Secara terminologis, Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari dalam kitab Fathul Mu’in menyebutkan bahwa shalat pada pengertian syara’ adalah rangkaian ucapan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Dengan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa shalat tidak bisa dilaksanakan secara sembrono, karena itu setiap muslim diharuskan mempelajari ilmu yang meliputi pembahasan tentang aturan-aturan shalat, yaitu ilmu fiqih.
Selain hal-hal yang terkait dengan aturan shalat, pada praktiknya, ternyata shalat itu mempunyai manfaat yang dapat dirasakan kebaikannya. Salah satunya adalah memberi pengaruh pada ketenangan jiwa. Pernyataan ini tentu bukan tanpa alasan, ada banyak penelitian psikologis yang mengungkapkan hal itu berdasarkan kajian ilmiah, yakni dengan istilah bernama 'terapi religius'.
Terapi religius adalah bagian dari cabang psikoterapi (terapi jiwa). Menurut penelitian Dedy Susanto berjudul Psikoterapi Religius sebagai Strategi Dakwah dalam Menanggulangi Tindak Sosiopatic (2013), terapi religius merupakan sebuah penyembuhan terhadap pola perilaku menyimpang dengan menggunakan pendekatan-pendekatan agama.
Sebagaimana kita ketahui, setiap manusia selalu dilanda pada ragam permasalahan tentang kehidupan, seperti kegagalan dalam soal karir, ekonomi, dan problematika sosial lainnya. Tidak jarang akibat permasalahan tersebut akan mengalami gangguan jiwa, sehingga berdampak pada kesehatan jasmani, baik fisik maupun mental, termasuk juga di dalam hubungan sosialnya.
Sangat penting bagi manusia untuk rileks di kala pikirannya mengalami gejala stres berat. Sangat penting pula baginya untuk selalu memperhatikan kondisi dirinya dalam menyikapi permasalahan yang ada. Oleh sebab itu, dibutuhkan terapi jiwa agar pengembangan, pemberdayaan potensi, dan kecerdasan fitrah manusia dapat dikondisikan dengan stabil.
Ritual shalat merupakan ibadah yang bisa menjadi praktik terapi jiwa dengan sangat sederhana. Melalui shalat, manusia bisa berhubungan langsung antara seorang hamba kepada Allah SWT tanpa ada sekat komunikasi yang dapat terpisahkan.
Pada praktiknya, shalat memiliki norma khusus yang dapat memelihara pikiran manusia yang mengerjakannya. Karena itu, seyogyanya kita dituntut untuk khusyu dalam shalat, yakni konsentrasi memusatkan pikiran pada satu titik dengan segala kerendahan hati sebagai bentuk penghambaan kepada Allah.
Menurut Ibnu Hajar Ansori dkk dalam penelitian berjudul Psikologi Shalat (2019), ketika seseorang itu berkonsentrasi, ia akan dituntut untuk mengontrol diri mereka, baik dalam hal perbuatan maupun pikiran. Kontrol diri ini adalah metode pengendalian emosi seseorang serta dorongan-dorongan yang terdapat dalam dirinya. Melalui pengendalian emosi, seseorang bisa mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat.
Seperti halnya orang yang shalat harus melihat ke tempat sujudnya, yaitu pada titik yang tetap ketika berdiri. Melihat kedua kaki ketika ruku’, melihat ujung hidungnya ketika sujud, dan lain sebagainya, artinya terdapat titik pandang yang tetap pada setiap gerakan shalat agar pandangan orang yang mengerjakannya tidak terpecah sehingga dapat mempengaruhi konsentrasinya.
Dengan begitu, apabila pekerjaan tersebut sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, maka akan berdampak besar pada perbuatan-perbuatan yang lain. Kontrol diri inilah yang bisa menjadi solusi dalam menghadapi gejala stres, sangat mudah diterapkan hanya melalui ibadah shalat.
Selanjutnya, gerakan shalat juga dapat menstabilkan fungsi organ tubuh dengan baik. Salah satunya sujud, ketika posisi kepala lebih rendah dari posisi jantung, urat saraf pada bagian otak akan terisi oleh darah, hal ini dapat mengakibatkan otak dapat berfungsi dengan baik. Artinya dengan membiasakan sujud setiap harinya bisa membantu merelaksasi otot-otot kepala.
Di samping melatih konsentrasi, gerakan shalat juga memiliki esensi yang identik dengan kerendahan hati. Bermula dengan gerakan takbiratul ihram, manusia dituntut untuk memusatkan pikiran untuk merendahkan diri ketika ber-tawajjuh kepada Allah. Diikuti gerakan ruku’ dengan membungkukkan badan yang menggambarkan sifat tawadhu'.
Gerakan berikutnya yaitu sujud di mana sebagai bentuk manifestasi penghambaan kepada Allah. Kemudian tasyahud yang berisi pujian, doa, dan keselamatan sebagai wujud harapan manusia paling tinggi. Terakhir gerakan salam menoleh ke arah kanan dan kiri, dengan memaksudkan menebarkan keselamatan dan kebaikan untuk semua makhluk Allah.
Semua rangkaian itu memberikan pesan penting kepada manusia tentang makna kesalehan, baik kesalehan individu maupun sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa ritual shalat jika dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, maka dapat membentuk identitas dan moral yang baik untuk masyarakat.
Sangat terang benderang bahwa Allah sudah banyak menegaskan betapa pentingnya shalat dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya dalam surat Al-Ankabut ayat 45:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Dengan demikian, begitu mudahnya bagi seseorang yang dilanda stres untuk menjalankan terapi jiwa yang sangat sederhana ini, yakni membiasakan shalat lima waktu setiap harinya. Mungkin saja di antara kita masih banyak yang suka menunda-nunda waktu shalat atau bahkan meninggalkannya.
Permasalahan hidup yang kita hadapi bisa menjadi ajang untuk introspeksi diri bahwa solusi paling sempurna yang dilakukan oleh manusia adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena semua yang ada di dunia ini berada pada qudrah dan iradah-Nya, sehingga bentuk penghambaan adalah proses mengadu yang terbaik dalam menghadapi semua persoalan hidup. []
Ahmad Rifaldi, Mahasiswa Magister Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar