Selasa, 26 Maret 2013

Mahfud MD: Konstitusi Vox Populi


Konstitusi Vox Populi

 

Bagaimana menjelaskan drama "dukung-tarik" Partai Demokrat (PD) atas usul Amandemen UUD, Selasa pekan lalu? Tanggal 8 Mei 2007 itu, 23 anggota DPR/MPR dari PD menandatangani dudukungan atas usul Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mengamandemen UUD. Pada hari itu juga, dukungan tersebut dicabut.

 

Begawan konstitusi K.C. Wheare, dalam bukunya, Modern Constitutions, menegaskan bahwa konstitusi adalah resultante atau produk kesepakatan politik yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan situasi tertentu. Ini berarti, isi konstitusi harus selalu sesuai dengan situasi dan kebutuhan masyarakat, karena itu dapat diubah melalui resultante baru jika situasi dan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya berubah.

 

Karena konstitusi merupakan resultante yang dikerjakan melalui proses politik, maka setiap gagasan perubahan atasnya pasti menimbulkan pergulatan politik. Ini dapat menjelaskan mengapa PD melakukan "dukung-tarik" atas gagasan amandemen kelima UUD 1945. Awalnya, elite PD menilai gerakan DPD perlu didukung. Karena ada menuver tandingan, kemudian elite yang lebih elite lagi di PD memerintahkan penarikan dukungan.

 

Drama itu timbul, karena selain harus menjadi muara dari agregasi berbagai tuntutan masyarakat, isi konstitusi juga harus diputuskan sebagai kesepakatan politik. UUD 1945 hasil amandemen sebagai produk resultante awal reformasi sekarang sudah disikapi secara berbeda. Ada yang menghendaki perbaikan kembali melalui amandemen kelima.

 

Ada pula yang menginginkan agar yang ada sekarang dipertahankan. Karena ia merupakan hasil akamodosi dan kompromi maksimal atas berbagai keinginan masyarakat. Serta ada juga hendak kembali ke UUD 1945 yang asli.

 

Perbedaan sikap itu harus dicatat sebagai kemajuan pasca-perubahan konstitusi. Dengan UUD hasil perubahan itu, sekarang kita menjadi lebih demokratis. Siapa pun bebas mempersoalkan konstitusi. Kita boleh berteriak mempertahankannya atau mengusulkan perubahan lanjutan atasnya.

 

Pada masa lalu, kita hanya boleh bersikap satu: mempertahankan dan menyucikan UUD.Harus diakui juga, UUD hasil mandemen ini sudah melahirkan sistem ketatanegaraan yang jauh lebih maju. Checks and balances sudah lebih hidup. Sekarang ini UU sudah benar-benar bisa diuji dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

 

Selain itu, Mahkamah Agung juga sudah banyak membatalkan peraturan perundang-undangan. Badan Pemeriksa Keuangan sudah leluasa memeriksa keuangan negara dan mengumumkan hasilnya secara terbuka. Hak prerogatif presiden banyak yang sudah diimbangi dengan hak konfirmatif DPR dan harus diatur dengan UU.

 

Ketentuan tentang HAM diurai lebih jelas sesuai dengan filosofi bahwa kekuasaan pemerintah merupakan residu HAM. Pemilu dipagari agar berjalan jujur dan adil. Keanggotaan DPD dipilih dengan pemilu langsung. Pengawasan eksternal atas yudikatif dilembagakan dengan pembentukan Komisi Yudisial.

 

Bahwa dalam prakteknya kadang menimbulkan kekisruhan, bukan berarti sistem ketatanegaraan hasil amandemen itu salah. Melainkan lebih merupakan keniscayaan transisional saja.

 

Meski sistem ketatanegaraan sekarang sudah lebih baik, namun kita tak dapat menutup pintu perubahan. Sebab, mungkin saja ada perkembangan situasi dan kebutuhan yang menuntut dibuatnya resultante baru. Mungkin juga ada hal penting yang terlewatkan.

 

Tentang ini dapat dicontohkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) yang mengatur, jika Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap secara bersamaan maka MPR memilih satu dari dua pasangan calon yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang pada pemilu sebelumnya pasangan calonnya menjadi pemenang pertama dan kedua.

 

Masalahnya, bagaimana jika karena pertimbangan politik tertentu, misalnya karena yakin kalah kalau dipilih di MPR, salah satu (gabungan) parpol itu tidak mau mengajukan pasangan calon? Atau, bagaimana jika ada dari gabungan parpol yang berhak mengajukan pasangan baru itu ternyata tak mau lagi bergabung untuk pengajuan pasangan calon baru?

 

Ini adalah materi muatan absolut konstitusi yang tak bisa diatur dengan peraturan perundang-undangan lain. Dinamika politik kita sangat memungkinkan terjadinya Presiden dan Wapres "berhalangan tetap secara bersamaan" itu dan kalau kekosongan pengaturan konstitusi tentang itu dibiarkan bisa terjadi krisis konstitusi dan krisis politik. Maka di mana pun kita memosisikan diri di antara berbagai sikap itu, kita tak boleh bersikap sekan-akan kitalah yang paling benar.

 

Arus demokrasi yang menggumpal dari suara rakyat tak dapat dibendung oleh siapa pun. Jika dibendung dan tidak diagregasi dengan baik, maka demokrasi akan membuat jalannya sendiri, sebab suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Adagium ini tak dapat diartikan, suara rakyat (vox populi) itu identik dengan suara Tuhan, melainkan vox populi yang bersumber dari sanubari rakyat itu akan selalu dimenangkan oleh Tuhan.

 

Orang yang tak memedulikan vox populi akan digilas dan ditertawakan sejarah. Maka tak dapat tidak, kita harus berani membuat konstitusi vox populi. Masalahnya hanyalah, bagaimana kita mengagregasi dan menguji berbagai aspirasi rakyat agar pilihan kita itu benar-benar vox populi. []

 

Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar