Selasa, 09 Oktober 2012

(Ngaji of the Day) NU dan Fatwa Hukuman Mati Koruptor


NU dan Fatwa Hukuman Mati Koruptor

Oleh Hamidulloh Ibda


Musyawarah Nasional (Munas) alim ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU sangat memberikan sinyal positif terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini. Makin maraknya korupsi di Indonesia telah membuat keprihatinan tersendiri bagi para alim ulama NU. Mereka mengeluarkan fatwa yang berisi rekomendasi “hukuman mati bagi koruptor” yang mengulangi perbuatannya.


Fatwa itu dikeluarkan setelah melalui pembahasan di Komisi A atau Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi’iyah pada hari kedua pelaksanaan Munas alim ulama dan Konbes NU di Pesantren Kempek, Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Kompas, 16/9). Rais Syuriyah PBNU yang juga Ketua Komisi A, KH Syaifuddin Amsir, menyatakan hukuman mati bagi koruptor dijatuhkan sebagai efek jera untuk tidak mengulangi perbuatannya. Ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Artinya, jika fatwa NU masuk akal dan solutif untuk memberantas dan memberikan efek jera bagi koruptor, pemerintah harus mendukung fatwa tersebut.


Fatwa Hukuman Mati


Hukuman mati merupakan sanksi terberat apabila seorang pelaku setelah dijatuhi hukuman berdasar keputusan pengadilan tidak jera dan mengulang perbuatannya. Artinya, masih ada alternatif hukuman lain bagi koruptor yang baru melakukan kejahatan ini satu kali. Namun, dalam hukum Islam, space keringanan bagi koruptor sesungguhnya kecil. Hanya saja, apabila dalam suatu perkara masih ada kesamaran atau keraguan, hukuman dengan cara menghilangkan nyawa seseorang tetap tak dapat dilakukan. Karena itu, dibutuhkan penyelidikan dan penelitian mendalam dari setiap perkara sebagai bentuk kehatihatian.


Akan tetapi, pelaku korupsi secara berulang-ulang, berarti dia telah menimbulkan kerusakan bagi umat. Sehingga, perlu diambil tindakan tegas untuk menghentikannya, dalam hal ini adalah hukuman mati. Mengenai bentuk hukuman mati yang akan dijatuhkan bagi koruptor, bisa menyangkut apa saja. Namun, hukuman mati itu tak dijatuhkan berdasarkan besaran korupsi yang dilakukan seseorang. Jadi, bukan mengukur besaran korupsinya, tapi lebih pada kuantitas koruptor melakukan praktik korupsi.


Hukuman mati memang berbenturan dengan HAM. Namun, dalam tinjauan hukum fikih, hukuman mati dibenarkan. Yang perlu ditekankan, hukuman mati dijatuhkan dengan bertujuan untuk memberi efek jera koruptor. Sedangkan fatwa sifatnya tak memaksa, hanya sebagai tawaran hukum kepada pemerintah. Tidak ada satu ormas pun yang bisa memaksakan fatwa kepada pemerintah. Artinya, fatwa NU ini tak mengikat dan memaksa.


Di sisi lain, PBNU juga sudah meminta kepada Presiden SBY untuk segera menggunakan kewenangannya secara penuh dan tanpa tebang pilih memberantas korupsi. Terutama yang terkait dengan kinerja lembaga-lembaga di bawah kendali SBY secara langsung, seperti kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, masyarakat juga harus berkontribusi aktif dalam upaya “meruntuhkan” budaya korupsi dengan memperkuat sanksi sosial terhadap koruptor. Sanksi sosial yang berat dianggap dapat menimbulkan efek jera serta efek pencegahan bagi tindakan korupsi berikutnya.

 

Apa yang harus Dilakukan?


Sebenarnya, hukuman mati bagi koruptor sudah dinyatakan UU Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 2 ayat 2. UU itu dijabarkan soal aturan hukuman mati bagi tindak korupsi pada saat bencana alam dan krisis ekonomi. Nah, apa yang dinyatakan NU tak bisa dicantumkan dalam UU. Maka, hukuman mati bagi koruptor tak bisa dipaksakan. Hukuman mati itu ada syaratnya, karena jika digeneralisasi akan sulit dan menetaskan polemik.


Perlu diketahui, perilaku koruptif berulang-ulang disebabkan sistem birokrasi dan pengelolaan keuangan negara dan daerah yang buruk, serta tidak adanya transparansi keuangan. Selain itu, sistem politik di Indonesia juga sangat berpotensi menciptakan perilaku koruptif. Padahal, seharusnya sistem-sistem itu perlu diperbaiki dan dibenahi. Jadi, bukan dengan hukuman mati.


Hukuman mati memang kontroversial dan sulit direalisasikan. Sebagian negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati karena berbenturan dengan HAM. Karena itu, pemerintah harus berpikir soal bagaimana menghapus korupsi dengan pembenahan berbagai sistem yang berpotensi koruptif. Masyarakat juga berharap, NU berperan penting dalam pemberantasan korupsi dengan menjadi organisasi yang mampu mencegah. NU harus memberdayakan para cendiakawannya untuk diterjunkan ke masyarakat dalam rangka kampanye antikorupsi.


Perlu diketahui, bahwa hukuman mati bisa menjadi efek jera bagi para koruptor dan orang-orang yang berniat korupsi. Namun, itu harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Hukuman mati diberlakukan ketika korupsi sudah sangat membahayakan eksistensi negara. Sementara itu, korupsi di negeri sudah merajalela dan tak kunjung reda. Lalu, kapan pemerintah serius dan tegas menghukum koruptor? Kapan koruptor akan jera? Sampai kiamatkah? Tentu tidak. Untuk itu, pemerintah, KPK, dan pendekar hukum lainnya harus mendukung fatwa NU dan mengundangkannya. Jika tidak, penulis yakin korupsi akan terus abadi. Itu pasti. Wallahu a’lam.


* Pendiri HI Study Centre Semarang dan Peneliti di Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar