Selasa, 08 November 2011

(Buku of the Day) Wong Cilik Merindukan Haji: Kisah Menyentuh Perjuangan Orang Biasa Mewujudkan Mimpi Bersimpuh di Baitullah

Berjuang untuk Berhaji
018.jpg
Judul Buku : Wong Cilik Merindukan Haji: Kisah Menyentuh Perjuangan Orang Biasa Mewujudkan Mimpi Bersimpuh di Baitullah
Penulis : H. Ruchani Achmad
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan I : 2011
Tebal : 146 halaman
Peresensi : Abdul Halim Fathani*

 
Ibadah haji merupakan salah satu bentuk ibadah yang memiliki makna multi aspek, ritual, individual, politik psikologis dan sosial. Dikatakan aspek ritual karena haji termasuk salah satu rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan setiap muslim bagi yang mampu (istitho'a), pelaksanaannya diatur secara jelas dalam al-Qur’an. Haji sebagai ibadah individual, karena keberhasilan haji sangat ditentukan oleh kualitas pribadi tiap-tiap umat Islam dalam memahami aturan dan ketentuan dalam melaksanakan ibadah haji.

Haji juga merupakan ibadah politik, sebab mulai dari persiapan sampai pelaksanaanya, peran dan partisipasi pemerintah (Departemen Agama) sangatlah dibutuhkan. Aspek psikologis ibadah haji berarti setiap individu jamaah harus memiliki kesiapan mental yang kuat dalam menghadapi perbedaan suhu, cuaca (iklim), budaya daerah yang tentunya berbeda dengan situasi (iklim) bangsa Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya dari ibadah haji adalah makna sosial, yaitu bagaimana para jamaah haji memiliki pengetahuan, pemahaman dan mampu serta mau mengaplikasikan pesan-pesan simbolik ajaran yang ada dalam pelaksanaan ibadah haji ke dalam konteks kehidupan masyarakat.

Syarat dan rukun ibadah haji tidak semata-mata hanya untuk kepentingan transendental (habl min-Allah) tetapi justru yang paling penting adalah dapat mengambil makna di balik simbolisasi ritualitas haji untuk membentuk kepribadian atau moralitas pergaulan antar sesama manusia. (habl min al-Naas) Dengan demikian, memahami dan menemukan makna sosial dalam ibadah haji menjadi suatu keniscayaan bagi setiap umat Islam umumnya dan para jamaah haji khususnya.

Dewasa ini, haji telah dijadikan sebagai salah satu ukuran atau parameter untuk melihat status sosial seseorang. Hal ini disebabkan orang yang berhaji dianggap sebagai orang Islam yang shaleh, karena telah menyempurnakan agamanya (baca: rukun Islam), dan secara ekonomi termasuk orang yang kaya atau lebih dari cukup (baca: cukup dari segi materi). Alasan itulah yang digunakan masyarakat kita pada umumnya untuk menilai orang yang dapat melakukan ibadah haji. Sehingga orang yang telah mampu melaksakannya dinilai sebagai orang yang telah “sempurna” agamanya. Ibarat makanan 4 sehat 5 sempurna, dikatakan belum lengkap jika belum memenuhi aspek yang ke-5, yaitu minum susu. Demikian juga rukun Islam dikatakan belum sempurna jika belum menunaikan ibadah haji. Haji berfungsi sebagai pelengkap (komplementer) dari rukun islam yang lain.

Merupakan suatu keharusan bagi individu umat Islam yang memenuhi panggilan Allah ke tanah suci Makkah-Madinah, untuk merenungkan esensi dan substansi haji di tengah simbolitas dan formalitas syarat-rukunnya. Diharapkan, dengan refleksi mendalam makna di balik itu, jamaah haji menemukan energi transformasi internal menuju terbentuknya kesalehan ritual dan sosial yang menjadi barometer kebahagiaan dunia akhirat.

Sampai sekarang, mayoritas umat ini masih terjebak dalam simbolitas syarat-rukun, tanpa mampu mengungkap makna substansial di balik itu. Maka, pasca haji tidak ada transformasi internal dalam kehidupannya. Kebanyakan orang lebih memaknai ibadah haji sebagai ibadah yang hanya penuh dengan ritual simbolik-transedental saja. Artinya, predikat haji bagi seseorang hanya dilihat dari kemampuan berangkat dan datang kembali ke Tanah Air dengan disertai oleh-oleh “khas” haji (cerita unik atau pengalaman religius) yang beraneka warna. Padahal, jika kita berfikir dan merenungkan, ibadah haji juga banyak mengandung makna sosial. Hal ini didasarkan pada substansi Islam sebagai agama rohmatan lil'alamiin.

Kesalehan ritual dan sosial adalah ibarat dua mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Kesalehan ritual mampu membuat orang menjadi shaleh sosial dan shaleh sosial muncul karena intensitasnya melakukan ritual. Tidak ada aspek ritual-transendental yang lepas dari orientasi sosial. Kesalehan ritual dan sosial harus selalui terintegrasi di manapun dan kapan pun. Dalam bahasa agamanya adalah menyinergikan antara habl minallah dan habl minannaas.

Membaca ulasan penulis dalam buku ini sungguh mengharukan. Buku ini merupakan catatan perjalanan yang ditulis Ruchani Achmad sebagai “kenang-kenangan.” Secara gamblang penulis menceritakan bagaimana kehidupannya ketika sebelum berangkat haji, kemudian keadaan ketika berniat untuk berangkat haji dan pelbagai ikhtiar yang dilakukan yang akhirnya dapat berhasil untuk berangkat ke tanah suci Makkah. Selanjutnya, penulis menceritakan pengalamannya selama berada di Mekkah dan berbagai aktivitas ritual yang dilakoninya.

Melalui buku ini, kita dapat merenungkan dengan “nilai-nilai” ibadah haji sebagaimana yang telah diurai di atas. Dalam buku ini, penulis juga membagi beberapa doa yang dibacanya dalam rangka mewujudkan niatnya berangkat haji, sekaligus doa-doa yang dibaca ketika melakukan ibadah haji. Tentu tidak ada ruginya, bagi pembaca untuk meluangkan waku sejenak demi membaca buku “mengharukan” ini. Semoga kita dapat mengambil hikmah terbaik dari buku ini. Marilah kita mengikuti jejak Ruchani Achmad. Amin

* Alumnus Jurusan Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar