Senin, 17 September 2012

(Buku of the Day) Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen


Menyingkap Ideologi PKS

 


 

Judul                : Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen

Penulis             : M. Imdadun Rahmat

Editor               : Fuad Mustafid

Penerbit            : LKiS

Tebal                : xvi + 318 halaman

Ukuran              : 14,5 x 21 cm

ISBN                 : 979-1283-76-1

Harga               : Rp 58.000,00


Buku yang berjudul Ideologi Politik PKS ini, ditulis oleh M. Imdadun Rahmat. Buku ini terdiri dari delapan bab. Buku yang berbicara tentang seluk-beluk PKS ini, tidak ditulis oleh ‘orang dalam’ PKS—sebagaimana kebanyakan buku lain yang berbicara tentang PKS—, tapi ditulis oleh ‘orang luar’ PKS yang berlatar belakang Islam tradisional (NU). Menurut penulis, tujuan ditulisnya buku ini adalah sebagai wujud apresiasi terhadap PKS. Selain itu juga sebagai sarana kontrol masyarakat terhadap lembaga publik seperti partai politik (parpol). Sebab parpol merupakan institusi demokrasi yang turut menentukan konstitusi, regulasi, dan legislasi yang menentukan nasib rakyat Indonesia. Oleh karena itu, institusi yang turut dibiayai oleh pajak rakyat tersebut sudah seharusnya terus-menerus diawasi dan dikontrol oleh rakyat, sehingga transparansi dan akuntabilitas senantiasa melekat dalam diri parpol.


Buku ini dibuka dengan pemaparan tentang awal mula berdirinya PKS atau yang sebelumnya bernama PK (Partai Keadilan). Dalam buku ini, disebutkan bahwa bibit-bibit PK muncul sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, bibit-bibit PK adalah para aktivis dakwah kampus. Para aktivis dakwah kampus tersebut mendirikan dan mengelola pengajian yang diwadahi dalam bentuk lembaga dakwah kampus (LDK). Lembaga ini kerap menyelenggarakan berbagai aktivitas keagamaan, seperti pengajian untuk mahasiswa. Aktivitas keagamaan lembaga tersebut, lebih bersifat rahasia atau lebih sering dilakukan secara diam-diam dan jika lembaga tersebut menyelenggarakan pengajian untuk banyak orang, mereka berkamuflase dengan mengatasnamakan kegiatan mahasiswa.


Hal ini sengaja mereka lakukan karena pada masa itu, rezim yang berkuasa adalah rezim Soeharto. Rezim ini dikenal sangat represif terhadap gerakan keagamaan. Akan tetapi, situasi tersebut mulai berubah pada era 1990-an, saat Soeharto mulai menempatkan para aktivis Islam sebagai sekutu. Sejak saat itulah, gerakan yang semula bernama Usroh ini berganti nama menjadi Ikhwan dan mereka menamai aktivitas mereka dengan sebutan Tarbiyah.


Secara garis besar, gerakan ini terdiri dari lima elemen penting, yaitu pertama, DDII (Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia) dengan tokoh utamanya Mohammad Natsir. Kedua, aktivis LDK dan Rohis. Ketiga, alumnus perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi Timur Tengah. Keempat, aktivis ormas Islam. Kelima, dai lulusan pesantren. Lima elemen tersebut bergerak bersama-sama, saling mendukung, dan saling menguatkan dengan fungsi dan perannya masing-masing.


Dari lima elemen tersebut, elemen yang paling berperan besar bagi lahirnya gerakan ini adalah DDII. Para aktivis DDII yang merupakan mantan aktivis Partai Masyumi yang dibubarkan pada awal masa pemerintahan Soeharto ini, menjadi inisiator awal berdakwah melalui kampus dan sekaligus peletak dasar-dasar strategi dakwah kampus. Selanjutnya, lahirlah LDK yang kemudian banyak bergerilya di dalam kampus. Kehadiran LDK tersebut terbukti telah menyumbangkan berbagai kemajuan umat Islam, misalnya lembaga ini bekerjasama dengan DDII banyak mengusahakan pembangunan masjid di sekitar kampus guna dipakai untuk berbagai aktivitas dakwah.


Selanjutnya, gerakan Tarbiyah membangun banyak lembaga, seperti lembaga pendidikan Nurul Fikri, lemaga dakwah Khoiru Ummah, kelompok kesenian nasyid, dan majalah Sabili. Selain itu, gerakan Tarbiyah juga menyebarkan berbagai gagasan dan pemikiran mereka melalui buku-buku yang diterbitkan antara lain oleh penerbit Gema Insani Press (GIP), Pustaka Al-Kautsar, Era Intermedia, dan Asy-Syamiil.


Pada pertengahan tahun 1998, rezim Orde Baru pimpinan Soeharto tumbang. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para aktivis Tarbiyah. Setelah berdiskusi cukup alot dan dalam waktu yang cukup lama, akhirnya mereka memutuskan untuk berdakwah dan berjuang lewat jalur politik. Akhirnya, pada agustus 1998, para aktivis Tarbiyah mendirikan Partai Keadilan (PK), sebuah parpol yang berasaskan Islam.


Selang setahun pasca-didirikan, parpol ini berasil mengikuti pemilu dan mampu menjaring 1.436.565 suara atau sekitar 1,36% dari keseluruhan jumlah suara dan menempatkan tujuh wakilnya di DPR.


Pada Pemilu 2004, parpol yang semula bernama PK kemudian berganti nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) pada tahun 2002 ini, mampu meningkatkan jumlah suara secara signifikan. Pada Pemilu 2004 tersebut, PKS meraih 8.325.020 suara atau sekitar 7,34% dari total suara dan berhasil mendudukkan 45 wakilnya di DPR. Bahkan mantan Presiden PKS, Hidayat Nur Wahid, berhasil menduduki jabatan Ketua MPR.


Dalam kancah politik, PKS memiliki peran yang signifikan bila dibandingkan dengan parpol baru lainnya. Salah satu hal yang cukup bergema adalah isu-isu parlemen bersih dan kepedulian terhadap kepentingan rakyat. Selain itu, PKS juga kerap menyuarakan isu-isu moral.


Penulis buku ini (M. Imdadun Rahmat) mensinyalir PKS yang merupakan kepanjangan tangan dari Partai Masyumi dan banyak terwarnai oleh ideologi perjuangan Ikhwanul Muslimin—sebuah organisasi keagamaan yang didirikan Hasan Al Bana di Mesir dan kemudian berkembang luas ke pelbagai negara—memiliki hidden agenda, yakni mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi Islam. Penulis berpendapat demikian setelah mengamati dan meneliti berbagai agenda dakwah PKS, seperti aktivitas PKS dalam upaya menegakkan sistem pemerintahan Islam dengan pelbagai atributnya.


Menurut penulis, upaya PKS tersebut berpotensi melahirkan konflik dengan parpol-parpol lain yang berhaluan nasionalis. Selain itu, syariat Islam tidak mungkin bisa berdiri di Indonesia, karena Indonesia adalah negara majemuk dengan berbagai adat-istiadat, pola pikir, dan kepercayaan (agama) masyarakat.


Selain membicarakan ideologi politik PKS, penulis juga membicarakan ideologi keagamaan PKS. Secara umum, ideologi keagamaan PKS adalah Islam modernis yang dikatakan penulis memiliki afiliasi dengan gerakan Wahabi—sebuah gerakan keagamaan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab dari Saudi Arabia. Ciri utama gerakan Wahabi ini adalah upaya menentang keras segala bentuk peribadatan Islam yang tidak sesuai dengan yang dicontohkan Nabi Muhammad. Sebenarnya, ideologi gerakan Wahabi ini telah berkembang luas di Indonesia sejak awal abd 19, ditandai dengan lahirnya organisasi Muhammadiyah. Organisasi Muhammadiyah ini adalah sebuah organisasi keagamaan yang populer dengan penentangannya terhadap hal-hal yang berbau TBC (tachayul, bid’ah, dan churofat—ejaan lama). Meskipun demikian—secara tersirat—penulis mengatakan bahwa gerakan dakwah PKS ini lebih berbahaya dari gerakan dakwah Muhammadiyah, karena sesungguhnya ideologi keagamaan PKS lebih memiliki keterkaitan yang erat dengan ideologi Ikhwanul Muslimin.


Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi keagamaan yang kontroversial. Kedua tokoh penting Ikhwanul Muslimin, yaitu Hasan Al Bana dan Sayyid Quthb, tewas dibunuh karena gerakan dakwahnya yang dianggap subversif dan mengancam keutuhan negara Mesir. Organisasi ini memang terjun ke politik praktis. Organisasi ini kerap mengkritik hebat kebijakan pemerintah yang mereka anggap bertentangan dengan aturan Islam. Organisasi ini juga dituduh ikut serta dalam upaya penggulingan pemerintahan Mesir dengan cara melakukan penculikan tokoh-tokoh Mesir, pengeboman, dan penggalangan massa untuk melawan pemerintah. Akibatnya, organisasi ini ditekan habis-habisan oleh pemerintah Mesir, bahkan tokoh-tokohnya ditangkap dan dihukum mati.


Penulis buku ini beranggapan bahwa PKS itu berbahaya, karena secara tegas PKS menyatakan bahwa dirinya adalah anak ideologis Ikhwanul Muslimin (IM). Keberadaan PKS dianggap mampu mengganggu stabilitas Indonesia sebagaimana IM yang mengganggu stabilitas Mesir.


Pada bab yang lain, penulis buku membahas tentang hambatan-hambatan PKS dalam upayanya mendirikan negara Islam di Indonesia, di antaranya semangat PKS untuk memperjuangkan Islam melalui gerakan politik, telah menimbulkan ketegangan dan jarak dengan agama lain. Tumbuhnya kecurigaan dan permusuhan dengan agama lain juga turut merenggangkan hubungan ini. Selain itu, di kalangan PKS sendiri berkembang pesat klaim kebenaran (truth claim) kelompok. Hal ini menyebabkan PKS cenderung intoleran terhadap perbedaan keislaman dengan golongan lain. Menghadapi hambatan-hambatan tersebut, pada akhirnya terjadi pergeseran agenda politik PKS, dari semula untuk mendirikan negara Islam berubah menjadi mewujudkan masyarakat yang Islami dalam wadah NKRI yang majemuk.


Keunggulan buku ini, terletak pada data-data yang berlimpah dan analisisnya yang tajam. Penelitian penulis terhadap ideologi PKS tidak hanya dilakukan dengan cara studi literatur, tapi juga dengan cara mewawancarai tokoh-tokoh strategis PKS. Oleh karena itulah, buku ini sangat layak baca dan dikoleksi.

 

* Mengikuti Forum Lingkar Pena (FLP) Purwokerto dan Sekolah Kepenulisan STAIN Press Purwokerto (yang diasuh sastrawan-penyair Abdul Wachid Bs.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar