Kamis, 21 Maret 2013

(Ngaji of the Day) Keajaiban itu Bukanlah Barometer


Keajaiban itu Bukanlah Barometer

Oleh: Ahmad Biyadi

 

“Tak semua yang dianugerahi keistimewaan sempurna dalam keikhlasan”

Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari.

 

Alkisah, seorang sahabat Nabi saw bernama Sahal ra pernah berbincang dengan seorang pemuda yang memiliki kekeramatan. Sang pemuda berkata, “Saat aku berwudhu, air wudhu yang jatuh dari anggota tubuhku berubah menjadi untaian emas dan perak.” Mendengar hal itu, Sahal ra pun berkata, “Tidakkah kau lihat, bila seorang anak kecil sedang menangis, dia akan diberi ranting pohon [untuk mainan] agar si anak lupa pada apa yang ia tangisi”

 

Begitulah, kekeramatan dan keajaiban bagi orang-orang saleh yang telah sampai pada tingkatan yang tinggi tak ubahnya sekadar ‘mainan anak’, yang sama sekali tak menjadi tujuan dari ibadahnya. Hanya anak kecil–dalam artian sufis pemula–yang dalam ibadahnya mengharapkan keajaiban-keajaiban. Sedangkan mereka yang telah memiliki kedudukan tinggi di sisi-Nya sama sekali tak terpengaruh oleh karamah dan kejadian luar biasa itu. Pikiran mereka telah terfokus untuk bertakwa dan bermunajat kepada Allah swt dengan ikhlas tanpa mengharap apapun, apalagi perihal duniawi, tentu sama sekali itu tak terlintas dalam hati mereka.

 

Dalam sebuah cerita yang diabadikan dalam al-Quran (Ali Imran[3]: 37), saat Siti Maryam ditanya mengenai makanan “tak biasa” yang selalu ada di hadapannya, ia pun menjawab, “Ini (datang) dari-Nya. Dia memberi rizki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” Itu artinya kekeramatan apapun yang terjadi pada diri seorang wali Allah swt, dia akan mengembalikan kejadian itu pada takdir dan kehendak-Nya. Mereka pasrah apakah Allah swt akan mentakdirkan perilaku ajaib terhadap diri mereka atau tidak.

 

Apa itu Karamah?

 

Tidak semua keajaiban dan kejadian luar biasa dapat disebut karamah. Tidak lantas ada orang bersurban yang dapat terbang kita katakan dia adalah wali Allah swt. Tentu saja, tidak semua yang berkilau adalah emas. Karena orang tak baik sekalipun terkadang juga bisa memiliki kekeramatan dan keajaiban atas kehendak-Nya.

 

Dalam hal ini, setidaknya ada dua hal yang ditetapkan para pakar kapan kejadian luar biasa dapat dikatakan karamah. Pertama, kejadian itu timbul dari orang saleh yang taat terhadap aturan syariat. Kedua, orang saleh tersebut memiliki keyakinan yang benar. Bila kedua syarat itu tak terpenuhi, maka kejadian luar biasa itu diragukan datang sebagai karamah dari Allah swt.

 

Bukan Tolok Ukur

 

Kekeramatan bukanlah tolok ukur dari derajat seseorang di sisi Allah swt. Bukan berarti semakin ajaib seseorang, semakin tinggi pula kedudukannya di sisi Allah swt. Keajaiban-keajaiban yang terjadi tak ubahnya bunga-bunga dalam kehidupan manusia yang sengaja Allah takdirkan atas kehendak-Nya. Kadang bunga tumbuh di tempat indah, kadang pula pohon semak belukar juga memiliki bunga yang berbau semerbak. Andaipun kekeramatan adalah barometer dari kedudukan seseorang di sisi-Nya, maka tentu para sahabatlah yang paling banyak dianugerahi keistimewaan dan keajaiban, karena merekalah umat terbaik yang kedudukannya jauh di atas pangkat para wali. Namun kenyataannya kisah-kisah luar biasa para sahabat justru tak seheboh keajaiban yang terjadi pada orang-orang di masa setelah mereka. Bahkan tak jarang orang yang ketakwaannya belum berada pada derajat tinggi juga diberi kekeramatan.

 

Ada tiga hal mengapa hal itu terjadi. Pertama, sebagai dorongan baginya agar lebih giat beramal baik. Kedua, ujian untuknya apakah dia akan berhenti memperbaiki diri dengan menganggap dirinya telah sampai pada tujuan, ataukah dia justru tak peduli dan kian beribadah. Ketiga, untuk meyakinkan dirinya dan mungkin juga orang lain bahwa dia telah diberi anugerah dan memiliki derajat di sisi Allah swt.

 

Lebih jauh, perilaku ajaib dan aneh terkadang juga bisa terjadi dari orang yang sama sekali tak memiliki kedudukan di sisi-Nya. Bukankah sihir, sulap, hipnotis, dan hal-hal aneh, magis dan luar biasa lain juga keajaiban takdir Allah swt yang justru timbul dari orang-orang tak baik. Itu semua terjadi juga atas kehendak-Nya, baik sebagai istidrâj bagi mereka atau sebagai fitnah bagi orang-orang awam.

 

Itu artinya, kekeramatan tidak bisa diambil sebagai pertanda yang memastikan seseorang tergolong ahli surga. Bahkan bisa jadi orang yang penuh kekeramatan pun bisa jadi mati dalam keadaan sû’ul khâtimah–wa na‘ûdzubillâh, meski hal itu jarang terjadi, misalnya Bal’am bin Ba’ura’, utusan Nabi Musa as kepada Raja Madyan yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah as, akan tetapi pada akhirnya dia mati dalam keadaan tidak membawa iman. Na‘ûdzubillâh.

 

Maka dari itu, para ulama memberikan sebuah kesimpulan bahwa kekeramatan tertinggi sejatinya adalah makrifat dan istikamah dalam ketaatan kepada Allah swt hingga akhir hayat. Semakin taat seseorang kepada Allah swt, semakin tinggi pula derajat dan kedudukannya di sisi-Nya. Dan merekalah orang-orang yang benar-benar beruntung. Semoga kita mendapatkan berkah dari mereka. Amin. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar