Dalam kehidupan sehari-hari, jihad di jalan Allah bukanlah prioritas pertama karena ada yang lebih tinggi dan disukai oleh Allah SWT daripada jihad, yakni shalat di awal waktu dan berbakti kepada orang tua. Hal itu dapat kita ketahui dari urutan kalimat atau redaksi dalam sebuah hadits, yakni: 1. الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا (shalat di awal waktu), 2. بِرُّ الْوَالِدَيْنِ (berbakti kepada kedua orang tua), dan 3. الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ (jihad di jalan Allah).
Ketiga hal di atas, yakni shalat di awal waktu, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad di jalan Allah kesemuanya adalah perintah Allah sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an:
1. أَقِمِ الصَّلَاةَ, Tegakkanlah shalat (QS Al-Isra: 78)
2. وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا, Berbaktilah kepada kedua orang tua (QS Al-Isra: 23)
3. وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ الله, Berjihadlah di jalan Allah (QS Al-Baqarah: 218)
Jika kita bandingkan antara berbakti kepada kedua orang tua dengan jihad di jalan Allah maka berbakti kepada kedua orang tua harus lebih didahulukan dari pada jihad karena ia menempati urutan kedua, sedangkan berjihad berada di urutan ketiga. Dari sisi hukum Islam, berbakti kepada kedua orang tua hukumnya fardhu’ain yang berarti mengikat atau berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali.
Sedangkan jihad di jalan Allah, menurut jumhur ulama, hukumnya fardhu kifayah yang berarti jika sudah ada sebagian orang yang melakukannya, maka sebagian yang lain tidak wajib melakukannya sehingga tidak serta merta terkena dosa karena ketidakikutsertaannya. Dalam keadaan tertentu, hukum jihad di jalan Allah bisa berubah menjadi fardhu’ain.
Beberapa tahun terakhir ini, terutama sejak reformasi, beberapa kekerasan atas nama agama terjadi dimana-mana di berbagai daerah di Indonesia. Kekerasan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang terlatih atas nama jihad dengan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah. Pertanyaannya adalah apakah mereka mendapatkan izin dari kedua orang tuanya untuk melakukan kekerasan yang tidak hanya menewaskan orang lain tetapi juga menewaskan diri sendiri tersebut?
Pertanyaan di atas penting untuk dijawab sebab jika tidak mendapatkan izin dari kedua orang tua, maka siapa pun sebetulnya tidak diperbolehkan pergi berjihad. Rasulullah sendiri tidak berani memberangkatkan seseorang untuk pergi berjihad di jalan Allah jika orang tersebut tidak mendapat izin dari orang tuanya.
Padahal jihad yang diserukan Rasulullah adalah jihad yang dijamin bisa dipertanggungjawabkan keabsahan dan kebenarannya di hadapan Allah, dan bukan jihad yang keliru yaitu mencelakai orang dan menyebabkan hilangnya nyawa.
Apakah perjuangan seorang ibu yang sedemikian berat itu boleh diabaikan sang anak begitu saja sehingga ia pergi berjihad tanpa restu atau izinnya? Tentu saja tidak! Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas, Rasulullah memerintahkan agar laki-laki yang hendak ikut berjihad bersama Rasulullah itu supaya pulang menemui kedua orang tuanya untuk berbakti kepada mereka. Rasulullah mengatakan, فَفِيهِمَا فَجَاهِد, “Berjihadlah di sisi keduanya!”. Artinya berbakti kepada kedua orang tua itu juga termasuk jihad di jalan Allah meski tidak secara langsung.
Sejurus untuk jihad menghormati orang tua, hormat kepada guru juga tidak kalah pentingnya bagi seorang pelajar. Yang paling dasar adalah, lewat guru, kita bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Lewat gurulah kita bisa bertanya tentang segala sesuatu yang belum kita ketahui. Guru di sini bukan hanya sosok yang ada di sekolah, tetapi di rumah, pesantren, majelis taklim, musholla, masjid, maupun di tengah masyarakat. Karena setiap orang yang memberikan dan mengajarkan kebaikan, dia tentu layak di sebut guru. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar