Kamis, 28 Agustus 2014

Mbah Sahal: Pesantren dan Pengembangan Sains



Pesantren dan Pengembangan Sains
Oleh: KH. MA. Sahal Mahfudh

Sains (science) dalam tulisan ini diartikan sebagai ilmu pengetahuan dalam cakupan yang luas. Bukan dalam batasan satu nilai atau satu bidang kebutuhan manusia. Arti lebih luas akan mencakup kepada setiap segi kehidupan dan kebutuhan manusia. Baik dalam pola bermasyarakat maupun dalam pola kehidupan individu.

Ilmu pengetahuan akan mendukung struktur kehidupan yang seimbang dan stabil. Dengan ilmu pengetahuan, etika, tata hidup dan pola bermasyarakat akan terjaga. Dengan ilmu pengetahuan pula, kebutuhan hidup terpenuhi, dengan berfungsinya potensi-potensi alam menjadi pendukung bagi langkah maju manusia.

Secara kontinyu, ilmu pengetahuan berkembang dipengaruhi oleh aspek-aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, juga apresiasi intelektual masyarakat namun proses perkembangan tersebut sangat bergantung pada lembaga pendidikan, sebagai indikator partisipasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Pesantren adalah lembaga pendidikan dengan bentuk khas sebagai proyeksi totalitas kepribadiannya. Secara mendasar sistem pendidikan yang dipilihnya memberikan kebebasan bagi pesantren untuk menentukan pola dinamis kebijaksanaan pendidikannya. Sehingga, setiap tawaran pengembangan, berupa transfer ilmu dari luar (non-pesantren) maupun atas prakarsa sendiri, akan melalui pertimbangan dari dalam pesantren sendiri. Yaitu, pertimbangan tata nilai yang berlaku dalam pesantren.

Mulanya falsafah pendidikan pesantren melulu bertujuan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk mencetak santri menjadi tenaga-tenaga terampil yang mampu terjun ke bidang kemasyarakatan dengan baik, harus dibekali dengan pengetahuan yang luas. Kebutuhan masyarakat akan pengetahuan semakin berkembang, sehingga apresiasi terhadap ilmu menjadi lebih tinggi. Ini mendorong pesantren secara bertahap, mengubah struktur dan sistem pendidikannya.

Transformasi itu tidak secara radikal mengubah dan menghapus sistem dan struktur pendidikan yang telah menjadi dinamika pesantren, namun lebih menekankan pemeliharaan cara lama yang masih relevan dan pengembangan sesuai dengan cara baru yang lebih baik. Lambat laun visi kepesantrenan terhadap pengetahuan menjadi semakin mantap. Dan sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak lagi hanya berorientasi pada pengetahuan keagamaaan, melainkan lebih luas lagi pada bidang-bidang pengetahuan umum.

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan secara luas, yang menjadi pembahasan di sini, pesantren menempati posisi yang sangat berperan, karena posisinya sebagai lembaga pendidikan yang langsung berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Namun untuk menggariskan suatu konsep yang tepat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang, masih harus mempertimbangkan beberapa alternatif dan kemungkinan-kemungkinan.

***

Apabila dipahami secara mendasar, ilmu pengetahuan (science) menempati posisi yang sangat penting dalam tatanan Islam. Posisi utama tersebut diberikan, karena ilmu adalah sarana yang paling penting dan tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencapai kebahagiaan dunia-akhirat. Dasar dari nilai-nilai science ini telah jelas digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik secara eksplisit maupun implisit.

Posisi ilmu pengetahuan dalam tatanan Islam memiliki dua standar pokok. Yaitu standar ketuhanan dan kemanusiaan. Segala penilaian terhadap ilmu pengetahuan tertentu, berada dalam skema dua standar pokok tersebut. Standar ketuhanan menyeleksi ilmu pengetahuan dengan ketentuan, sejauh mana ia mampu secara mantap dan sempurna memenuhi kebutuhan pemahaman hubungan antara manusia dengan Allah SWT dan hubungannya dengan sesama makhluk dalam kaitannya dengan nilai keagamaan, etika dan tata hubungan bermasyarakat.

Standar kemanusiaan menelaah kualitas ilmu pengetahuan dalam tata peradaban dan kemanusiaan, sehingga menyangkut pola komunikasi dan pola manusiawi dalam kehidupan. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa timbul dikotomi dalam kedua standar tersebut. Hanya saja skala prioritas yang berlaku, lebih menekankan pada pendalaman ilmu pengetahuan yang masuk dalam standar yang pertama, misalnya.

Pemahaman keilmuan dalam Islam, sebenarnya dipengaruhi oleh sistem berpikir yang berkaitan dengan tujuan keagamaan. Dari tinjauan ini, maka dapat dipahami, bahwa dalam hirarki ilmu yang terdapat dalam tatanan Islam, ilmu akidah, syari'ah dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya menempati posisi yang sangat penting. Lebih jelasnya masuk dalam keharusan yang mutlak (fardlu 'ain). Sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan yang mempunyai implikasi sosial menyeluruh dan mendasar, menempati posisi yang harus dimiliki secara kolegial (fardlu kifayah). Termasuk kategori ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu pertanian, ilmu politik, teknologi, ilmu perindustrian, ilmu sosial, ilmu kebudayaan dan pelbagai cabang ilmu lainnya.

Kompetensi Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari perhatiannya yang sangat besar dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan. Pendalaman ilmu pengetahuan dalam Islam digariskan sebagai suatu bentuk pendalaman terhadap segala ilmu pengetabuan yang mempunyai manfaat bagi manusia. Baik dalam kaitannya dengan kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Hal demikian masih ditambah dengan adanya tuntutan bagi pengembangan dan pengamalan, sehingga keadaan ilmu tidak mengalami stagnasi.

Sumber pertama bagi pengembangan ilmu tersebut adalah wahyu Allah dan tradisi Rasul, juga rasio (akal) dan kenyataan empirik. Dari sumber-sumber tersebut yang paling berperan adalah wahyu. Ini karena kemampuan akal untuk memahami dan mengontrol kehidupan maupun tradisi Rasul, sangat terbatas dan terikat pada suatu kerangka waktu, sehingga memerlukan petunjuk yang bersifat dasar dan cocok dengan pelbagai keadaan.

Ilmu pengetahuan yang berkembang dalam tatanan Islam harus memiliki dimensi bathiniyah (esoteris) yang mempunyai kaitan yang bersifat ukhrawi atau untuk mencapai kebahagiaan di alam akhirat nanti. Begitu juga harus mempunyai kaitan manfaat dengan kehidupan duniawi yang banyak memberikan kemudahan dan keadilan bagi kehidupan manusia. Agar dengan demikian tidak timbul asumsi Islam adalah agama keakhiratan belaka.

***

Posisi pesantren dalam konstelasi ini, adalah sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Ia menekankan pada pendalaman pengetahuan agama sebagai orientasi sistem dan pola dasar pendidikannya. Posisi ini memberi identitas tertentu terhadap pesantren, bahwa ia merupakan lembaga takhassus (spesialisasi) bidang agama yang menanamkan nilai-nilai etis dan budi luhur ke dalam sikap hidup para santrinya, di samping membekalinya dengan keterampilan untuk terjun ke masyarakat nanti hingga akan mencetak kader-kader ulama yang berkualitas.

Sistem pendidikan yang ditempuh pesantren memang menunjukkan sifat dan bentuk yang lain dari pola pendidikan nasional. Namun setidaknya juga menampakkan integrasi yang partisipatif terhadap pendidikan nasional. Pola pendidikan nasional sebagaimana dijelaskan GBHN, bertujuan meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti luhur dan akhlak yang mulia.

Meski pesantren menempuh pola teknik penyelenggaraan yang berbeda, ia tetap merupakan suatu lembaga pendidikan yang mendukung dan menyokong pencapaian tujuan itu. Karena, secara institusional dan melalui pranata yang khas, pesantren merangkum upaya pengembangan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan pola dasar pendidikannya.

Pola dasar pendidikan pesantren terletak pada fungsi dan relevansinya dengan segala aspek kehidupan. Dalam hal ini, ia merupakan cerminan untuk mencetak santrinya menjadi manusia shalih dan akram. Shalih berarti, manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna dan terampil dalam kehidupan sesama makhluk. Untuk nnencetak manusia yang berguna terhadap sesamanya, pesantren membekali dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan kehidupan.

Sedangkan akram, merupakan pencapaian kelebihan dalam relevansinya dengan makhluk terhadap Khalik, mencapai kebahagiaan di akhirat. Untuk ini, pesantren secara institusmenekankan pendalaman ilmu-ilmu keagamaan (tafaqquh fiddin). Pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendalaman pengetahuan keagamaan, sebagaimana yang dikira banyak orang, namun secara integratif ilmu-ilmu umum secara intens juga dikembangkan dalam pesantren.

Lalu peran apakah yang dilakukan pesanten dalam pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan di masa mendatang? Untuk menjawab pertanyaan itu harus mempertimbangkan sistem dan pendidikan yang dikembangkan di pesantren. Antara pengembangan ilmu pengetahuan dengan sistem pendidikan mempunyai hubungan timbal balik. Pengembangan ilmu pengetahuan tak mungkin dapat dilaksanakan tanpa menempuh sistem pendidikan, begitu pula perkembangan ilmu pengetahuan membutuhkan sistem yang sesuai dengan perkembangan itu sendiri.

Untuk mendapatkan suatu sistem pendidikan yang sesuai dan bisa menumbuhkan motivasi ke arah pengembangan ilmu pengetahuan diperlukan suatu konsep sistem pendidikan yang tepat dan tidak statis. Konsep tersebut harus mampu menyeimbangkan antara penuntut ilmu pengetahuan dengan sistem nilai yang melembaga yang menuntut pelestarian dan pemeliharannnya.

Kedua tuntutan tersebut akan dapat diseimbangkan pemenuhannya dengan cara memformulasikan suatu kebijaksanaan yang mendukung pengembangan ilmuilmu pengetahuan tanpa mengabaikan tujuan dasar didirikannya pesantren. Namun hal tersebut tidak lepas dari pertimbangan relevan dan tidaknya kebijaksanaan itu dengan perkembangan yang berjalan. Konsep kebijaksanaan sistem pendidikan yang tidak relevan akan menimbulkan ketimpangan praktis yang berkelanjutan.

Dengan demikian secara posisional dan fungsional pesantren adalah lembaga pendidikan yang partisipatif menopang dan sebagai sarana bagi pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan. Kenyataan ini dapat dilihat dari modal dasar didiriikannya. Di antaranya adalah sebagai lembaga pendidikan. Sistem pendidikan yang digunakan pesantren menunjukkan sifat yang khas.

Untuk menjamin dan meningkatkan pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang kompleks pesantren harus mempunyai kebijaksanaan untuk mengembangkan sistem pendidikannya sesuai dengan tuntutan perubahan dan kebutuhan serta sesuai dengan risalahnya sebagai lembaga tafaqquh fiddin dan pencetak kader ulama.

***

Tidak mungkin suatu sistem pendidikan bisa berjalan secara kontinyu dan lestari tanpa melalui proses perubahan dan perkembangan. Setiap sistem pendidikan yang telah berlaku dalam satu lembaga pendidikan akan berjalan dan berkembang sesuai dengan faktor-faktor kondisional yang mengelilinginya. Manakala faktor-faktor kondisional tersebut berkembang dan menuntut penyesuaian, mau tidak mau lembaga pendidikan harus menempuh transformasi kalau tidak ingin ketinggalan. Oleh karenanya sistem pendidikan akan selalu menempati proses penyesuaian dan pengembangan sebagai strategi kebijkannnya.

Secara bertahap pesantren juga menempuh trans- formasi yang mendasar pada elemen-elemen pendidikannya. Transformasi yang ditempuh pesantren merupakan desakan penyesuaian terhadap modus pendidikan yang berlaku dan populer, yang berkembang di luar pesantren. Tanpa menempuh jalan ini, anggapan ketertinggalan akan semakin menonjol.

Sementara di segi lain, pesantren juga memperhitungkan strategi pengembangan demi kebutuhan inovasi intern. Pada dasarnya transformasi hanya menonjol pada struktur dan sistem pendidikannya, termasuk metode dan materi pengajaran yang digunakan. Perubahan struktur pendidikan pesantren sangat nampak pada otonominya yang cenderung menipis dalam menentukan kebijaksannan pendidikan.

Posisi pesantren sebagai subyek dalam menentukan setiap kebijaksanann, lambat laun digusur oleh kondisi di mana pesantren telah menjadi salah satu obyek pendidikan nasional. Kenyataannya, modus pendidikan yang digunakan banyak mengambil dari SMP, SMA dan madrasah yang merupakan sub-sistem pendidikan nasional. Walaupun pada dasarnya pesantren masih punya otonomi bagi penentuan kebijaksanaan terhadap sistem pendidikannya, namun hanya pada hal-hal yang prinsipil bagi misi pesantren dan risalahnya.

Perubahan sistem pendidikan pesantren melahirkan perubahan pada metode dan materi pengajarannya. Metode pengajaran telah banyak menempuh kurikulum, campuran antara yang agama dan non-agama. Kurikulum campuran ini sebenarnya timbul dari tuntutan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan non-agama (pengetahuan umum) yang merupakan kebutuhan nyata yang harus dipenuhi para lulusan pesantren. Dari arah ini materi pengajaran juga ditambah dengan mentransfer jenis-jenis ilmu pengetahuan baru ke dalam sistem pendidikan pesantren, sehingga menimbulkan kecenderungan perluasan identitas pesantren.

Nampaknya transformasi yang telah ditempuh oleh beberapa pesantren banyak sekali menimbulkan pengaruh pada identitas pesantren yang telah menjadi cir pokoknya. Bahkan ada kecenderungan, pesantren akan mengalami krisis identitas. Sebenarnya pola-pola yang ditempuh masih merupakan penjajagan bagi penempatan sistem pendidikan yang cocok dan sesuai bagi kelangsungan hidup pesantren. Melalui proses bertahap, pesantren akan mampu memasok kebijaksanaan yang tepat bagi risalah dan misi pesantren.

***

Dari beberapa uraian yang telah disampaikan di atas, dapat diambil beberapa point yang sangat perlu diperhatikan.

Pertama, prospek pengembangan ilmu pengetahuan (science) merupakan tanggung jawab semua kalangan lembaga pendidikan, tanpa memandang dasar pendidikan yang dianut. Hanya saja skala prioritas penekanan terhadap ilmu pengetahuan yang dikembangkan, berlainan antara lembaga pendidikan yang satu dengan yang lain. Pesantren lebih menekankan pada pengetabuan yang sesuai dengan dasar pendidikannya, yakni tuntutan Islam.

Kedua, untuk lebih mendukung adanya pengembangan ilmu pengetahuan secara pesat, pesantren harus memperhatikan sistem pendidikannya. Dalam hal ini transformasi juga perlu dilaksanakan, sejauh bisa menyelamatkan nilai-nilai dan identitas pesantren, sehingga tidak hanyut oleh perubahan.

Ketiga, hendaknya dalam menempuh transformasi pesantren harus memperhatikan watak-watak, kondisikondisi, dan faktor-faktor yang sesuai dengan kepribadian dan latar belakang pesantren itu sendiri, sehingga tidak menimbulkan ketimpangan praktis.

Keempat, penanganan tidak melulu pada modus- modus klasikal yang dikembangkan. Namun lebih menekankan pada pengembangan secara intensif bagi pendidikan tambahan (ekstra kurikuler) yang merupakan ciri khas pendidikan pesantren. []

*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah dimuat majalah Aula edisi No.5 Tabun X, Juni 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar