Selasa, 01 November 2011

(Ngaji of the Day) Tradisi

Tradisi

Tradisi biasa dipahami sebagai kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih berlaku di suatu masyarakat. Dengan kata lain, tradisi merupakan kesepakatan tanpa tandatangan akan suatu bentuk tata-nilai yang dilahirkan oleh suatu masyarakat dari akumulasi nilai-nilai sosial yang melingkupi mereka. Dan, tanpa rekomendasi terlampir—namun kuat dan mengikat—kesepakatan itu selanjutnya diterima secara utuh oleh generasi berikutnya. Jadi tak ada paket aturan apapun yang mendasari suatu masyarakat untuk menciptakan tradisinya, terkecuali tradisi yang telah ada sebelumnya.

Mafhum “tradisi” seperti itulah yang tidak ditemukan dalam Islam. Tradisi dalam Islam adalah tradisi eksklusif yang berbeda dan harus dibedakan dengan tradisi-tradisi di luarnya, baik secara ‘ontologis’, ‘epistemologis’, maupun ‘aksiologis’. Tradisi dalam Islam bukan (atau tidak sepenuhnya) merupakan kreasi masyarakat. Ia memiliki landasan-landasan transenden dan patokan-patokan khusus untuk mencipta, menampik, atau melakukan akulturasi. Karena itulah tradisi Islam sarat akan nilai-nilai sakralnya sendiri.

Barangkali itu sebabnya mengapa Sunah Nabi Sallallâhu ‘alaihi wasallam, dalam batas-batas tertentu, kadang diterjemahkan dengan “tradition of the Prophet”, dan Ahlusunah dialihbahasakan menjadi “people of the tradition (of Muhammad)”. Akhirnya kita jadi mengerti bahwa tradisi Islam memiliki akar kuat dari wahyu, dan ditransmisikan secara konsisten dari generasi ke generasi, dengan orisinalitas esensialnya yang terus terjaga. Dan karenanya merujuk kembali, memahami dan menjalankan tradisi Islam adalah niscaya.

Tradisi eksklusif seperti itu tidak akan ditemukan di Barat. Sebab pandangan hidup Barat terbentuk secara gradual melalui filosofis dan penemuan ilmiah yang terbuka untuk perubahan. Spekulasi yang terus berubah itu nampak dalam dialektika yang bermula dari tesis pada anti-tesis dan kemudian sintesis. Begitu pula visi tentang dunia, yang terus berubah; bergulir dari god-centred, kemudian god-world-centred, berubah lagi menjadi world-centred.

Karena itulah tahapan-tahapan peradaban Barat tidak menggambarkan kesinambungan tradisi, akan tetapi malah hubungan konfrontatif. Renaisans, yang membentuk periode modern, adalah pemberontakan terhadap abad kegelapan, sedangkan periode posmodern merupakan pemberontakan terhadap periode modern. Anda boleh membayangkan, seperti apakah wajah Barat masakini, jika seandainya mereka mentransmisikan tradisi periode kegelapan secata turun-temurun hingga kini.

Moh. Ahcyat Amad, Santri Ponpes Sidogiri – Pasuruan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar