Jumat, 07 September 2012

BamSoet: Aliran Dana Bank Century

Aliran Dana Bank Century

 

Dari kronologi fakta di bawah ini, sesungguhnya sdh lebih dari cukup bagi KPK untuk segera menetapkan siapa orang yg paling bertanggung jawab sebagai tersangka -- paling tdk sebagai pintu masuk atau anak tangga pertama -- sebelum menyentuh tokoh utamanya, yakni pejabat BI dan LPS.

 

Kisruh DPT ( dana pihak terkait) Jangan membayangkan bahwa yang disebut ―aliran dana Bank Century‖ adalah dana yang mengalir dari brankas Bank Century (setelah disuntik Rp 6,7 triliun) ke sejumlah nama yang tidak berhak, baik individu atau organisasi. Baik perusahaan atau partai politik. Tim sukses atau tim gagal. Yang disebut ―aliran dana Bank Century‖ sesungguhnya adalah duit.  

 

Lantas mengapa diributkan?

 

Sebab, tak semua nasabah Bank Century berhak dan boleh menarik duit mereka. Ada 1.427 rekening yang (mestinya) diharamkan melakukan aktivitas penarikan dana begitu bank tersebut berstatus Dalam Pengawasan Khusus oleh Bank Indonesia (6 November 2008). Tapi nyatanya, justru sejak hari itu hingga 10 Agustus 2009 (perhatikan baik-baik bulan dan tahunnya), Bank Century kebobolan hingga Rp 938 miliar!

 

Bobol tahap pertama sebesar Rp 344 miliar terjadi pada periode 6-13 November 2008, persis saat statusnya Dalam Pengawasan Khusus (Special Surveillance Unit/SSU). Kebobolan yang kedua terjadi pada periode 14-21 November 2008 sebesar Rp 273,8 miliar, saat bank milik keluarga Tantular itu dikucuri pinjaman Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) oleh Bank Indonesia. Sementara kebobolan terlama adalah tahap ketiga, yang terjadi antara 24 November 2008 hingga 10 Agustus 2009, sebesar Rp 320,7 miliar alias saat bank itu sudah di-bail out pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Padahal, di periode ini, manajemen dan susnan direksi Bank Century sudah berganti.

 

Lantas mengapa kebobolan bisa bertubi-tubi dan tak ada seorang pun yang menghentikannya?

 

Dana Pihak Terkait (DPT) Sebagaimana diketahui, pada 31 Oktober dan 3 November 2008, manajemen Bank Century mengajukan pinjaman Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FJPP) kepada Bank Indonesia sebesar Rp 1 triliun. Karena pengajuan itu, maka BI mulai menempatkan para pengawasnya pada 6 November 2008, dan pada hari yang sama langsung mengeluarkan surat yang melarangpenarikan dana dari rekening simpanan milik pihak terkait (baik giro, tabungan, maupun deposito). Surat Deputi Gubernur BI (DpG) No.10/9/DpG/DPB1/Rahasia itu ditujukan kepada manajemen Bank Century (manajemen lama), yang memerintahkan agar tidak melayani ―penarikan dana dari rekening milik pihak terkait dengan bank, dan atau pihak-pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia‖.

 

Secara normatif, surat perintah Deputi Gubernur BI ini merupakan prosedur standar yang ditujukan pada bank-bank yang berstatus Dalam Pengawasan Khusus sebagaimana diatur oleh Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/38/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank. Dalam aturan tersebut, yang dimaksud dana pihak terkait (DPT) ada 16 jenis, yang kurang lebih adalah individu atau perusahaan yang terafiliasi dengan pemilik atau manajemen (lama) Bank Century, serta pihak-pihak yang memiliki hubungan bisnis dan kepemilikan saham bersama di bisnis tertentu. Sebab, Bank Indonesia tak mungkin menyuntikkan dana ke sebuah bank yang sakit, tapi uang itu kemudian ditarik oleh pemilik sendiri dan para koleganya. Atau orang-orang yang masih memiliki urusan utang-piutang dengan pemilik.

 

Tapi alih-alih diblokir, rekening-rekening DPT ini justru dibiarkan ngablak sehingga penarikan terjadi berkali-kali, dan akibatnya, dana suntikkan Bank Indonesia dan LPS tak pernah cukup untuk menyehatkan Century. Inilah salah satu penjelasan mengapa yang semula hanya dibutuhkan Rp 632 miliar untuk penyelamatan, kemudian membengkak menjadi Rp 6,7 triliun. Sebab itu bila dijumlahkan dengan dana FPJP sebesar Rp 689 miliar dari Bank Indonesia (14-18 November 2008), maka sesungguhnya Bank Century ini sudah diguyur Rp 7,3 triliun!

 

Tentu saja ini ibarat mengisi tandon air tanpa pernah menutup sumber kebocorannya. Sebab, kebocoran itu sendiri terkesan dibiarkan dan berlangsung selama berbulan-bulan di depan hidung Bank Indoensia, LPS, bahkan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK).

 

Lantas apa yang sebenarnya terjadi?

 

Pada 14 November 2008 Bank Indonesia akhirnya mengabulkan permohonan FPJP untuk Bank Century sebesar Rp 689 miliar (dari Rp 1 triliun yang diminta). Dana tersebut lalu digunakan untuk dua jenis kebutuhan besar: pertama untuk melunasi transaki antar-bank sebesar Rp 28,2 miliar, dan keperluan pembayaran Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp 661 miliar. Itu artinya, begitu dikucuri FPJP, para nasabah banyak yang menarik dana melalui rekening masing-masing, sehingga kucuran FPJP ini bak menyiram air di padang pasir.

 

Tapi bukan ini bagian yang terburuk. Bagian terburuknya adalah: dari Rp 661 miliar duit kucuran FPJP yang ditarik para nasabah Century itu, Rp 273 miliar di antaranya adalah penarikan oleh pihak-pihak terkait yang mestinya diharamkan dan tak boleh lolos dari pengawasan Bank Indonesia. Apalagi, Bank Indonesia sendirilah yang menetapkan peraturan dan sudah mengirim surat larangan, dan menempatkan para pengawasnya di sana.

 

Sulit membayangkan, Bank Indonesia menggerojok Rp 689 miliar (input) tapi tak memperketat pengawasannya di jalur keluarnya uang (output). Apakah rekening-rekening itu tidak diblokir? Inilah keganjilan yang kesekian dari banyak keganjilan yang membelit kisah bail out Bank Century.

 

Meski surat larangan penarikan dana dari rekening pihak terkait sudah dilayangkan Bank Indonesia sejak 6 November 2008, manajemen (lama) Bank Century baru mengeluarkan memo internal 11 hari kemudian (17 November 2008), yang isinya melarang pihak-pihak terkait untuk menarik dananya, baik melalui rekening giro, tabungan atau deposito. Tentu saja banyak hal yang bisa terjadi dalam 11 hari. Apalagi, memo internal itu tidak merinci nama dan nomor rekening pihak terkait yang dimaksud, sehingga tidak dilakukan pemblokiran. Lalu apakah manajemen Bank Century membangkang perintah Bank Indonesia?

 

Hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan, blunder tentang mana rekening yang harus diblokir dan tidak, ada di pihak Bank Indonesia sendiri. Menurut BPK, ―Bank Indonesia tidak segera memberitahukan dan menetapkan rekening pihak terkait bersamaan dengan penetapan status Bank Century sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus sebagaimana surat BI kepada Bank Century No.10/9/DpG/DPB1/Rahasia, pada 6 November 2008.‖

 

Tapi Bank Indonesia sendiri menyatakan bahwa daftar rekening-rekening yang seharusnya diblokir menjadi tanggung jawab Bank Century. Tentu saja ini logika yang agak mengganggu, setidaknya bagi saya. Bagaimana mungkin manajemen lama Bank Century yang mestinya dianggap tidak lagi kompeten, diberi kewenangan menetapkan sendiri daftar rekening yang boleh dan tak boleh melakukan aktivitas penarikan atau pencairan. Bukankah manajemen lama dengan mudah akan meloloskan dan mengamankan rekening-rekening mereka sendiri?

 

Situasi yang kacau ini berlanjut hingga periode masuknya LPS (opsi bail-out) tanggal 21 November 2008, setelah keputusan KSSK. Begitu diambil alih LPS, Direksi Bank Century mengeluarkan memo internal kedua, tertanggal 22 November 2008 yang memerintahkan kepada seluruh pimpinan cabang untuk memeriksa, melengkapi, dan mengaktualkan rekening-rekening pihak terkait mana saja yang seharusnya diblokir. Saat itulah, baru dilakukan pemblokiran atas 543 rekening.

 

Tapi metode pemblokiran yang digunakan manajemen (baru) Bank Century itu masih menggunakan pendekatan nomor rekening, sehingga bila seseorang yang terafiliasi dengan pemilik lama memiliki lebih dari satu rekening, maka rekening itu bisa saja lolos atau luput. Padahal, ada metode pelacakan lain yang disebut sebagai Customer Indentification File (CIF), di mana memungkinkan identifikasi berbagai nomor rekening untuk setiap nasabah.

 

Metode inilah yang kemudian digunakan BPK untuk menjaring lebih teliti lagi, rekening-rekening mana saja yang bisa dikategorikan sebagai Dana Pihak Terkait (DPT). Dan benar saja, dari 543 rekening yang semula ditemukan, setelah menggunakan metode CIF, ternyata bertambah menjadi 694 rekening. Itu artinya, memang ada nama-nama tertentu yang memiliki lebih dari satu rekening.

 

Di tengah kekacauan inilah muncul sebuah fragmen di mana seorang pengawas Bank Indonesia pada tanggal 24 November 2008 (hari pertama dimulainya suntikan Rp 6,7 triliun), berinisiatif menyerahkan data 177 CIF atau sekitar 333 rekening kepada petugas Informasi dan Teknologi di Bank Century agar melakukan pemblokiran rekening-rekening tersebut, tanpa sepengetahuan direksi baru.

 

Di sisi lain, para petinggi LPS juga gelisah dengan belum tuntasnya daftar negatif (negative list) atas rekening-rekening ini. Empat hari setelah di-bail-outI (27 November 2008), Kepala Eksekutif LPS mengirim surat ke Direksi Bank Century yang menegaskan kembali agar mereka tidak mencairkan dana milik pihak terkait. Surat itu adalah tindak lanjut dari rapat yang digelar sehari sebelumnya dengan agenda pembahasan yang sama.

 

Tapi anehnya, kepada BPK, para Direksi Bank Century mengaku menerima surat-surat perintah tentang pemblokiran rekening itu (terutama dari BI) baru pada Agustus 2009! Dengan demikian maka manajemen baru Bank Century menolak dipersalahkan atas keluarnya dana melalui rekening-rekening pihak terkait sepanjang November 2008 hingga Agustus 2009 yang totalnya mencapai Rp 938 miliar!

 

Inilah ping-pong besar antara manajemen baru Bank Century, LPS (sebagai pemegang saham), dan Bank Indonesia (sebagai pengawas). BI dan LPS mengaku sudah mengirim surat larangan pencairan dana atas rekening-rekening tertentu sejak November 2008, sementara manajemen Bank Century merasa baru menerimanya pada Agustus 2009. Selisihnya tak tanggung-tanggung: 9 bulan! Dan selama itu pula duit terus mengucur kepada rekening-rekening yang dianggap tidak sah.

 

Setelah melakukan serangkain wawancara konfrontasi ke berbagai pihak, akhirnya BPK menarik kesimpulan bahwa ―Bank Indonesia tidak melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Bank Century dalam menginventarisasi maupun melakukan pemblokiran terhadap rekening-rekening pihak terkait Bank Century sejak Bank Century ditetapkan sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus.‖

 

Tapi pejabat Bank Indonesia berkilah, pihaknya hanya berkewajiban memerintahkan bank melakukan pemblokiran dan mengawasi pelaksanaannya, tapi tidak berkewajiban menetapkan daftar pemilik rekening. Sebab, menurut BI, penetapan Dana Pihak Terkait (DPT) adalah tanggung jawab manajemen Bank Century.

 

Keterangan ini bertentangan dengan fakta bahwa pada 28 Januari 2009, Direktorat Pengawasan Bank (DPG) 1, Bank Indonesia, ternyata mengirim data yang berisi daftar pihak terkait Bank Century secara formal kepada Kepala Eksekutif LPS. Surat itu bernomor 11/16/DPB1/TPB1-7/Rahasia. Itu artinya, BI punya kewenangan menetapkan data tentang pihak terkait. Dalam data BI itu ternyata ditemukan 998 rekening yang layak masuk daftar negatif.

 

Fakta lain, LPS pada 14 Januari 2009 juga melayangkan permohonan data pihak terkait Bank Century kepada Bank Indonesia. Mungkinkah LPS meminta sesuatu kepada lembaga yang tidak memiliki kewajiban atau kewenangan melakukannya?

 

BPK sendiri berpegangan pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/38/PBI/2005 yang menyebut bahwa bank yang berstatus Dalam Pengawasan Khusus dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait dan atau pihak-pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia.

 

ALIRAN DANA KELUAR

 

Untuk menelusuri pihak yg menerima aliran dana dari proses bail out maka penelitian tidak harus dibatasi  kepada tanggal setelah penggelontoran dana oleh LPS melainkan perlu ditarik mundur beberapa bulan kebelakang yaitu bulan maret dan april 2008 dimana BC melakukan transaksi yg patut untuk dicurigai sbb:

 

BC memiliki assets berupa Placement dana pada bank lain sebesar Rp. 2 triliun menurut neraca per Dec 2008, hal ini bukan karena bank memiliki kelebihan likuiditas, melainkan penempatan dana on call dilakukan sebagai fasilitas back to back untuk menjamin penerbitan fasilitas Credit kepada pihak ketiga. Status dari pos rekening ini menurut catatan auditor adalah sbb:

 

Pada tanggal 31 Maret 2008 saldo penempatan dana call money pada Credit Suisse Bank Singapore sebesar Rp. 221.217.713 (USD 24,032,343) untuk menjamin fasilitas pembukaan L/C impor maupun fasilitas credit.

 

Pada tanggal 24 Nopember 2008 Credit Suisse Bank Singapore melakukan eksekusi atas penempatan dana tersebut. Walaupun fasilitas tsb belum jatuh tempo Sehingga saldo penempatan pada bank tersebut menjadi nihil. Pada tanggal 31 Maret 2008 Bank menjaminkan dana dalam bentuk penempatan call money pada The Saudi National Commercial Bank (SNCB) sebesar Rp. 96.032.569 (USD 10,432,653). 

Pada tanggal 29 Januari 2009 The Saudi National Commercial Bank (SNCB) melakukan eksekusi atas penempatan dana tersebut. Saldo penempatan call money pada bank tersebut menjadi nihil.

Pada tanggal 31 Maret 2008 Bank menjaminkan dana dalam bentuk penempatan call money pada Bank International Indonesia sebesar Rp. 507.562.000 untuk menjamin kewajiban bank pada Bank International Indonesia sebesar Rp. 460.250.000 (USD 50,000,000).

 

Pada tanggal 31 Maret 2008 saldo penempatan dana call money pada PT Bank DBS Indonesia sebesar Rp. 191.714.622 (USD 20,827,277) untuk menjamin fasilitas pembukaan L/C impor. Dan pada tanggal  18 Nopember 2008 DBS  dan BII melakukan eksekusi atas penempatan dana tersebut.

 

Atau dalam kata lain , asset BC berupa saldo penempatan dana pada bank lain sebesar kurang  lebih Rp 2 T langsung hilang dari pembukuan. Perhatikan tanggal terjadinya transaksi serta tanggal eksekusi atau set off yg dilakukan oleh bank2 penerima placement, masing2 berdekatan dengan disbursement FPJP dan  tahapan penyertaan LPS yg dalam bentuk tunai.

 

Secara pembukuan sangat mudah sekali untuk menghapus buku saldo penempatan pada bank lain yg di offset dengan penerimaan tunai. Kita patut berasumsi bahwa rencana bail out ini sudah terprogram , karena BI telah melakukan pembiaran atas penjaminan asset dalam valuta asing milik bank local ( dalam status pengawasan )terhadap fasilitas credit yg diberikan oleh bank asing non resident (Credit Suisse dan Saudi Bank) . Ini sama saja dengan membuka pintu lebar2 untuk mengalirkan dana keluar secara offshore , diluar yurisdiksi  control BI selaku otoritas moneter. 

 

Patut untuk dicurigai bahwa sesungguhnya funds outflow dalam kaitan dng rencana bailout telah terjadi pada waktu transaksi penempatan dana pada bank lain dibukukan yaitu antara maret dan april 2008. Untuk kemudian di cover up dengan transaksi penyertaan LPS secara tunai. []

 

(Bambang Soesatyo, Anggota Timwas Century DPR)

 

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar