Rabu, 11 Desember 2013

(Ngaji of the Day) Menghadapi Perbedaan dengan Elegan



Menghadapi Perbedaan dengan Elegan
Oleh: Moh. Achyat Ahmad

Menghadapi perbedaan di antar-umat sesama Muslim, sebagaimana ditunjukkan oleh perjalanan dan pengalaman umat ini sepanjang sejarah, seringkali lebih rumit daripada menghadapi perbedaan pandangan dengan umat yang berbeda agama. Hal ini, setidaknya, karena yang kita hadapi dalam perbedaan di dalam internal umat adalah ancaman akan perpecaah umat. Sedangkan jika kita berhadapan dengan perbedaan dengan umat yang berbeda agama, maka itu justru bisa mempersatukan umat untuk menghadapi lawan yang sama.

Itulah sebabnya, perbedaan yang terjadi di tengah-tengah umat (dalam hal ini perbedaan haluan politik dan akidah), bisa menjadi salah satu faktor terkuat yang bisa melemahkan kekuatan umat dan memecah belah kokohnya persatuan mereka. Tentu, ini adalah hal yang amat merugikan. Jika saat ini faktanya kita ada dalam situasi yang ramai akan perbedaan dan rentan akan perselisihan dalam perbedaan itu, maka betapa kita tengah berada dalam situasi disintegrasi umat setiap waktu. Maka, di sini diperlukan pemahaman yang benar akan perbedaan dan langkah yang benar bagaimana menghadapi perbedaan itu.

Pada dasarnya, hal terpenting dalam menghadapi perbedaan, dalam hal ini adalah perbedaan kita dengan aliran-aliran sesat di luar Ahlusunah wal Jamaah, adalah tidak bertindak secara gegabah, yang bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar dan kerugian yang lebih luas. Tindakan fisik secara tegas, seperti memenjarakan, menyegel fasilitas, dan semacamnya, hanya bisa dilakukan oleh aparatur pemerintah dan tidak tidak diserahkan kepada individu umat atau masyarakat sipil. Hal demikian agar upaya memberangus paham sesat tidak justru berbuah petaka yang lebih berbahaya.

Hal demikianlah yang dilakukan oleh para ulama Islam sepanjang sejarah, bahkan juga yang dilakukan oleh pemerintah Islam. Sayyidina Ali t, misalnya, kendati menjabat sebagai Khalifah dan berhadapan dengan kaum Khawarij yang tidak saja sesat, akan tetapi bertindak brutal dengan merampok dan membunuh, dan itu telah memenuhi syarat-syarat untuk diperangi, akan tetapi Sayyidina Ali t tidak serta merta memerangi mereka. Sayyidina Ali t masih menasihati mereka, dan memberi kesempatan mereka untuk bertobat, sedangkan yang diperangi adalah sisa-sisa dari kelompok itu yang tidak mau berhenti berbuat kerusakan, tidak mau bertobat dan terus berkomitmen melawan pemerintah.

Oleh sebab itu, ketika al-Imam Hasan al-Bashri mendapatkan laporan tentang orang yang berpandangan seperti pandangan kelompok Khawarij, beliau juga tidak menginstruksikan untuk menyerang orang itu. Al-Imam Hasan al-Bashri malah menjawab: “Amal perbuatan lebih memberikan pengaruh kepada melebihi pandangan dan pemikiran. Allah akan memberikan balasan kepada manusia disebabkan amal perbuatan mereka.”

Barangkali pandangan semacam ini bisa lebih kita mengerti dengan memahami kebijakan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz terkait dengan aliran sesat. Pada tahun 100 H., di Madinah muncul sekelompok aliran sesat yang dipimpin oleh Syaudzab. Maka Umar bin Abdul-Aziz menginstruksikan kepada gubernurnya di Madinah untuk membiarkan mereka meyakini apapun, sepanjang keyakinan mereka tidak mendorong mereka pada tindakan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah.

Bahkan dalam hal ini, Umar bin Abdul-Aziz berdakwah kepada Syaudzab melalui jalur debat ilmiah. Umar bin Abdul-Aziz meminta Syaudzab untuk mengirimkan orang terbaiknya guna berdebat dengannya mengenai akidahnya. Akhirnya Syaudzab mengirim dua orang terbaiknya dan berdebat dengan Umar bin Abdul-Aziz, dan akhirnya salah satu dari utusan Syaudzab itu meninggalkan keyakinannya, sedangkan yang lain tetap pada keyakinannya. (Durusut-Târîkh al-Islâmî, 2/66)

Jadi dengan demikian, Umar bin Abdul-Aziz sebagai pemimpin pemerintahan Islam, tidak melakukan serangan apapun kepada aliran sesat yang tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain. Ada banyak jalur lain yang masih bisa dilakukan untuk berdakwah kepada orang-orang yang berbeda faham agar kembali ke jalan yang benar. Menghadapi aliran sesat dengan kekerasan kadang membuat kelompok sesat itu semakin militan, sekaligus bisa mengundang simpati dari pihak lain untuk membantu aliran sasat itu, yang tentu bisa merugikan kepada umat Islam sendiri.

Dalam konteks ini, barangkali kita bisa merujuk pada alasan mengapa Nabi tidak memerangi orang-orang munafik. Orang-orang munafik jelas merupakan musuh-musuh Islam yang berada di dalam lingkungan umat Islam, berkumpul dan berbaur bersama mereka. Para sahabat jelas tidak tahu siapa saja orang-orang munafik yang berkumpul bersama mereka, namun Nabi e mengetahui identitas mereka satu persatu.

Lalu kenapa Rasul e tidak memerintahkan para sahabat beliau untuk memerangi orang-orang munafik itu, padahal beliau mengetahui identitas masing-masing dari mereka. Ketika ditanya mengenai hal ini, Rasul e menjawab: “Aku tidak ingin orang-orang berkata bahwa Muhammad itu mengajak kaum untuk berperang, tapi setelah dia menang, dia malah memerangi orang-orang yang telah membantunya itu.” (Subulul-Hudâ war-Rasyâd, 5/467). Dalam riwayat lain Rasul e menjawab: “Aku tidak ingin ada orang mengatakan bahwa Muhammad telah memerangi para sahabatnya sendiri.” (Al-Bidâyah wan Nihâyah, 5/25).

Jika Sunah ini kita kontekskan pada situasi kita pada saat ini, maka alasan kita tidak memerangi umat Islam yang memiliki faham berbeda dengan Ahlusunah wal Jamaah, dan karena itu mereka tergolong aliran sesat, adalah karena mereka masih tergolong Muslim sekaligus hidup di dalam lingkungan kita, umat Islam. Sehingga jika kita bertindak gegabah dengan cara memerangi mereka, merusak properti dan menimpakan kerugian fisik dan materi kepada mereka, maka setidaknya yang akan kita tuai adalah salah satu atau akumulasi dari hal-hal berikut:

Pertama, umat Islam Ahlusunah wal Jamaah Indonesia dinilai oleh dunia sebagai kelompok separatis, tidak toleran, dan memerangi teman-teman mereka sendiri sesama Muslim. Ini adalah kesan yang sangat merugikan bagi kita.

Kedua, akan ada simpati yang luar biasa mengalir deras kepada aliran sesat yang kita serang, dan itu bisa sangat memperkuat mereka secara mental, materi, sekaligus pengikut. Karena bisa jadi saudara-saudara Ahlusunah kita yang masih memiliki ikatan pertemanan atau persaudaraan dengan pengikut aliran sesat yang kit serang itu lantas bersimpati dan ikut masuk kedalamnya.

Ketiga, akan menumbuhkan perseteruan yang berkepanjangan dari generasi ke generasi. Boleh jadi saat ini, ketika kita berseteru dengan penganut aliran sesat bisa menyudahi perseteruan beberapa waktu. Akan tetapi kelak, generasi berikutnya mungkin tidak akan mudah menyudahi perseteruan serupa jika sudah terlanjur meletus, karena sejak kecil mereka telah mendapati peristiwa ini menyatu dengan riwayat hidup mereka. Dalam bawah sadar mereka telah terekam dengan kuat bahwa dia adalah musuh saya dan ayah saya pernah diserang oleh ayahnya. Akibat dari permusuhan seperti ini sungguh sangat mengerikan.

Maka, yang hendaknya kita lakukan adalah berdakwah secara elegan. Yaitu dengan mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh para ulama salaf saleh dan khalaf saleh. Semisal para imam mazhab yang empat, sekalipun di era mereka banyak aliran sesat, seperti Syiah dan Muktazilah, mereka tidak pernah terlibat peperangan dengan aliran-aliran sesat itu. Yang mereka lakukan ialah mendidik umat dan terus menyeru pada kebenaran. Gambaran dakwah kultural Wali Songo yang sangat “ramah lingkungan” itu barangkali juga penting untuk kita adaptasi untuk menghadapi persoalan kita hari ini. Wallâhu a‘lam bish-shawâb.

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar