Kamis, 17 November 2011

(Ngaji of the Day) Mengenang Resolusi Jihad NU

Mengenang Resolusi Jihad NU
Oleh: Romel Masykuri*

Bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar pada sejarah. Dengan sejarah kita dapat berkaca pada kejadian silam untuk dijadikan pijakan serta mengambil spirit perjuangan guna menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik. Perlu diketahui lahirnya negeri ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, ribuan nyawa dikorbankan pahlawan kita guna menbebaskan penjajahan yang menyebabkan rakyat Indonesia terpuruk.

Di bulan Oktober ini adalah momentum tepat untuk merefleksikan kembali sejarah besar yang pernah terjadi di negeri ini, khususnya bagi kaum Nahdiyyin (NU). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Resulusi Jihad yang di deklarasikan oleh Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ary kepada warga NU pada tanggal 22 Oktober 1945 merupakan tembok awal yang melahirkan semangat jiwa nasionalis seluruh lapisan masyarakat untuk mempertahankan kesatuan Republik Indonesia dalam situasi apapun.

Semangat perlawanan terhadap kaum imprealis yang dilakukan oleh ribuan kaum Kiai dan santri dari berbagai daerah merupakan bukti kuat bahwa hadirnya negeri ini juga diperankan oleh kaum tradisonalis yang berbasis di pondok pesantren (NU).

Andaikata Resolusi Jihad itu tidak ada, kemungkinan besar proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 hanya menjadi kebahagian sesaat sebab pada pertengahan September 1945, pasukan Inggris yang bernama NICA (Netherland Indies Civil Administration) telah tiba di Jakarta. Walhasil selama bulan Oktober, pasukan Inggris telah menduduki sebagian besar wilayah Sumatera (Medan, Padang dan Palembang), Bandung (Jawa Barat) dan Semarang (Jawa Tengah). Dan kota-kota besar di Indonesia bagian timur diduduki Australia.

Akan tetapi kondisi ini tidak berselang lama, dengan tekad yang bulat dari berbagai elemen, khususnya kaum Nahdiyyin yang berbasis dari Jawa Timur meneriakkan Resolusi Jihad, yang kemudian dipertegas dengan hasil muktamar NU ke-16 di Purwekorto, 26-29 Maret 1946 sehingga warga Nahdiyyin berbondong-bondong menafkahkan nyawanya untuk melawan para penjajah. Puncak keberanian warga NU itu kelimaks pada tanggal 10 November 2010 di Surabaya, kemudian tanggal 10 November dijadikan sebagai hari pahlawan.

Cukuplah jelas kontribusi yang di berikan oleh warga NU dalam tegaknya kedaulatan Republik ini meski kita ketahui ada penelikungan sejarah dalam historisitas Resulusi Jihad itu sendiri. Sebagaimana yang disampaikan oleh Gugun El-Guyanie, dalam buku Resolusi Jihad Paling Syar’i (2010), ia mengatakan bahwa kontribusi kaum Nahdiyyin dibawah panji Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari dalam mempertahankan NKRI dari kaum imprealis sangatlah signifikan. Jutaan nyawa warga Nahdiyyin terkorbankan hanya demi mewujudkan bangsa Indnesia yang bebas dan bermartabat. Namun sayang, produk sejarah bangsa yang lahir tidak mencerminkan kejadian yang sebenarnya. Lebih ironis lagi, Dalam kontek sejarah kebangsaan tidak pernah merekam kejadian itu, sebaliknya sejarah tersebut disembunyikan hingga generasi selanjutnya tidak pernah tahu apa itu Resolusi Jihad.

Bagi penulis tidak jadi persoalan sebab seluruh pahlawan negeri ini tidak mengaharapkan apa-apa, yang paling penting adalah spirit perjuangan yang tertera dapat diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa.

Ditengah-tengah kondisi bangsa yang semakin terpuruk. Arah perjalanan bangsa yang pincang diakibatkan pemimpin kita masih egois dengan ambisi kekuasaan. Ditambah lagi dengan budaya korupsi yang tiada ujung di negeri ini mengakibatkan negeri ini terpukul. Belum lagi masalah kesejahteraan yang menjadi cita-cita founding fathers belum dirasakan secara merata oleh masyarakat. Seakan teriakan dan tangisan para pahlawan di alam kubur menjelma di setiap sudut bangsa Indonesia melihat kondisi ini. Lantas hikmah apa yang dapat diambil dari refleksi Resolusi Jihad ini?

Resolusi jihad tidak lain adalah suatu gebrakan untuk membakar kesadaran seluruh lapisan masyarakat disaat Indonesia dalam posisi genting. Pun demikian kondisi saat ini, rotasi berjalannya pemerintah pasca reformasi belum menemukan posisi ideal untuk mengatakan bahwa Indonesia sudah sejahtera dalam segala hal. Jika dilihat dari sudut ini, maka setiap orang menpunyai fersi tersendiri dalam menjawabnya. Tapi yang jelas, hemat penulis kondisi ini berawal dari redupnya semangat nasionalis dari pemimipin negeri ini, baik yang pemerintah pusat maupun daerah. Satu alasan mendasar, hal ini terbukti dari minimnya perjuanagan yang dilakukan pemerintah untuk mensejahterakan rakyat. Jikapun ada masih dibingkai dengan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok yang kemudian berujung pada praktek korupsi.

Perlu disadari, momentum resolusi jihad NU adalah semangat perlawanan untuk tujuan hidup mulia, hidup tanpa penjajahan dan eksploitasi guna menuju bangsa yang berkepribadian dan bermartabat. Dalam konteks hari ini, perjuangan yang dilakukan bukan berbentuk fisik seperti dahulu, tapi bagaimana berusaha menberikan yang terbaik terhadap bangsa ini.

Pemerintah dan masyrakat harus sama-sama paham akan peran dan potensinya masing, sehingga relasi keduanya akan menjadi satu sinergitas yang mendobrak perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Jika kesadaran ini ditanamkan dalam setiap pribadi masyarakat, khususnya pemimpin di negeri ini maka sekian problematika bangsa perlahan akan cepat teratasi yang kemudian berujung pada terciptanya kemajuan negeri ini.

* Kader Muda PMII Jogjakarta, Study di Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar