Senin, 16 Desember 2013

Kang Sobary: Orang Baik



Orang Baik
Oleh: Mohamad Sobary

(Di zaman edan, zaman sontoloyo macam ini, orang jujur, lurus, baik, dianggap berbahaya.)

Puntadewa disebut berdarah putih, sebagai gambaran jiwa yang tenang. Ungkapan “jiwa yang tenang” ini merujuk pada sesebutan di dalam kitab suci tentang “nafsul muthmainah”, yang disayangi Allah, yang maha mulia, dan kepadanya disediakan surga. Di dalam jiwa yang tenang, tak ada gejolak-gejolak nafsu.

Godaan mungkin ada. Tapi, tampaknya hanya berupa riak-riak kecil, seperti layaknya air danau yang tenang, yang diembus angin pagi yang lembut. Mana mungkin sekadar oleh embusan angin lembut, danau tenang itu bergejolak seperti “alun banteng” di Parangtritis, pada jam dua belas siang? Pada jam itu angin kencang, matahari yang mendidih berada di titik kulminasi, dan lautan menjadi begitu resah.

Di dalam “kamus” kehidupan Puntadewa tak ada kata resah. Dia yakin, segala hal sudah berada pada tatanan, pada struktur, pada nasib terbaiknya, dan bahwa segala hal, baik atau buruk, menyulitkan atau menyenangkan, sudah kehendak Hyang Widi. Jadi, mau apa lagi manusia, selain taat, patuh, dan tawakal menerima gerak nasib, tanpa banyak cingcong?

Dia tak mendengki orang yang hatinya penuh dengki sekalipun. Dia pun bisa bersikap sangat toleran biarpun terhadap orang yang tak mengenal kata toleran. Si darah putih ini disebut “lega donya, lila ing sirna”, kekayaan duniawinya, bila diminta orang, dikasih. Nyawanya diancam orang, dia serahkan. Dia tidak marah, karena bukankah orang-orang itu juga umat manusia, dan juga diciptakan oleh Hyang Widi, seperti dirinya?

Dia tak menyukai konflik, pertengkaran, dan segenap kericuhan, yang bisa mengakibatkan kekacauan tatanan hidup. Berkat keluhuran budinya, dewa-dewa pun ibaratnya terpesona pada Puntadewa, yang mengagumkan.

Kalau kita memiliki banyak orang dengan tipe kepribadian seperti ini, negeri kita yang resah ini niscaya segera berubah total. Konflik-konflik, kekerasan, pertumpahan darah, sikap saling memusuhi dan saling mendengki menjadi tidak relevan.

Tidak ada siaran atau suatu program tayangan televisi yang isinya mengundang orang untuk bertengkar, dan bangga mampu mempertontonkan pertengkaran, yang tak mustahil berujung pada sikap saling tak menyukai. Kalau toh ada, program siaran macam itu pasti tak ditonton orang. Stasiunnya juga bakal segera tutup karena tak ada pemirsa.

Meskipun dengan sendirinya kepribadian macam itu tak sempurna---dan banyak pula kelemahannya---kita memerlukan orang seperti itu. Dia orang baik yang sangat kita dambakan. Tokoh ini bagus untuk menjadi ketua partai, ketua DPR, ketua fraksi, ketua KPK, ketua mahkamah ini mahkamah itu, ketua pengadilan apa saja, ketua komisi ini komisi itu yang begitu banyak di Tanah Air.

Juga baik menjadi ketua NU, ketua Muhammadiyah, maupun ketua organisasi sosial keagamaan yang lain. Dijamin pasti bagus menjadi ketua lembaga rohaniah---atau yang kelihatannya seperti rohaniah---yang menentukan baik-buruk, halal-haram, puasa mulai-puasa berakhir, sunah-wajib, suci-najis, agama sesat-agama lurus, aliran sesat-aliran lurus, tarekat sesat-tarekat “muktabaroh” dan sejenisnya.

Kalau orang baik macam ini banyak dan semua lembaga dipimpin orang macam ini pula, siapa berani bikin keresahan di dalam masyarakat? Saya kira Mahatma Gandhi harus ditempatkan dalam posisi seperti itu juga, tak peduli dia bakal bikin kebaikan di bagian bumi yang lain, yang bukan Tanah Air kita.

Bung Hatta? Prof Simuh, dari UIN Sunan Kalijaga, Yogya? Pak Hoegeng? Pak Loppa? Semua orang baik. Kita punya banyak tokoh hebat, dan saat ini masih banyak yang hebat. Tapi, karena aturan politik dan dominasi partai, orang baik berperan di balik kegelapan, dan tak dianggap penting.

Sementara itu, “bandit-bandit” merajalela di partai-partai, di parlemen pusat maupun daerah, dan juga di birokrasi pemerintahan, bisnis atau swasta lain. Kita tak boleh percaya begitu saja pada orang yang kelihatannya rohaniwan, semata karena memakai jubah. Orang bijak zaman dulu tak percuma mengingatkan kita akan bahaya “serigala berbulu domba”. “Lembu berbulu partai” yang berteriak-teriak tentang rohani pun patut diwaspadai.

Kebaikan Tak Cukup?

Memang, banyak pihak bicara, orang baik tidak cukup. Maksudnya, ketika kita mencari pemimpin, orang baik tak usah dipilih karena kebaikan tak mencukupi; dan para “bandit” di dunia politik membenarkannya.

Jelas saja mereka setuju pada pandangan itu, karena kekuasaan mau didominasi terus-menerus oleh orang-orang jahat. Omongan mereka mengandung kepentingan politik, yang di baliknya penuh keserakahan.

Tidak. Orang baik bukan tidak cukup, tetapi cukup, dan baik sekali. Pak Hoegeng dulu ketua polisi Negara Republik Indonesia. Sebutannya Kapolri. Siapa Kapolri sesudahnya yang lebih baik dari beliau? Prof Dr Simuh, orang baik, yang lembut hatinya, lembut suaranya, menjabat Rektor IAIN, UIN, Sunankalijaga, Yogya.

Pak Loppa penegak hukum yang lurus, melebihi Tugu Monas. Beliau menjabat dengan sikap “orang suci”. Bung Hatta, ibaratnya berbagi moralitas dengan Mahatma Gandhi, sebagai sejenis orang “suci” pula. Jabatannya wakil presiden, yang hingga kini membuat kita bertanya: siapa sebanding beliau? Di zaman edan, zaman sontoloyo macam ini, orang jujur, lurus, baik, dianggap berbahaya.

Tak mengherankan, Pak Loppa menjabat Jaksa Agung hanya dalam waktu pendek, karena beliau berbahaya bagi para koruptor yang merasa Indonesia, dan pemerintah Indonesia menyediakan taman surga bagi koruptor, sedang Pak Loppa menyediakan bui. Memang berbahaya.

Orang baik tidak cukup, bagi saya tak bisa diterima. Ini salah. Siapa yang harus menjadi presiden tahun 2014 kalau bukan orang baik? Siapa menteri-menterinya? Siapa ketua lembaga ini lembaga itu, komisi ini komisi itu, yang begitu banyak jumlahnya?

Harus orang partai, bukan? Tidak perlu orang baik, bukan? Semua posisi penting, strategis dan sangat menentukan kehidupan bangsa, harus dipegang orang-orang yang tidak baik, bukan? Dan selamanya, negeri ini mau dikuasai orang tidak baik, yang lebih mengabdi kepentingan bangsa asing, pedagang asing, pelobi asing, dan kita, rakyat yang tetap jelata, harus tetap ditelantarkan?

Orang baik tidak cukup menjadi pejabat ini pejabat itu. Maka, serahkan pada orang jahat? Dan kita biarkan para penjahat menguasai kehidupan kita, dan mereka yang menentukan nasib kita sebagai warga negara?

Orang baik itu baik. Orang baik itu bagus. Orang baik lebih dari cukup. Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, orang baik. Sejak kecil jujur, lurus, tak pernah nakal. Sejak bocah beliau disebut al amin, orang lurus, teruji, terpercaya, bisa diandalkan.

Pada usia 40 tahun beliau menjadi Nabi dan Rasul, dan menerima wahyu pertama. Apa Allah lalai, keliru, salah pilih, kurang memahami apa yang “fit” apa yang “proper”, apa yang pantas dan pada tempatnya?

Apa manusia Indonesia lebih pandai dan lebih paham tentang kepemimpinan daripada Allah, yang telah memilih Gusti Kanjeng Nabi Muhammad, orang bersahaja, dan orang baik, menjadi Nabi-Nya, dan Rasul-Nya?

Kelihatannya saya harus yakin, bila di zaman itu, pemilihan beliau sebagai Nabi dan Rasul diserahkan kepada bangsa Indonesia---yang mentalitetnya persis seperti saat ini---niscaya beliau dianggap tak cukup. Orang baik tidak cukup. Sekolahnya tidak ada. Pengalaman tidak ada.

Apa yang dinamakan “timsel”---seolah-olah mereka disel di ruang tertutup---pastilah akan langsung menggugurkan pencalonan beliau pada tahap “administratif”. Mungkin bahkan media sudah bertanya pada narasumber yang “pekok”---mantan koruptor, mantan politikus busuk, mantan…apa saja, untuk meramaikan suasana agar pencalonan “orang baik” ini digagalkan karena argumen “pekok” tadi: orang baik tidak cukup.
Jadi, orang macam apa yang dianggap “cukup” untuk menjadi pemimpin? Orang rapi jail? Orang populer, bukan karena jasa dan karyanya, tapi hanya karena nasib baik dipopulerkan media? Mana hasilnya?

Pemimpin harus orang pandai? Orang pandai yang bejat moralnya, seperti kebanyakan pemimpin sekarang---jadi jelas bukan “orang baik”---berbahaya. Orang pandai bisa korup lebih besar dibandingkan korupsinya pegawai baru di kantor pajak yang sudah korup sangat besar itu.

Allah memilih “orang baik” menjadi Nabi, dan Rasul yang disayangi-Nya, tidak keliru. Allah tak pernah lalai barang sedikit pun. Allah tak pernah ngantuk, tak pernah tidur. “Orang baik” yang dipilih-Nya tetap baik sepanjang masa. Orang baik itu tetap menjadi suri teladan agung bagi umat manusia. Siapa bilang orang baik tidak cukup? []

Sumber : Sinar Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar