Sebaik-baiknya orang belajar ialah yang mempunyai guru. Lalu gurunya itu mempunyai guru lagi dan terus tersambung (wushul) dengan guru-guru lainnya. Itulah yang dinamakan sanad keilmuan. Sanad keilmuan dari guru-guru yang jelas dan berakhlak mulia memastikan ilmu yang kita dapatkan telah melalui proses yang baik dan benar, tidak melalui proses yang instan sehingga ilmu tersebut layak diajarkan kepada orang lain.
Guru dari segala guru adalah Nabi Muhammad SAW, manusia pertama penerima wahyu Allah dari malaikat Jibril untuk manyampaikan risalah Islam. Lalu bagaimana ilmu-ilmu dari Allah diajarkan setelah Rasulullah wafat?
Habib Luthfi dalam bukunya Secercah Tinta: Jalinan Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta (2012) menjelaskan bahwa pesan-pesan atau wahyu-wahyu Allah yang menjadi pedoman bagi umat manusia terangkum dalam Al-Qur’an yang diturunkan secara bertahap selama 22 tahun.
Isi Al-Qur’an sangat sistematis dan detail, serta memiliki manajemen penurunan wahyu yang sangat rapi. Dengan demikian, maka dalam mempelajarinya tidak dapat dilakukan secara instan (tanpa melalui guru dan perangkat-perangkat ilmu), bahkan membutuhkan ketekunan dan waktu yang Panjang.
Rasulullah SAW merupakan satu-satunya sosok yang memahami betul maksud dari setiap huruf, ayat, dan surat yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Penafsir ulung berikutnya yang jelas dapat dijadikan rujukan ialah para sahabat Nabi. Karena mereka merupakan saksi sejarah, bahkan objek pertama dari Al-Qur’an pasca-wafatnya Nabi.
Rujukan berikutnya ialah para ulama yang berguru kepada para sahabat Nabi dan generasi-generasi berikutnya yang secara transmisi (sanad) mereka saling menyambung. Jadi tidak dapat dibenarkan jika ada orang mengatakan kembali pada Al-Qur’an dan Hadits dengan maksud tidak perlu memakai perangkat-perangkat ilmu yang dibakukan oleh para ulama. Baca juga: Cerita Syekh Abdul Qadir Jailani saat Digoda Setan
Perangkat-perangkat ilmu yang dimaksud sejatinya telah dipahami bersama secara kultural oleh masyarakat Arab pada zaman Nabi Muhammad, yaitu Nahwu (gramatika), Sharaf (morfologi), Balaghah (sastra), dan lain-lain meskipun di era Nabi maupun sahabat belum menjadi disiplin ilmu tersendiri. Al-Jurumiyyah, kitab yang diajarkan oleh pondok pesantren yang disusun oleh wali besar Syekh Shonhaji adalah bagian dari upaya awal untuk memahami Al-Qur’an.
Pentingnya ketersambungan sanad ilmu-ilmu agama dari guru-guru yang berakhlak baik, Habib Luthfi menegaskan bahwa menjawab setiap pertanyaan terkait problem-problem agama tidak bisa disandarkan dari pendapat dan pandangan pribadi semata.
Habib Luhtfi menjelaskan, perilaku Nabi Muhammad selalu menjaga perkataan. Hal ini yang menjadi salah satu syarat bagi mereka yang mengeluarkan fatwa maupun melontarkan pendapat dan kata-kata.
Orang yang sering lahn (melakukan kesalahan dalam mengambil hukum) termasuk tidak boleh mengeluarkan fatwa. Lahn di sini tidak hanya mempunyai arti salah mengucapkan kata-kata, tetapi juga menjawab sesuatu, padahal dia sendiri tidak tahu jawabannya atau tidak mantap.
Semisal ada yang bertanya tentang hukum dan jawabannya ‘menurut pendapat saya begini’, itu termasuk lahn. “Menjawab hukum kok ‘menurut saya’,” jelas Habib Luhtfi (2012: 56). Fatalnya pendapat pribadi dalam pengambilan sebuah hukum biasanya hanya mengedepankan hawa nafsu tanpa ilmu.
Bersyukurlah seseorang yang mempunyai garis dan sanad keilmuan jelas dari guru-guru yang baik dan berakhlak mulia. Apalagi yang ilmunya menyambung hingga Nabi Muhammad. Karena Allah menghendaki Nabi Muhammad menjadi hambanya yang terpilih dan menjadi yang terdepan dari nabi-nabi.
Rasulullah juga merupakan sosok ma’shum (terpelihara dari dosa), tidak pernah lahn, yaitu melakukan kesalahan di dalam menerapkan hukum, baik dalam berdakwah maupun di dalam canda dan gurauannya. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar