Rabu, 27 Agustus 2014

BamSoet: Urgensi Perluasan Jelajah KPK



Urgensi Perluasan Jelajah KPK
Oleh: Bambang Soesatyo

“Ironis bahwa KPK yang ditugasi memerangi koruptor di seantero negeri ini hanya berkantor di Jakarta”

PENANGKAPAN Bupati Karawang, Jawa Barat, Ade Swara bersama istri, Nurlatifah, makin memperlihatkan perlunya penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu aspek penguatan yang terlihat urgensinya adalah perluasan jelajah jangkau KPK hingga ke pelosok wilayah. Tentu penguatan pada aspek lain juga diperlukan, sejalan dengan berkembangnya modus tindak pidana korupsi (tipikor) dalam beberapa dekade terakhir.

Apalagi, praktik beberapa model kejahatan bernuansa koruptif makin merebak akhir-akhir ini. Dari manipulasi BBM bersubsidi, penyelundupan produk manufaktur yang jelas-jelas merugikan negara dari aspek bea masuk, hingga penyalahgunaan wewenang dengan memberi ruang bagi praktik kartel. Beragam kejahatan tersebut belum semuanya disentuh KPK.

Bagi mereka yang awam dengan persoalan moneter dan stabilitas industri perbankan misalnya, kasus Bank Century terlihat rumit, bahkan sangat njlimet. Memahami bangun kasusnya saja tak mudah, apalagi untuk sampai kesimpulan telah terjadi kejahatan tipikor. Barangkali, faktor itulah yang menjadi sebab penuntasan kasus ini harus memakan waktu.

Bagi institusi penegak hukum, konsekuensi logis dari contoh kejahatan kerah putih pada kasus Century menjadi sangat jelas bahwa institusi penegak hukum pun perlu memiliki tenaga ahli yang mampu memahami modus-modus kejahatan pada bidang atau sektor tertentu di era modern ini. Karena itulah, peran dan fungsi semua institusi penegak hukum, terutama KPK, perlu diperkuat dari waktu ke waktu.

Masyarakat masih dan terus mendesak penegak hukum fokus memerangi korupsi. Tentu saja, perhatian tertuju pada KPK. Belum lama ini, di tengah hiruk-pikuk perhitungan perolehan suara Pilpres 2014, Pengadilan Tipikor Jakarta dan KPK masih bisa menyita perhatian khalayak.

Pertama; Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, Budi Mulya, dengan pidana 10 tahun penjara. Setelah itu, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis mantan menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng dengan 4 tahun penjara.

Dengan tertangkapnya Ade Swara-Nurlatifah, sudah tiga pasang suami-istri dijerat KPK. Yang lebih dulu, Wali Kota Palembang Romi Herton dan istri, Masyitoh. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap Rp 19,8 miliar kepada mantan ketua MK, Akil Mochtar. Sebelumnya lagi, mantan bendahara umum Demokrat, M Nazaruddin dan istri, Neneng Sri Wahyuni, pada 2010. Suami istri itu ditangkap juga karena sejumlah tindak pidana korupsi.

Mata KPK

Menarik untuk menyimak pernyataan Ketua KPK Abraham Samad setelah penangkapan Ade Swara-Nurlatifah. ”KPK tidak tidur dan tidak tinggal diam melihat keadaan yang makin memprihatinkan. Kami memang tak punya cabang tapi punya mata di mana-mana. Bahkan di rumah Anda pun, kami punya mata.”

KPK mengakui penangkapan Ade Swara-Nurlatifah berawal dari laporan masyarakat tentang sepak terjang keduanya yang sangat koruptif. Berarti, mata dan telinga masyarakatlah yang masih jadi andalan komisi antirasuah itu. Dalam kasus Ade Swara-Nurlatifah, patut disyukuri karena masyarakat masih peduli. Apa jadinya andai mereka tidak lagi peduli atau permisif.

KPK memang hanya ada di Jakarta. Ketika Abraham Samad mengatakan KPK tak punya cabang di daerah, dia secara tidak langsung menggambarkan keterbatasan jelajah jangkau lembaganya.

Riilnya, jelajah jangkau komisi itu memang sangat terbatas. Bahwa ia masih bisa menjerat sejumlah tersangka korupsi dari beberapa daerah, itu berkat partisipasi atau laporan masyarakat.

Ironis bahwa KPK yang ditugasi memerangi para koruptor di seantero negeri ini hanya berkantor di Jakarta. Padahal, praktik korupsi menggejala di semua daerah. Cobalah mendatangi tiap daerah dan mengorek informasi tentang korupsi maka banyak cerita dituturkan, baik oleh warga maupun pegawai pemda yang tentu saja minta identitasnya dirahasiakan. KPK pun menerima banyak laporan dugaan tipikor dari sejumlah daerah.

Tak mudah bagi KPK merespons semua itu mengingat berbagai keterbatasannya. Karena kecenderungan itulah, perluasan jelajah jangkau KPK perlu diprioritaskan. Seperti institusi penegak hukum lainnya, wilayah kerja komisi antikorupsi tersebut amatlah luas, terutama karena korupsi sudah menggejala di hampir semua daerah. Maka, KPK perlu memiliki instrumen di daerah.

Mungkin tidak harus berbentuk kantor cabang atau perwakilan. Tampaknya, instrumen paling utama yang diperlukan adalah penempatan tenaga yang berfungsi seperti investigator atau pengumpul data. Para investigator ini beroperasi layaknya intelijen. Tidak terlihat tetapi masyarakat tahu bahwa di daerahnya ada orang KPK yang siap mengintai atau merespons laporan masyarakat. []

SUARA MERDEKA, 19 Agustus 2014
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR, Presidium Nasioinal KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar