Selasa, 29 November 2011

(Ngaji of the Day) ‘Arasy: Singgasana Allah Subahânahu wata‘âla

‘Arasy: Singgasana Allah Subahânahu wata‘âla

Secara etimologi ‘Arsy adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘arasya–ya‘risyu–‘arsyan yang berarti “bangunan”, “singgasana”, “istana”, atau “tahta”. Di dalam al-Qur’an, kata ‘arsy dan kata yang seasal dengan itu disebut sebanyak 33 kali. Kata ‘arsy mempunyai banyak makna, tetapi pada umumnya yang dimaksudkan adalah “singgasana” atau “tahta Allah”.

Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, penulis tafsir Ad-Durr al-Mantsûr fî Tafsîri bi al-Ma‘tsûr, menjelaskan bahwa berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Wahhab ibnu Munabbih, Allah Subhânahu wata‘âla menciptakan ‘arsy dan kursi (kedudukan) dari cahaya-Nya. ‘Arsy itu melekat pada kursi. Para malaikat berada di tengah-tengah kursi tersebut. ‘Arsy dikelilingi oleh empat buah sungai, yaitu: 1) sungai yang berisi cahaya yang berkilauan; 2) sungai yang bermuatan salju putih berkilauan; 3) sungai yang penuh dengan air; dan 4) sungai yang berisi api yang menyala kemerahan. Para malaikat berdiri di setiap sungai tersebut sambil bertasbih kepada Allah Subhânahu wata‘âla. Di ‘arsy juga terdapat lisân (bahasa) sebanyak bahasa makhluk di alam semesta. Setiap lisân bertasbih kepada Allah Subhânahu wata‘âla berdasarkan bahasa masing-masing.

Gambaran fisik ‘arsy merupakan hal yang gaib yang tak seorang pun mampu mengetahuinya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas di dalam riwayat Ibnu Abi Hatim. Ibnu Abbas berkata, “Tidak akan ada yang mampu mengetahui berapa besar ukuran ‘arsy kecuali penciptanya semata. Langit yang luas ini jika dibandingkan dengan luas ‘arsy sama dengan perbandingan di antara luas sebuah kubah dan luas padang sahara.”

Dalam perbincangan ulama kalam (teolog Islam), persoalan ‘arsy merupakan topik yang kontroversial. Para ulama tersebut memperdebatkan apakah ‘arsy itu sesuatu yang bersifat immaterial (nonfisik) atau bersifat material (fisik). Dalam hal ini terdapat tiga pendapat: pertama, golongan Muktazilah berpendapat bahwa kata ‘arsy di dalam al-Qur’an harus ditakwilkan dan dipahami sebagai makna metaforis (majâzî). Jika dikatakan Allah bersemayam di ‘arsy, maka arti ‘arsy di sini adalah kemahakuasaan Allah Subhânahu wata‘âla. Allah merupakan Dzat yang immaterial, karenanya mustahil Dia berada pada tempat yang bersifat material.

Kedua, golongan Mujassimah atau golongan yang berpaham antropomorfisme. Pendapat golongan ini bertolak belakang dengan pendapat pertama. Menurut mereka, kata ‘arsy harus dipahami sebagaimana adanya. Karena itu, mereka mengartikan ‘arsy sebagai sesuatu yang bersifat fisik atau material.

Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa ‘arsy dalam arti tahta atau singgasana harus diyakini keberadaannya, karena al-Qur’an sendiri mengartikan demikian. Akan tetapi, bagaimana wujud tahta atau singgasana itu, hanya Dia sendiri yang tahu. Akal manusia memiliki keterbatasan untuk mengetahuinya. Pendapat ini diyakini oleh golongan Asy‘ariyah yang diikuti oleh umat Islam Ahlusunah wal Jamaah.

Catatan Penting

Kita wajib meyakini bahwa Allah Subhânahu wata‘âla tidak butuh kepada ‘Arsy, karena ‘Arsy adalah makhluk-Nya. Allah Subhânahu wata‘âla menciptakan ‘Arsy dan memilihnya sebagai singgasana untuk-Nya, padahal Dia tidak butuh terhadap ‘Arsy, adalah dalam rangka hikmah yang besar dan agung yang hanya diketahui oleh-Nya. Kita wajib menjauhkan diri dari tasybîh, yaitu menyerupakan Allah Subhânahu wata‘âla dengan makhluk-Nya. Kita tidak boleh mengatakan—misalkan saja—: “Allah Subhânahu wata‘âla bersemayam di atas ‘Arsy seperti duduknya seorang Raja di atas singgasananya (Maha Suci Allah dari serupa dengan makhluk-Nya).” Karena Allah berfirman:

“Tidak ada satu pun yang semisal dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura: 11)

Demikian juga kita tidak boleh menolak bersemayamnya Allah Subhânahu wata‘âla di atas ‘Arsy dengan alasan penyerupaan dengan sifat makhluk. Yakini dan benarkan, jangan ditolak, jangan dipertanyakan bagaimana Allah Subhânahu wata‘âla bersemayam, jangan dibayangkan, jangan dimisalkan; serahkan kaifiyyât-nya kepada Allah Subhânahu wata‘âla, karena hanya Dia yang tahu. Yang jelas, kaifiyyât bersemayamnya Allah Subhânahu wata‘âla di atas ‘Arsy tidak sama dengan makhluk-Nya, dan berbeda dengan apa yang kita bayangkan. Inilah akidah yang salîm (selamat). Wallahua’lam. ***

Santri Pondok Pesantren Sidogiri – Pasuruan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar