Keluasan khazanah ilmu keislaman membuat sangat sulit, bahkan hampir mustahil dikuasai oleh satu orang. Terutama bagi orang-orang yang hidup setelah tiga kurun utama yang dilegitimasi oleh Nabi Muhammad saw sebagai kurun terbaik sesuai urutan masanya. Karenanya menjadi keniscayaan setiap orang mendalami apa yang diminati dan lebih bermanfaat baginya. Jadilah mereka sebagai ahli di bidang masing-masing, meskipun ada pula bebeberapa orang punya keahlian lintas bidang. Imam as-Suyuthi misalnya, hampir semua fan ilmu keislaman dikuasainya. Namun ada beberapa yang tampak menonjol. Fiqih dan hadis adalah dua di antaranya.
Berbicara para ahli fiqih dan ahli hadis, kita tak dapat memungkiri bahwa relasi dua kelompok itu dikenal kurang harmonis. Hal ini bisa kita saksikan ketika membaca kitab-kitab al-jarh wat ta'dîl, misalnya. Banyak komentar miring para ahli hadis kepada ahli fiqih. Dalam hal ini kelompok yang paling identik dengan fiqih adalah ulama mazhab Hanafi. Mereka dikenal memiliki nalar fiqih yang luar biasa, hingga terkadang menolak suatu hadis karena tidak sesuai dengan nalarnya. Apakah hal demikian tindakan yang benar atau tidak, butuh tulisan tersendiri untuk membahasnya, tidak akan dibahas di sini.
Pada masa salaf, tepatnya pasca tragedi "Inkuisisi Al-Qur’an", kelompok ini dijuluki sebagai Ashâbur Ra'yi (para pengguna nalar), sebagaimana disebutkan Syekh Muhammad Zahid Al-Kautsari dalam kitabnya, Fiqhu Ahlil 'Irâq:
وَأَمَّا بِحَسَبِ الْعَلَمِيَّةِ فَهُوَ فِي عُرْفِ السَّلَفِ مِنَ الرُّوَاةِ بَعْدَ مِحْنَةِ خَلْقِ الْقُرْآنِ عَلَمٌ عَلَى أَهْلِ الْعِرَاقِ، وَهُمْ أَهْلُ الْكُوفَةِ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَنْ تَابَعَهُ مِنْهُمْ. وَبَالَغَ بَعْضُهُمْ فِي التَّشْنِيعِ عَلَيْهِمْ
Artinya, "Dipandang dari segi nama, Ashâbur Ra'yi menurut kebiasaan para ahli hadis kurun salaf adalah julukan bagi penduduk Irak, tepatnya kota Kufah, yaitu Abu Hanifah dan para pengikutnya. Sebagian ahli hadis mencerca mereka secara berlebihan." (Muhammad Zahid al-Kautsari, Fiqhu Ahlil 'Irâqi wa Hadîtsuhum, [Cairo, al-Maktabatul Azhariyyah lit Turâts], halaman 20).
Komentar pedas para ahli hadis kepada Ashâbur Ra'yi banyak kita temukan ketika mereka menyebutkan profil Imam Abu Hanifah. Semisal dalam kitab ar-Raf'u wat Takmîl fîl Jarh wat Ta'dîl, Syekh Abdul Hayyi al-Laknawi menyebutkan beberapa komentar miring ahli hadis terhadap Sang Imam:
فَتَارَةً يَقُولُونَ إِنَّهُ مُشْتَغِلٌ بِالْفِقْهِ، وَتَارَةً يَقُولُونَ إِنَّهُ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْقِيَاسِ وَالرَّأْيِ وَكَانَ لَا يَعْمَلُ بِالْحَدِيثِ
Artinya, "Kadang para ahli hadis mengatakan: ‘Abu Hanifah adalah orang yang menekuni fiqih’, dan kadang mereka berkata: ‘Abu Hanifah termasuk golongan pemakai qiyas dan nalar, ia tidak mengamalkan hadis’."
Bahkan, Abu Bakr ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya menulis bab khusus untuk mengkritik dan menolak Abu Hanifah dengan judul:
بَابُ الرَّدِّ عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ
Artinya, “Bab Kritik terhadap Abu Hanifah." (Muhammad Abdul Hayyi Al-Laknawi, ar-Raf'u wat Takmîl fîl Jarh wat Ta'dîl, [Kairo, Dârus Salâm: 2018], halaman 70-73).
Meskipun banyak komentar miring terhadap Imam Abu Hanifah, namun tulisan yang membelanya tidak kalah banyak, baik yang diselipkan di tengah pembahasan kitab, yang dibuat bab tersendiri, hingga ada yang menuliskannya dalam satu kitab tersendiri, demi membersihkan namanya dari berbagai kritik dan tuduhan-tuduhan keji.
Sebutan Ashâbur Ra'yi yang disematkan kepada Abu Hanifah dan para pengikutnya sendiri memiliki dua makna, positif dan negatif. Makna negatifnya seperti yang kita lihat di atas. Sebutan tersebut digunakan sebagai tuduhan kepada seseorang bahwa dia memberi porsi yang berlebih terhadap nalar dibanding nash Al-Qur’an dan hadis; sedangkan makna positifnya sebutan tersebut digunakan sebagai pujian kepada para pakar fiqih, seperti yang dilakukan oleh Imam Ibn Qutaibah ad-Dinawari dalam kitab al-Ma'ârif. Ia menyebut Imam al-Auza'i, Imam Sufyan ats-Tsauri, dan Imam Malik sebagai Ashâbur Ra'yi, di mana yang dimaksud olehnya adalah para ahli fiqih.
Bagi orang yang berpikir jernih, sebenarnya tidak ada yang perlu dipertentangkan antara ahli fiqih dan ahli hadis, justru keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam catatan kakinya atas kitab ar-Raf'u wat Takmîl mengutip statemen Syekh Ali al-Qari dalam karyanya yang berjudul Adillatu Mu'taqai Abî Hanîfata fî Abawaiyyir Rasûl, yang mengibaratkan relasi ahli fiqih dan ahli hadis laksana relasi dokter dan penjual obat:
اَلْمُحَدِّثُ بِلَا فِقْهٍ كَعَطَّارٍ غَيْرِ طَبِيبٍ. فَالْأَدْوِيَةُ حَاصِلَةٌ فِي دُكَانِهِ وَلَا يَدْرِي لِمَاذَا تَصْلُحُ. وَالْفَقِيهُ بِلَا حَدِيثٍ كَطَبِيبٍ لَيْسَ بِعَطَّارٍ، يَعْرِفُ مَا تَصْلُحُ لَهُ الْأَدْوِيَةُ إِلَّا أَنَّهَا لَيْسَتْ عِنْدَهُ
Artinya, "Pakar hadis yang tidak pandai fiqih ibarat penjual obat yang bukan dokter. Ia punya berbagai macam jenis obat di tokonya, namun tak tahu persis apa fungsinya. Pakar fiqih yang tak pandai hadis ibarat dokter yang bukan penjual obat. Ia tahu fungsi dari berbagai macam obat-obatan, tapi tak memilikinya." Wallâhu a’lam. (Abdul Fattah Abu Ghuddah, catatan kaki atas ar-Raf'u wat Takmîl, halaman 91).
[]
Gus Rif’an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Berjan, Purworejo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar