Jumat, 29 Agustus 2014

Yudi Latif: Menjalankan Revolusi Mental



Menjalankan Revolusi Mental
Oleh: Yudi Latif

APAKAH gerangan revolusi itu? Inilah istilah yang sering disebut untuk sering disalahpahami. Dalam pemahaman umum selama ini, revolusi sering dimaknai sebagai perubahan cepat dalam ranah sosial-politik dengan konotasi kekerasan radikal menyertainya. Jarang orang yang menyadari bahwa sebelum digunakan dalam wacana dan gerakan sosial-politik, istilah revolusi sesungguhnya lebih dahulu muncul sebagai istilah teknis dalam sains.

Secara denotatif, revolusi berarti ”kembali lagi” atau ”berulang kembali”; ibarat musim yang terus berganti secara siklikal untuk kembali ke musim semula. Maka, dalam sains, istilah revolusi mengimplikasikan suatu ketetapan (konstanta) dalam perubahan; pengulangan secara terus-menerus yang menjadikan akhir sekaligus awal. Pengertian seperti inilah yang terkandung dalam frase ”revolusi planet dalam orbit”.

Pada tahun 1543, Nicolaus Copernicus memublikasikan De Revolutionibus Orbium Coelestium, yang sering dinisbatkan sebagai penanda revolusi paradigmatik dalam sains yang mengubah keyakinan tentang pusat alam semesta dari geosentrisme (berpusat di Bumi) menuju heliosentrisme (berpusat di Matahari). Perubahan mendasar dalam keyakinan ilmiah ini lalu dikenal sebagai revolusi Copernican.

Istilah revolusi dalam kaitan ini bergeser dari pengertian sebelumnya menjadi yang didefinisikan Thomas Kuhn sebagai ”perubahan dalam susunan keyakinan saintifik atau dalam paradigma”. Dengan kata lain, pengertian revolusi tidak lagi menekankan aspek kesinambungan dalam daur ulang (unbroken continuity), melainkan justru sebagai keterputusan dalam kesinambungan (break in continuity). Sejak itu, revolusi berarti suatu perubahan struktur mental dan keyakinan karena introduksi gagasan dan tatanan baru yang membedakan dirinya dari gagasan dan tatanan masa lalu (Cohen, 1985).

Mengandung kebaruan

Pengertian revolusi seperti itulah yang kemudian diadopsi oleh wacana dan gerakan sosial-politik. Penggunaan istilah revolusi dalam bidang politik memperoleh popularitasnya menyusul Revolusi Amerika (1776) dan terlebih setelah Revolusi Perancis (1789). Seperti halnya revolusi dalam sains, pengertian revolusi dalam politik pun pada mulanya mengandung konotasi yang ramah, hingga Revolusi Perancis berubah jadi ekstrem dalam bentuk teror yang menakutkan. Konotasi menakutkan dari istilah revolusi tersebut menguat menyusul publikasi The Communist Manifesto pertengahan abad ke-19, revolusi 1848, dan gerakan komunis internasional dengan agenda revolusi berskala dunia yang mengandung ekspresi kekerasan terkait dengan perubahan cepat.

Bagaimanapun, kekerasan dan perubahan cepat bukanlah elemen esensial dari suatu revolusi. Revolusi tidak mesti dengan jalan kekerasan. Pada 1986, Peter L Berger memublikasikan buku The Capitalist Revolution yang menunjukkan suatu bentuk revolusi nirkekerasan. Revolusi pun bisa ditempuh secara cepat atau lambat. Revolusi industri di Eropa ditempuh dalam puluhan, bahkan ratusan tahun. Yang esensial dalam suatu revolusi adalah ”kebaruan”. Hannah Arendt (1965) mengingatkan bahwa ”Konsep modern tentang revolusi terkait dengan pengertian bahwa jalannya sejarah seketika memulai hal baru. Revolusi mengimplikasikan suatu kisah baru, kisah yang tidak pernah diketahui atau diceritakan sebelumnya”. Revolusi menjadi jembatan yang mentransformasikan dunia lama jadi dunia baru.

Alhasil, revolusi sejati yang berdampak besar dalam transformasi kehidupan harus mengandung kebaruan dalam struktur mental dan keyakinan. Dengan kata lain, revolusi sejati meniscayakan perubahan mentalitas (pola pikir dan sikap kejiwaan) yang lebih kondusif bagi perbaikan kehidupan. Urgensi revolusi mental seperti ini sejalan dengan firman Tuhan dalam Al Quran (QS 13: 11): ”Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sebuah kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada jiwa mereka.”

Kenyataannya, keberhasilan revolusi fisik merebut kemerdekaan Indonesia serta jatuh bangunnya pemerintahan setelah kolonial tak diikuti perubahan mendasar pada struktur mentalitas bangsa. Pada relung terdalam kejiwaan bangsa ini, masih bercokol mentalitas feodalistis yang mengisap ke bawah, tetapi mudah bermetamorfosis menjadi mentalitas budak di hadapan tuan-tuan agung. Mentalitas budak (inferior) menjadikan bangsa ini mudah mengekor bangsa lain; saat sama sulit menerima kelebihan dan kemenangan sesama bangsanya sendiri.

Dengan struktur mentalitas seperti itu, kemerdekaan dan pembangunan Indonesia tidak diikuti oleh kemandirian dalam ekonomi, kedaulatan dalam politik, dan kepribadian dalam kebudayaan. Lemahnya mentalitas kemandirian membuat wajah perekonomian bangsa ini belum kunjung beranjak dari gambaran perekonomian negeri terjajah yang dilukiskan Bung Karno pada 1930-an. Pertama, sumber daya alam¬nya hanya dijadikan bahan baku murah oleh negara maju. Kedua, negeri kita hanya dijadikan pasar untuk menjual produk-produk hasil industri negara maju tersebut. Ketiga, dijadikan tempat memutarkan kelebihan kapital (modal) oleh negara-negara kapitalis tersebut atau dengan kata lain menjadi tempat investasi asing.

Lemahnya mentalitas kedaulatan membuat politik negeri ini tidak leluasa mengembangkan pilihan sistem dan kebijakan politik sendiri. Ke luar, kewibawaan Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam hubungan internasional kian memudar. Ke dalam, pilihan-pilihan pembangunan tak lagi ditentukan oleh apa yang disebut Tan Malaka sebagai ”kemauan, pelor, atau bambu runcingnya rakyat Indonesia sendiri”. Tanpa kedaulatan mengembangkan sistem pemerintahan sendiri, demokrasi padat modal membuat pilihan-pilihan politik kerap dimenangi kepentingan korporasi karena aspirasi rakyat tidak memiliki sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri.

Lemahnya mentalitas kepribadian membuat kebudayaan bangsa ini tak memiliki jangkar karakter yang kuat. Tanpa kekuatan karakter, Indonesia adalah bangsa besar bermental kecil; bangsa besar mengidap perasaan rendah diri. Bangsa yang selalu melihat dunia luar sebagai pusat teladan, tanpa menyadari dan menghargai kelebihan-kelebihan bangsa sendiri. Atau sebaliknya, melakukan kompensasi berlebihan dengan mengembangkan mentalitas jago kandang yang menolak belajar dari kelebihan bangsa lain.

Tanpa kekuatan karakter, kita sulit jadi pemenang dalam era persaingan global. Itu karena, seperti diingatkan Napoleon Bonaparte, ”Dalam pertempuran (baca: persaingan), tiga perempat faktor kemenangan ditentukan kekuatan karakter dan relasi personal, adapun seperempat lagi oleh keseimbangan antara keterampilan manusia dan sumber daya material.”

Investasi mental

Begitu terang benderang bahwa krisis mentalitas merupakan akar tunjang dari krisis kebangsaan. Bisa dipahami apabila pesan lagu kebangsaan lebih mendahulukan pembangunan jiwa daripada raga. Celakanya, perhatian yang berlebihan terhadap investasi material membuat kita mengabaikan investasi mental.

Dunia pendidikan yang biasanya dijadikan sandaran terakhir bagi transformasi sosial bukannya memberi harapan, malah menjadi bagian dari krisis itu sendiri. Lembaga pendidikan sebagai benteng kebudayaan mengalami proses pengerdilan, tergerus dominasi etos instrumentalisme; suatu etos yang menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh yang menyediakan instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis.

Suatu usaha national healing perlu dilakukan dengan melakukan gerakan revolusi mental, yang wahana utamanya melalui proses persemaian dan pembudayaan dalam dunia pendidikan. Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, nonformal, maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan mental-karakter yang sehat dan kuat.

Untuk itu, perlu ada reorientasi dalam dunia pendidikan dengan menempatkan proses kebudayaan (olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga) di jantung kurikulum. Pendidikan dan kebudayaan harus dipandang sebagai proses kreatif yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari keping uang yang sama. Bung Hatta secara tepat menyatakan bahwa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan.

Pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan berorientasi ganda: memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Ke dalam, pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk mengenali siapa dirinya sebagai ”perwujudan khusus” (”diferensiasi”) dari alam. Sebagai perwujudan khusus dari alam, setiap orang memiliki keistimewaan-kecerdasan masing-masing. Proses pendidikan harus membantu peserta didik menemukenali kekhasan potensi diri tersebut, sekaligus kemampuan untuk menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagat besar.

Aktualisasi dari kesadaran ini adalah pemupukan keandalan khusus seseorang yang memungkinkannya memiliki kepercayaan diri, daya tahan, daya emban, dan daya saing dalam perjuangan hidup, dengan tetap memiliki sensitivitasnya terhadap nilai-nilai kebudayaan yang baik, benar, dan indah. Pengenalan terhadap kekhasan potensi diri dan komitmennya terhadap kebersamaan nilai-nilai kebudayaan itulah yang menjadi dasar pembentukan karakter. ”Karakter” dalam arti ini adalah kecenderungan psikologis yang membentuk kepribadian moral.

Sementara ke luar, pendidikan harus memberi wahana kepada anak didik untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama melalui olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang jadi lebih baik atau lebih buruk.

Karakter kolektif

Kebudayaan sebagai lingkungan sosial tersebut bisa juga disebut sebagai wahana pembentukan karakter kolektif. Setiap bangsa, seperti ditengarai oleh Otto Bauer, mestinya memperlihatkan suatu ”persamaan (persatuan) karakter”, yang terbentuk karena persatuan pengalaman. Dalam konteks Indonesia, sistem nilai kebudayaan sebagai pembentuk karakter kolektif itu bernama Pancasila.

Dengan kata lain, perilaku manusia adalah fungsi dari karakter personal dan budaya (karakter kolektif). Adapun pendidikan sebagai proses belajar memanusia berfungsi untuk memfasilitasi pengembangan karakter personal dan kebudayaan yang baik, benar, dan indah, sebagai wahana pembentukan bangsa beradab. Itulah landasan gagasan nation and character building.

Usaha mengubah mentalitas bangsa tidak bisa ditempuh secara simsalabim. Misi revolusi mental harus dilakukan secara terencana, bertahap, dan terstruktur, yang secara sinergis mentransformasikan mentalitas-karakter bangsa menuju kemandirian dalam ekonomi, kedaulatan dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Betapapun hal itu merupakan proyek raksasa yang mahaberat, tetapi kita tak boleh kehilangan optimisme. Dengan semangat gotong royong, kita bisa atasi segala rintangan. Bung Karno mengingatkan, ”Dan kita harus sabar, tak boleh bosan, ulet, terus menjalankan perjuangan, terus tahan menderita. Kita harus jantan! Jangan putus asa, jangan kurang tabah, jangan kurang rajin. Ingat, memproklamasikan bangsa adalah gampang, tetapi menyusun negara, mempertahankan negara buat selama-lamanya itu sukar. Hanya rakyat yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana saya sebutkan tadi—rakyat yang ulet, rakyat yang tidak bosanan, rakyat yang tabah, rakyat yang jantan—hanya rakyat yang demikianlah dapat bernegara kekal dan abadi. Siapa yang ingin memiliki mutiara, harus ulet menahan-nahan napas, dan berani terjun menyelami samudra yang sedalam-dalamnya.” []

KOMPAS, 21 Agustus 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar