Selasa, 26 Agustus 2014

Gus Sholah: Keindonesiaan dan Keislaman



Keindonesiaan dan Keislaman
Oleh: Salahuddin Wahid

Upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman dalam perjalanan Republik Indonesia selama 69 tahun menarik untuk dikaji. Sejak dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang berlangsung 28 Mei-22 Agustus 1945, hubungan agama (Islam) dan negara (Indonesia) telah menjadi masalah pelik.

BPUPKI telah merumuskan Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan UUD. Rancangan UUD itu akan disahkan dalam persidangan PPKI. Namun, sehari sebelumnya sekelompok pemuda yang mengaku mewakili umat Kristen dari Indonesia timur mendatangi Bung Hatta dan menyatakan tak akan bergabung dengan Republik Indonesia karena Piagam Jakarta ada kalimat ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Esoknya Bung Hatta mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, KHA Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohamad Hasan untuk membahasnya.

Dengan jiwa besar, rasa tanggung jawab, semangat mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan, mereka berani mencoret tujuh kata Piagam Jakarta sehingga Pembukaan UUD berbunyi dan tertulis seperti sekarang.

Kementerian Agama

Sejarah menunjukkan, penyatuan kekuasaan politik dan agama pada kerajaan di Jawa, khususnya Mataram, bukan hanya terjadi di tingkat pusat, melainkan juga di tingkat bawah.

Salah satu lembaga yang diwarisi dari masa lalu dan tumbuh subur masa penjajahan Belanda adalah kepenghuluan. Tugasnya mengawasi pernikahan, perceraian, dan pembagian warisan menurut hukum Islam. Zaman pendudukan Jepang, dibentuk Shumubu (Kantor Urusan Agama).

Dalam Sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada November 1945, anggota KNI Daerah Banyumas KH Abu Dardiri dkk mengusulkan pembentukan Kementerian Agama. Usul didukung anggota KNIP dan diterima dengan Menteri Agama pertama HM Rasyidi.

Kementerian Agama (Kemenag) menurut saya merupakan konvergensi atau paduan antara keindonesiaan dan keislaman. Pengadilan Agama yang semula berada di Kemenag telah pindah ke dalam lingkungan Mahkamah Agung. Pendidikan Islam berada di bawah Kemenag dan pendidikan umum berada di bawah Kemdikbud. Sayang sekali bahwa Kemenag belakangan ini tercemar akibat (dugaan) korupsi.

Kalau diperbaiki, Kemenag akan menjadi kementerian yang berperan amat strategis. Syaratnya: sang menteri harus bersih dan membersihkan, paham masalah, khususnya posisi agama di mata konstitusi, dan berani.

Perkembangan

Munas Ulama NU pada 1983 mengesahkan Dokumen Hubungan Islam dan Pancasila yang diperkuat dengan Keputusan Muktamar NU 1984. Secara resmi NU menerima Pancasila. Sikap NU itu diikuti oleh PPP dan hampir semua ormas Islam.

Penerimaan Pancasila oleh umat Islam melalui ormas-ormas Islam tak berarti masalah sudah selesai. Masih terdapat perbedaan dalam menafsirkan Pancasila. Salah satunya ialah perbedaan persepsi terhadap HAM.

Perbedaan di dalam kalangan Islam juga tampak dalam menyikapi kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Sebagian ulama mendasarkan sikapnya semata-mata berdasar ajaran agama Islam dan sebagian lain mendasarkan diri pada ketentuan UUD. Pemerintah lamban menghadapi kelompok pelaku kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah atau Syiah.

Kini kita juga melihat perkembangan yang amat berbeda. Muncul keinginan memberlakukan syariat Islam, tetapi tak diuraikan syariat Islam seperti apa yang dimaksud. Juga muncul kelompok yang menginginkan berdirinya negara Islam. Munculnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan ISIS yang membahayakan keberadaan negara Republik Indonesia membuat kita sadar bahwa cukup besar potensi masalah yang bisa mengancam kita.

Dasar negara Pancasila ternyata tak mampu menghasilkan negara yang adil secara hukum dan secara sosial, masih banyak orang miskin dan kekurangan gizi. Masih banyak penduduk yang belum bersekolah. Kekayaan sumber daya alam kita banyak dikuasai pihak asing. Lebih dari lima juta tenaga kerja terpaksa bekerja di luar negeri.

Pancasila itu baru di atas kertas, belum terwujud secara nyata di dalam kehidupan. Itu terjadi karena birokrasi pemerintah dan pejabat banyak yang menyalahgunakan kekuasaan. Hukum belum tegak sehingga penyalahgunaan kekuasaan leluasa.

Tak ada jaminan bahwa mendirikan daulah Islamiyah atau khilafah Islamiyah akan mampu secara langsung mewujudkan negara hukum dan memperbaiki birokrasi pemerintah.

Selama kita belum berhasil menerapkan Pancasila dalam kehidupan nyata, dimulai dari sila keadilan sosial dan sila ketuhanan YME, kita akan terus menghadapi kelompok-kelompok yang beranggapan bahwa Pancasila harus diganti dengan Islam sebagai dasar negara. []

KOMPAS, 16 Agustus 2014
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar