Selasa, 24 Desember 2013

(Ngaji of the Day) Biasakan Diri dengan Muhasabah



Biasakan Diri dengan Muhasabah
Oleh: Zainuddin Rusdy

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS: al-Hasyr [59]: 18)

Surat al-Hasyr di atas cukup untuk dijadikan dalil terhadap pentingnya melakukan muhasabah setelah beramal. Imam Ibnu Kasir dalam tafsirnya menjelaskan maksud ayat di atas, “Hisablah diri kalian semua sebelum kalian dihisab. Lihatlah, amal baik apa yang kalian simpan untuk bekal di hari kembali pada Tuhan kalian.” Muhasabah atau introspeksi diri oleh ulama diartikan sebagai proses perenungan terhadap segala amal perbuatan yang telah atau akan dilakukan. Sebab, jiwa manusia kerap dipenuhi dengan hal-hal yang dapat membelokkan dirinya dari tujuan hidup yang sebenarnya. Sehingga diperlukan adanya waktu tertentu yang digunakan untuk bermuhasabah terhadap apa yang selama ini dikerjakan.

Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulûmud-Dîn menyamakan muhasabah diri dengan pedagang yang menghitung kerugian dan laba yang dihasilkan dalam satu rentang waktu tertentu. Ketika keuntungan yang didapat, ia mensyukuri dan berusaha meningkatkannya, pun juga ketika rugi yang didapat ia akan mencari penyebab dan berusaha untuk tidak mengulanginya pada masa yang akan datang. Mukmin yang berakal seharusnya melakukan hal yang sama terhadap amal perbuatannya di dunia. Rasulullah bersabda, “Orang berakal adalah yang mengekang hawa nafsunya dan beramal untuk bekal mati, orang lemah adalah yang menuruti hawa nafsunya dan mengharap-harap kepada Allah.” (HR. Tirmidzi).

Pembagian Muhasabah

Ibnu Qayyim dalam kitab Ighâsatul-Lahfân membagi muhasabah menjadi dua:

Pertama, muhasabah sebelum beramal. Yakni, seorang hamba tidak segera mengerjakan sesuatu sebelum mempertimbangkan sebab akibatnya. Hingga jelas baginya dampak positif dan negatif dari tindakan tersebut. Imam Hasan berkata, “Allah merahmati hamba yang berpikir sebelum bertindak. Apabila karena Allah dilanjutkan dan apabila karena yang lain mengurungkannya.” Ibnu Qayyim melanjutkan setidaknya orang mukmin bertanya kepada dirinya sebelum melangkah mengerjakan sesuatu, apa kebaikan yang akan didapat dari perbuatannya? Apa keburukan yang akan didapat ketika tidak mengerjakannya? Ketika semuanya sudah jelas hendaknya ia mengambil keputusan yang terbaik.

Kedua, muhasabah setelah beramal. Bagian ini dibagi menjadi tiga. Pertama muhasabah terhadap ketaatan yang sudah dikerjakan. Apakah sudah sesuai dengan syariat atau belum. Kedua, muhasabah terhadap pekerjaan yang telah ditinggalkan dan waktu yang disia-siakan. Ketiga, muhasabah terhadap kebiasaan-kebiasaan mubah kenapa hal itu dikerjakan?

Tindakan terpenting setelah bermuhasabah adalah adanya kesadaran dalam diri manusia terhadap kualitas amal perbuatannya. Ketika dirinya menganggap telah banyak mengerjakan kebaikan, maka ia bersyukur dan memohon semua amalnya diterima oleh Allah. Sebaliknya, ketika dirinya menganggap telah banyak mengerjakan dosa dapat bersegera bertaubat dan mengikrarkan dalam dirinya untuk mengerjakan kebaikan pada masa selanjutnya.

Faedah Muhasabah

Ibnu Qayyim menjelaskan setidaknya ada tiga faedah dari muhasabah:

Pertama, mengetahui hak-hak Allah yang harus dipenuhi. Dengan muhasabah kita menjadi sadar terhadap kelalaian yang dilakukan dan kewajiban yang ditinggalkan, sehingga ada tekad dalam diri untuk memperbaikinya. Kalaupun hak itu sudah terpenuhi, tetap ada hasrat untuk meningkatkannya pada masa selanjutnya. Imam Atha’illah as-Sakandari berkata, “Usahamu untuk mengenali berbagai kekurangan yang tersembunyi dalam dirimu adalah lebih baik ketimbang usahamu mengetahui bermacam perkara gaib yang terhalang darimu.”

Kedua, mengetahui aib diri. Ketika aib diri sudah diketahui akan ada usaha untuk memperbaikinya. Hal ini sulit terlaksana apabila tidak ada kesadaran terhadap kekurangan diri itu. Sayidina Umar bin Khattab t pernah berkata, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang menunjukkan kepadaku aib-aibku.” Imam Atha’illah as-Sakandari dalam kalam hikmahnya berkata, “Di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas kesempatan beramal yang engkau lewatkan dan tidak adanya penyesalan atas kesalahan yang engkau lakukan.”

Ketiga, terbukanya tipu daya setan pada dirinya. Musuh abadi umat manusia adalah setan, sehingga berbagai cara dilakukan untuk menggoda dan menipu umat manusia agar menjadi temannya di neraka. Dengan muhasabah, kita sadar bahwa selama ini kita terperangkap dalam jaring-jaring tipu dayanya.

Waktu Muhasabah

Tidak ada ketentuan waktu khusus untuk bermuhasabah. Seorang mukmin lebih mengetahui terhadap kondisi dirinya dibanding orang lain. Sehingga ia bisa bertindak kapan saja untuk bermuhasabah. Tetapi ulama menganjurkan untuk bermuhasabah pada malam hari ketika hendak tidur. Karena pada waktu tersebut yang paling pas untuk menghitung amal yang dilakukan pada hari itu.

Imam Mawardi dalam kitab Adâbad-Dunyâ wad-Dîn berkata, “Seorang mukmin hendaknya bermuhasabah pada malam hari terhadap pekerjaan yang dikerjakan pada siang hari. Karena waktu malam lebih menenangkan pikiran.” []

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar