Jumat, 14 September 2012

(Ngaji of the Day) Hutang Negara Bukan Hutang Rakyat


Hutang Negara Bukan Hutang Rakyat

 

Sampai saat ini negara kita masih belum bisa keluar dari krisis ekonomi. Untuk menutupi anggaran, terpaksa negara terus meminjam ke sana ke mari, sehingga sampai kini hutang negara telah mencapai kurang lebih 1.859,43 triliun atau 202,55 miliar dollar AS.

 

Artinya, jika hutang negara dibagi rata di antara penduduk, maka setiap kepala termasuk bayi yang baru lahir, harus menanggung beban hutang masing-masing sekitar 8-7 juta rupiah. Sementara kita tahu bahwa tidak sedikit di antara uang hutang tersebut dikorup oleh para pejabat.

 

Pemerintah sebagai pelaksana wewenang negara adalah wakil kita, atau memegang mandat untuk mengurus keperluan rakyat dan melindungi hak-haknya. Kemaslahatan rakyat adalah acuan utama seluruh kebijakan dan kerja negara–pemerintah, sesuai kaidah fiqh “Tasarruful imam ‘alar raiyyah manuthun bil mashlahah.”

 

Aturan main soal hutang piutang termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282, hal ini sebagai indikator betapa seriusnya urusan hutang piutang tersebut, bukan sepanjang hidup di dunia saja, tapi sampai akherat kelak.

 

Berkaitan dengan beban hutang, beberapa hadits Nabi Muhammad SAW perlu diperhatikan; pertama menerangkan bahwa beliau tidak berkenan menshalatkan jenazah yang masih mempunyai hutang (HR. Bukhari).

 

Kedua bahwasannya Pahala ahli kubur akan ditangguhkan sampai hutangnya dilunasi. (HR. Turmudzi).

Ketiga bahwa pada hari kiamat nanti hutang itu sudah dibayar dengan pahala kebaikan, jika pahalanya sudah habis sementara penagih masih antri, maka dosa piutang akan dipikul kepada yang mempunyai hutang (HR. Bukhari).

 

Keempat bahwa Allah Swt. akan membebaskan semua dosa orang yang mati syahid, kecuali masalah hutang (HR. Muslim, Riyadhush Shalihin, Kitab Jihad).

 

Dengan demikian, hubungannya dengan hutang negara apakah menjadi hutang pribadi warga? Lantas siapakah yang berkewajiban membayanya?

 

Mengenai hal ini, apa yang dijelaskan oleh Izuddin bin Abdis Salam sekiranya dapat diambil dasar bahwa tanggungjawab ada pada negara, apa bila hutang itu digunakan untuk kemashlahatan rakyat banyak.

 

Namun terhadap hutang negara yang dikorup oleh para pejabat dan kroninya, maka negara membayarnya dengan dana yang ditarik kembali dari orang-orang yang mengkorupnya. Seperti diisyaratkan dalam al-Fatawa.

 

وَأَمَّا دَيْنُ الْمَيِّتِ فَإِنْ كَانَ مَعْذُوْرًا فِي تَأْخِيْرِهِ إِلَى مَا بَعْدَ الْمَوْتِ فَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّهُ يَعْصِى وَلاَ يَأْثَمُ، فَإِنْ كَانَ عَاصِيًا فِي تَأْخِيْرِهِ فَإِنَّهُ يَأْثَمُ بِذَلِكَ، وَإِنِ اسْتَدَانَهُ لِمَعْصِيَةٍ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرًا لِأَنَّهُ عَصَى مَعْصِيَتَيْنِ، وَإِنِ اقْتَرَضَ لِوَاجِبٍ أَوْ مُبَاحٍ وَلَمْ يُقْصِرْ فِي التَّأْخِيْرِ لَا إِثْمَ عَلَيْهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ. فَالتَّعَلُّقُ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَعَلَّقَ تَعَلُّقَ عِقَابٍ وَمُؤَاخَذَةٍ، فَهَذَا لَا تَجْرِي فِيْ حَقِّ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ اْلإِسْلاَمِ إِذَا لَمْ يَأْثَمْ بِاْلاقْتِرَاضِ وَلاَ بِالْمَطَالِ، وَهَذَا مُحَالٌ أَنْ يُوْجَدَ فِيْ حَقِّ النَّبِيِّ r، فَإِنَّهُ لَا يَقْتَرِضُ إِلاَّ فِيْ طَاعَةٍ أَوْ مُبَاحٍ. الثَّانِي أَنْ تَعَلَّقَ نَفْسُهُ بِدَيْنِهِ بِأَنْ تُؤْخَذَ مِنْ حَسَنَاتِهِ مَكَانَ مَا أَخَذَ مِنَ الدُّيُوْنِ الْمُبَاحَةِ، كَمَا بَاعَ فِي الدُّنْيَا مَسْكَنَهُ وَخَادِمَهُ مَعَ أَنَّهُ لَا إِثْمَ عَلَيْهِ

 

(Artinya) Adapun hutang seseorang yang meninggal dunia, jika yang bersangkutan memiliki udzur dalam menunda pelunasan hutangnya sampai meninggal dunia, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama muslimin bahwa tidak maksiat dan tidak menanggung dosa.

 

Jika ia bermaksiat dalam menunda pelunasan hutangnya, maka ia berdosa dengan sebab penundaan tersebut. Jika ia berhutang untuk perbuatan maksiat, maka ia berdosa dengan dua maksiat, dan jika ia berhutang untuk sesuatu yang wajib atau mubah, dan ia tidak teledor dalam menunda (pembayaran) maka ia tidak berdosa.

 

Sabda Nabi SAW: “Diri seorang mukmin tergantung dengan hutangnya sampai dilunasi.” Pengertian 'tergantung' itu mempunya dua macam makna.

 

Pertama, tergantung dengan hukuman dan siksaan. Yang demikian ini tidak berlaku pada seorang muslim pun, ketika ia tidak berdosa dengan hutang dan menunda pelunasannya. Yang seperti ini mustahil terjadi pada pribadi Nabi SAW, karena beliau tidak berhutang kecuali untuk ketaatan atau sesuatu yang mubah.

 

Kedua, dirinya tergantung dengan hutang tersebut. Dalam arti pahala-pahala amal kebaikannya diambil untuk mengganti hutang-hutangnya dalam hal-hal yang mubah, sebagaimana ketika di dunia ia menjual rumah untuk melunasi hutang, dan setelah itu dia tidak berdosa.

 

Disarikan dari Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Di Asrama Haji Pondok Gede. Jakarta, 25-28 Juli 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar