya tidak sah karena ia bermaksiat karena pemaksaan puasanya. Bagaimana seseorang dapat bertaqarub kepada Allah dengan sesuatu kemaksiatan.
b. Kemungkinan juga ia bermaksiat karena kezaliman terhadap jiwanya yang menjadi hak Allah. Dengan demikian ibadah puasanya seperti ibadah shalat pada rumah rampasan (ad-darul maghshubah).
Imbauan jaga jarak untuk menghindari kerumunan juga menjadi bagian dari rukhsah darurat perihal ibadah yang mengharuskan berkerumun rapat. Dengan demikian, kita diharuskan untuk menjaga jarak shaf shalat untuk menghindari penyebaran pandemi yang asalnya shaf dianjurkan untuk dirapatkan.
وفر من المجذوم المصاب بالجذام كما تفر من الأسد
Artinya: “Larilah dari orang yang terkena lepra sebagaimana kau lari dari singa,” (HR Bukhari).
Demikian sejumlah contoh rukhsah wajib atau rukhsah darurah yang harus diambil seseorang karena keringanan rukhsah itu secara hukum adat, dapat menyelamatkan jiwanya. Sedangkan jiwa kita adalah hak (amanah) Allah yang harus dipelihara. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar