Paradoks Pelesetan Hukum
Ada yang mendobrak nurani saat media, Senin
(20/8/2007), memberitakan paradoks nasib koruptor serta penanganan korupsi di
Indonesia dan China. Rubrik Politik dan Hukum harian Kompas edisi hari itu
memberitakan, setelah keluar dari penjara karena korupsi, Mulyana W Kusumah menyatakan
akan kembali aktif di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara pada rubrik
Internasional diberitakan, sampai Agustus 2007 China menangkap 4.866 pejabat
karena korupsi.
Salah seorang yang
dihukum adalah Xu Wenai, seorang jaksa di Provinsi Anhui yang pergi ke
Finlandia menggunakan uang negara dengan undangan palsu. Hebatnya, Juli lalu,
China mengeksekusi mati mantan kepala pengawasan obat dan makanan, Zheng
Xiaoyu, karena terbukti korupsi. Kita mudah menyimpulkan, keberhasilan China
dalam memberantas korupsi karena negara itu bersikap tegas.
Di Indonesia, upaya
pemberantasan korupsi tak efektif karena tak pernah tegas. Jangankan dihukum
mati, yang dijatuhi hukuman penjara pun bisa kabur tanpa ketahuan rimbanya.
Orang yang resmi didakwa korupsi masih bisa tampil perlente dan berorasi di
muka umum tanpa risi. Orang yang telah dihukum pun bisa dengan tanpa beban dan
tidak malu mengatakan akan berkantor lagi di lembaga yang pernah dirusaknya
dengan korupsi. Mengapa budaya hukum tidak mencerminkan budaya adiluhung
seperti yang sering digembar-gemborkan?
Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pernah mengatakan ingin belajar cara memberantas korupsi
kepada China. Padahal, kalau mau, tak perlu lama untuk paham bagaimana China
berhasil memberantas korupsi. Kata kuncinya: konsekuen dan tegas. Namun,
kelihatannya pemerintah tak sungguh-sungguh mau belajar dari China. Jangankan
bersikap tegas, membuat keputusan pemberhentian atas koruptor yang harus
diberhentikan saja lupa.
Buktinya Mulyana
belum diberhentikan dan terus menerima gaji meski sudah divonis pidana dengan
ancaman hukum mati. Untung, meski terlambat, Menhuk dan HAM Andi Mattalatta
menyatakan Mulyana tak bisa lagi kembali ke KPU dan keppres pemberhentiannya
segera dikeluarkan (Kompas, 21/8). Pemberhentian itu sesuai dengan ketentuan
Pasal 18 huruf j dan Pasal 29 Ayat (2) d Undang- Undang No 22/2007. Dalam
berbagai UU lain, sebenarnya sudah lama ada pengaturan seperti itu, misalnya UU
No 22/2003.
Pelesetan hokum
Fenomena Mulyana
sebenarnya merupakan bagian kebiasaan kita bermain pelesetan hukum. Kalau
pelesetan kata dalam ketoprak humor atau dalam parodi Republik Mimpi bisa
menggelikan dan menghibur.
Pelesetan hukum bukan
permainan kata, tetapi pembelokan kasus hukum. Ada kasus terindikasi sebagai
kasus pidana tetapi prosesnya mandek karena diselesaikan secara adat. Korupsi
dana abadi umat yang fantastis berhenti pada penghukuman mantan menteri agama
dan seorang dirjen sebagai tumbal padahal dana itu mengalir ke pejabat,
termasuk pejabat yang minta diumrahkan.
Kasus dana
nonbudgeter DKP berhenti pada Rokhmin Dahuri padahal dana korupsi tersebut
mengait banyak orang yang saat itu sedang menjabat sehingga sebenarnya dapat
diproses secara hukum karena pidana korupsi (juga), pidana gratifikasi, atau
pidana pencucian uang. Ada juga pejabat yang menyalahgunakan wewenang dan
terindikasi melanggar hukum tetapi mengaku tak bersalah. Mereka mau bertahan
pada jabatannya dengan alasan tak ada putusan pengadilan bahwa dirinya
bersalah. Padahal, kita tahu, untuk pejabat tinggi level tertentu aparat
penegak hukum selalu tak berani menyentuh sehingga selama dia menjabat kecil
kemungkinannya disentuh hukum.
Harus diingat,
menurut Tap MPR No VI/MPR/2001 seorang pejabat publik harus berhenti dari
jabatannya jika membuat kebijakan atau melakukan sesuatu yang menimbulkan
keresahan atau sorotan publik. Menurut Tap MPR tentang Etika Kehidupan
Berbangsa, pejabat publik harus mengundurkan diri tanpa harus lebih dulu
terbukti bersalah secara hukum jika membuat policy atau melakukan sesuatu yang
menimbulkan sorotan atau ketidakpercayaan publik. Tap MPR No VI/MPR/2001 itu
menurut Tap MPR No I/MPR/2003 masih berlaku sampai ada UU yang menggantikannya.
Presiden Yudhoyono
pun tampaknya ikut memelesetkan hukum saat pada awal masa jabatannya meminta
para menteri menandatangani surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika
terbukti melanggar hukum. Seharusnya, menurut Tap MPR No VI/MPR/2001, jika
terbukti melanggar hukum dalam kualifikasi tertentu, seorang pejabat publik tak
perlu diminta bersedia mengundurkan diri, tetapi atas nama hukum harus
diberhentikan.
Begitu banyaknya
pemeleset hukum di negara kita sehingga di antara kita pun banyak yang kemudian
menjadi permisif terhadap korupsi sambil berpura-pura arif, mengajak menjadi
pemaaf terhadap para koruptor. []
Moh. Mahfud MD, Ketua
Mahkamah Konstitusi RI
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar