Kamis, 12 Desember 2013

Gus Mus: Khittah NU Lagi



KHITTHAH NU LAGI
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Dukungan politik secara terang-terangan sementara pengurus NU dan kiai terhadap salah satu pasangan capres telah kembali memaksa orang untuk kesekian kalinya membicarakan Khitthah Nahdlatul Ulama (sering dirancukan dengan "Seruan Kembali ke Khitthah 1926"). Maka daripada saya menulis lagi  dan mengulang-ulang apa yang sudah sering saya tulis, lebih baik saya  turunkan kembali tulisan lama saya tentang landasan berpikir, bersikap, dan bertindak pemimpin dan warga NU itu.

Keluarga Pak Nuas Waja merupakan keluarga desa yang cukup kaya. Di samping rumah yang besar, keluarga ini memiliki sawah, kebun, peternakan, perahu penangkap ikan, toko serba ada, dan masih ada kekayaan dan usaha yang lain. Keluarga Pak Nuas Waja yang cukup banyak, tidak kesulitan menangani semua harta dan usaha itu, meski pengelolaannya masih secara tradisional. Masing-masing anggota keluarga, sesuai keahliannya diserahi dan bertanggungjawab atas bidang yang dikuasainya. Ini menggarap sawah; ini mengurus kebun; itu menangani toko; itu mengurus peternakan; demikian seterusnya.

Masih ada satu usaha keluarga lagi yang dilakukan bekerja sama dengan pihak-pihak lain. Yaitu usaha transportasi. Tapi karena waktu pembagian keuntungan, dirasa kurang adil, akhirnya keluar dan mendirikan usaha transportasi sendiri. Berhubung usaha ini baru bagi mereka, maka diajaknya beberapa personil dari luar yang dianggap mampu dan mengerti seluk-beluk transportasi. Ternyata usaha baru ini meraih sukses yang luar biasa. Dari empat besar perusahaan transportasi, perusahaan keluarga pak Nuas Waja yang baru ini meraih peringkat ketiga. Dampak dari sukses besar ini, antara lain: personil-personil dari luar yang ikut membantu –atau yang berjanji akan membantu-- menangani usaha ini pun menyatakan bergabung total sebagai anggota keluarga. Pak Nuas pun tidak keberatan dan justru senang.

Dampak lain yang jauh lebih penting dan serius, ialah kemaruknya para anggota keluarga terhadap usaha transportasi yang sukses besar ini. Setiap hari sebagian besar mereka berjubelan di garasi; meskipun sebenarnya banyak yang sekedar bermain-main klakson atau memutar-mutar stir mobil, karena memang tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Lama-lama mereka yang bertanggung jawab menggarap sawah, kebun, peternakan, toko, dlsb pun tertarik dan tersedot ikut menjubeli garasi mereka.
Sawah pun menjadi bero, kebun tak terawat, toko tak ada yang menjaga, ternak-ternak pada mati, perahu nganggur… Bahkan rumah sendiri sering kosong, banyak perabotan diambil dan dibawa orang tak ada yang tahu Halamannya kotor tak terurus.

Ketika penguasa negeri ganti dan mendirikan juga usaha transportasi sendiri, keluarga Nuas Waja pun agak pusing. Soalnya cara berusaha penguasa baru ini tidak lazim. Mereka menggunakan cara-cara makhluk rimba untuk memajukan usaha mereka. Tak segan-segan mereka menggunakan tipuan dan kekerasan.Orang dipaksa untuk menggunakan transportasi mereka; yang tidak mau, tahu rasa!
Namun, meski bersaing dengan usaha penguasa yang zalim begitu, usaha keluarga Nuas Waja masih mampu bertahan, walau babak-belur. Bahkan perlakuan penguasa itu justru semakin mengentalkan ‘fanatisme’ keluarga terhadap usaha transportasi ini.

Akan tetapi penguasa lebih pintar lagi. Dengan kelicikannya, orang pun digiring untuk menyepakati aturan main baru yang agaknya sudah lama mereka rencanakan di bidang transportasi ini. Aturan itu melarang orang berusaha transportasi sendiri-sendiri di rumah. Mereka yang berusaha di bidang transportasi harus nge-pol dan bergabung dalam salah satu dari tiga wadah usaha yang sudah disiapkan. Akhirnya keluarga Nuas pun bergabung dengan beberapa penguasaha lain, sesuai arahan penguasa. Dan nasib seperti pada masa lampau pun terulang kembali. Keluarga Nuas yang sahamnya paling besar, justru waktu pembagian keuntungan selalu kena tipu dan rugi.

Maka waktu ada gagasan dari sementara anggota keluarga untuk kembali saja ke jati diri awal mereka, banyak yang mendukung gagasan itu, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Demikianlah; meskipun seperti malas-malas dan terus menghadapi godaan untuk hanya mengurusi usaha transportasi, anggota keluarga yang biasa menggarap sawah, mulai kembali ke sawah; yang biasa mengurus kebun, kembali ke kebun; yang mengelola toko, kembali ke toko; demikian seterusnya. Sementara itu mereka yang sudah merasa mapan menjalankan usaha transportasi, sesekali masih mencoba mencari kawan pendukung.

Dunia selalu berubah. Beberapa waktu setelah, pemerintahan ganti lagi dan usaha transportasi kembali bebas, keluarga Nuas Waja pun kembali terseret arus pertransportasian yang kembali marak. Banyak keluarga yang dulu punya usaha sendiri, beramai-ramai menghidupkan kembali usaha transportasi mereka. Garasi pun dibangun dimana-mana. Dan keluarga Nuas Waja pun menghabiskan enersi mereka untuk urusan garasi dan transportasi; termasuk mereka yang busi dan dongkrak pun tak mengenalnya.

***

Mungkin saya terlalu sederhana, tapi tamsil di atas itulah yang selalu saya gunakan untuk menerangkan NU dan Khiththahnya kepada orang-orang sederhana di bawah.

Saya ingin mengatakan bahwa memang ada faktor politik di dalam proses kelahiran Khitthah NU, tapi bukan berarti politiklah yang harus disalahkan dan oleh karenanya lalu dipahami NU tak lagi menghalalkan –setelah selama ini menghalalkan-- politik. Khitthah NU dalam hal ini – karena Khitthah tak sekedar bicara hal ini-- sekedar mendudukkan politik dalam proporsi sesuai dengan porsinya. Politik, sama dengan dakwah, pendidikan, ekonomi, dsb., mesti dilihat sebagai khidmah kemasyarakatan yang harus dilakukan secara bertanggungjawab bagi kepentingan bangsa dan negara. (Baca Khitthah NU butir 8)

Agaknya warga NU memang belum siap untuk menerima NU sebagai organisasi yang baik seperti dituntut Khitthah NU. Setelah perjalanannya sebagai jamaah yang cukup jauh, tiba-tiba warga NU pangling dengan jatidirinya sendiri. “Kesuksesan” mereka dalam kiprah politik, membuat mereka seperti kemaruk, sehingga mempersiapkan diri bagi amal politik sebagai khidmah tak kunjung terpikirkan. Sementara kehidupan perpolitikan di negeri ini pun tidak mengajarkan perilaku politik yang baik, yang mengarah kepada tercapainya kemaslahatan bersama. Perpolitikan yang hanya mengedepankan kepentingan sesaat bagi kelompok sendiri-sendiri. Di pihak lain, mereka yang terus-menerus menyaksikan praktek-praktek politik yang mengabaikan akhlaqul karimah dan belum pernah merasakan manfaat dari perpolitikan itu, malah justru sering dirugikannya, serta merta menyambut Khitthah NU dengan kegirangan orang yang mendapat dukungan.

Akibatnya, Khitthah NU yang semestinya menjadi landasan bagi perbaikan menyeluruh untuk kepentingan bersama, hanya dijadikan sekedar alat bagi membenarkan kiprah masing-masing alias hanya dijadikan senjata untuk bertikai antar sesama.

Sebenarnya dengan tamsil di atas itu, saya ingin mengatakan juga bahwa NU dan Khitthahnya sebenarnya sangat gamblang, mudah dipahami, dan tak ada masalah.

Khitthah NU hanya mengingatkan bahwa NU itu mempunyai tujuan besar dan cita-cita luhur yang untuk mencapainya, mengupayakan dengan berbagai ikhtiar. Bidang garapan dan khidmah NU karenanya, bermacam-macam. Masing-masing dilakukan oleh mereka yang memang seharusnya melakukannya (ahlinya).

Namun, sebagaimana Islam dan Pancasila, persoalannya selalu lebih kepada manusianya. Itulah sebabnya, pada waktu menjelang Munas Lampung tahun 1992, ketika Kiai A. Muchith Muzadi diminta PBNU menulis syarakh Khitthah, saya sempat mempertanyakan, apanya yang perlu disyarakhi? Bukankah Khitthah NU sudah sedemikian jelas bagai matahari siang? Apabila orang tidak bisa melihat matahari, bukan mataharinya yang kurang jelas. Sekarang disyarakhi dan besok mungkin dikhasyiahi pun, jika kepentingan NU dan umat masih dinomorsekiankan, insya Allah Khitthah tetap tak kunjung ‘jelas’ bagi mereka yang bersangkutan.

Sejak pertama dimasyarakatkannya Khitthah NU, telah ratusan kali saya bertemu warga NU, yang tokoh maupun bukan; belasan kalau tidak puluhan artikel saya tulis; dan kesimpulan saya tetap seperti itu. Seperti Indonesia ini, manusianyalah yang perlu ‘direformasi’. Karena itu saya selalu ngotot, bahwa penataan diri mestilah merupakan prioritas. NU harus segera diupayakan menjadi jam’iyyah, tidak terus menerus hanya sebagai jamaah.

Khitthah Nahdlatul Ulama ini merupakan landasan dan patokan-patokan dasar yang perwujudannya dengan izin Allah subhanahu wata’ala terutama tergantung kepada semangat pemimpin dan warga Nahdlatul Ulama. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama hanya akan memperoleh dan mencapai cita-citanya jika pemimpin dan warganya benar-benar meresapi dan mengamalkan Khittah Nahdlatul Ulama ini. (Khotimah Khitthah Nahdlatul Ulama).

Wallahu a‘lam. []

Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar