Selasa, 02 Oktober 2012

(Ngaji of the Day) Mendukung Fatwa Haram Money Politic PBNU


Mendukung Fatwa Haram Money Politic PBNU

Oleh: Mokhamad Abdul Aziz


Dewasa ini Pemilu identik memang dengan politik uang. Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa money politic di Indonesia sekarang ini semakin membudaya. Setiap datang pemilihan umum (Pemilu) atau pemilukada, praktik yang termasuk dalam kategori pelanggaran pemilu dan pelakunya diancam sanksi ini kian jelas saja. Hampir menjadi rahasia umum, bahwa kebanyakan rakyat Indonesia telah “menyukai” praktik ini. Baik dari calon peserta pemilu, maupun masyarakat sudah mengenal money politic.


Setelah pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan secara langsung, praktik politik uang menjadi semakin tak terhindarkan. Itu artinya, politik uang akan menjadi ancaman serius dalam Pemilu 2014 yang akan datang. Terlebih, pada Pemilu Gubernur (Pilgub) 2013 mendatang, praktik politik uang akan menjadi “senjata” ampuh bagi calon gubernur. Apalagi, persaingan antarpasangan di kubu partai saja terlihat semakin ketat saja. Sebut saja, persaingan di PDIP saat ini saja sudah menampilkan beberapa figur besar, di antaranya Rustiningsing, Don Murdono, Bibit Waluyo, dan tokoh-tokoh PDIP lain di lingkungan Jawa Tengah.


Melihat persaingan di kubu satu partai saja sangat ketat, apalagi di Pilgub yang sesungguhnya nanti. Pasti akan sangat seru dan menegangkan untuk menunggunya.


Rawan Politik Uang


Dulu, money politic dilakukan pada dini hari sebelum pelaksanaan pemilu, yaitu ketika suasana masih fajar, sehingga sering dinamakan dengan istilah “serangan fajar”. Karena dulu masih ada rasa malu jika ketahuan lawan politik.


Akan tetapi, sekarang praktik kotor ini sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, bahkan sudah membudaya. Hingga akhirnya, acara membagi-bagikan uang sebelum pemilu, dilakukan ketika matahari sudah menampakkan diri. Oleh Karena itu, Dr Mohammad Nasih, seorang pakar Ilmu Politik UI menyebutnya dengan istilah “serangan dhuha”. Karena praktik itu dijalankan pada waktu shalat dhuha, yaitu antara pukul 07.00 sampai sebelum waktu salat zuhur.


Saat ini politik uang memang tidak bisa dikendalikan lagi. Biasanya, setiap calon atau kandidat agar bisa memenangkan pemilihan, maka mereka membentuk tim sukses yang terstuktur, mulai dari level pusat sampai level paling bawah. Tim sukses itu mempunyai tugas untuk mencari pemilih yang pragmatis, sehingga mereka bisa memberikan uang yang sudah disediakan para calon.


Tidak hanya para calon saja yang berniat mempraktikkan money politic, tetapi masyarakat juga menganggap politik uang adalah hal yang sudah biasa terjadi. Bahkan, banyak dari masyarakat yang tidak mau menggunakan hak milihnya, karena belum mendapatkan uang dari calon. Seingga, mereka tidak mau datang ke TPS dan menunggu uang datang ke rumahnya. Kesempatan inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh tim sukses untuk bergerak mendatangi mereka. Dengan tawaran uang yang cukup menggiurkan, masyarakat tidak sadar jika mereka telah terlibat praktik yang melanggar aturan pemilu tersebut.


Praktik money politic dilakukan dalam berbagai bentuk, bisa berupa uang, bahan makanan, pakaian, atau barang-barang yang lainnya. Uang dan bahan-bahan itu menjadi senjata ampuh untuk meruntuhkan mental budak masyarakat Indonesia. Masyarakat tidak sadar jika mereka telah diperbudak oleh uang yang sifatnya hanya jangka pendek. Padahal, sesungguhnya masyarakat memiliki kemerdekaan untuk memilih pemimpin yang akan memimpin mereka sesuai hati nuraninya. Inilah yang seharusnya mulai disadari oleh rakyat Indonesia.


Salah satu yang menyebabkan praktik politik uang semakin marak adalah terlibatnya pihak lain. Dalam kontoks ini, tak hanya kandidat yang maju dalam pemilu saja yang terlibat, tetapi ada para pengusaha yang membantu mendanai kandidat untuk memnangkan Pemilu. Para pengusaha mempunyai orientasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan itu bisa didapat jika kandidat yang dibantu itu menang. Para pengusaga akan mudah mendapatkan akses untuk meraih proyek-proyek pemerintah nantinya. Kedua belah pihak akan berkerja sama untuk mengambil uang negara untuk dibagi dua, yaitu lewat proyek-proyek.


Selain membantu membiayai kandidat yang didukungnya saja. Mereka juga membantu memobilisasi para pemilih agar ikut mendukung calonnya. Dengan begitu peluang untuk memenangkan Pemilu sangat besar kemungkinannya. Tentu kerja sama ini tidak berhenti begitu saja, kerja sama ini akan berlanjut sampai kedua belah pihak mendapatkan keuntungan yang besar dari negara.


Caranya, mereka akan memanfaatkan proyek-proyek yang sudah didesain sedemikian rupa, agar menguntungkan kedua pihak, dengan kata lain adalah “korupsi”. Semakin banyak proyek yang diajukan, maka semakin banyak juga korupsi yang dipraktikkan. Ini berlanjut terus-menerus sehingga membuat lingkaran setan.


Perlu Fatwa Haram Politik uang


Untuk itu, perlu dilakukan langkah konkrit untuk mengentikan praktik politik uang ini. Dalam kontek kekinian, perlu fatwa haram dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengenai praktik money politic ini. MUI yang selama ini selalu menjadi perhatian masyarakat dengan fatwa-fatwanya, pantas mengharamkan praktik politik kotor ini. Sebab, perbuatan ini bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga melibatkan masa depan bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, suatu bangsa jika menginginkan negaranya maju, maka diperlukan pemimpin yang bermental baik, sehingga bisa membuat kebijakan yang pas bagi bangsa kita.


Sepeti telah dijelaskan di atas, mental para pemilih kita sebagian besar adalah mental budak, yaitu mental masyarakat inferior (terbelakang). Masyarakat diperbudak oleh calon yang menawarkan selembar uang saja, tentunya ini sangat memprihatinkan. Suara rakyat yang tadinya sangat berharga, akhirnya hanya dihargai dengan harga yang murah oleh para kandidat. Inilah yang mengubah istilah yang selama ini dieluh-eluhkan, yaitu “suara rakyat adalah suara Tuhan” (fox populi fox dei) menjadi “suara rakyat adalah suara setan” (fox populi fox terena).


Oleh sebab itu, mendukung fatwa haram yang dikeluarkan oleh PBNU sangatlah tepat. Dengan demikian, kemungkinan politik uang akan sedikit terkurang. Hanya perlu keseriusan untuk mewujudkannya. Selain itu, dibutuhkan kerjasama dan sinergi antara pihak satu dengan lain, supaya menghasilkan suatu yang besar.


Untuk melakukan semua itu memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, semua itu bisa terjadi jika diusahakan. Wallahu a’lam bi al-shawab.


* Peraih Beasiswa Sekolah Politik Kebangsaan di Monash Institute Mantan Aktivis IPNU Kota Rembang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar