Rabu, 04 Januari 2012

(Ngaji of the Day) Nahdlatul Islam Indonesia

Nahdlatul Islam Indonesia
Oleh: Dedy Mardiansyah Harby*

Aktifitas yang mengitari peristiwa 10 November 1945 tentu saja merupakan sebuah rangkaian. Tidak berdiri sendiri. Baik secara gagasan pemikiran maupun gerakan lapangan. Begitu juga dengan keterlibatan komunitas santri. Kelompok yang kala itu identik dengan pesantren, kiai, pembelajaran referensi agama Islam (yang terdokumentasikan dalam kitab kuning dan juga putih), surau (langgar atau masjid) dan asrama (pemondokan).

Demikianlah. Kenyataan kembalinya tentara Kerajaan Belanda (NICA) ke Indonesia, dengan membonceng pasukan sekutu pasca kekalahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, membuat warga bangsa ini menjadi waspada. Apalagi mengingat pendapatan yang melimpah ruah dari hasil bumi dan hasil kerja sumber daya Indonesia yang selama ini telah dinikmati oleh para penjajah (kolonialis). Ditambah gelagat para serdadu Belanda, karena tak rela Indonesia bekas jajahan negaranya lepas begitu saja, yang suka sesumbar dan berbuat semena-mena serta kerap menjarah.

Jihad Kebangsaan

Tak hanya dwi tunggal Soekarno-Hatta dan para pimpinan nasional serta elemen bangsa lainnya yang gregetan, waspada dan melakukan gerakan. Kelompok santri yang diimami atau dikomandoi para kiai pun demikian. Tidak hanya memberikan taushiyah (wejangan dan arahan) bagi para pimpinan baik nasional maupun lokal. Tetapi juga melakukan praksis lapangan. Mulai dari memanjatkan dzikir dan do'a perjuangan (istighotsah yang kemudian menjadi bagian ritual dan tradisi dalam komunitas ini) di langgar atau masjid pesantren dan desa yang otomatis menjadikan upaya sosialisasi gerakan perjuangan lebih massif dan efektif, melatih dan menyiapkan kelompok santri sebagai bagian laskar sukarelawan pejuang rakyat serta puncaknya mengeluarkan pernyataan sikap para kiai selaku elit kelompok santri dan pimpinan umat terkait situasi kontemporer. Pernyataan itu dikenal dengan Resolusi Jihad yang dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945.

Ya, Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, pemimpin besar elit santri kala itu yang tak lain ayah dari KH Abdul Wahid, Menteri Agama RI pertama, dan kakek dari Abdurrahman (Gus Dur), Presiden RI keempat, atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, organisasi afiliasi terbesar komunitas santri Indonesia itu disampaikan dengan bahasa Arab sebagai strategi menghindar dari pengawasan Belanda.

Itulah yang kemudian memantik semangat perjuangan kaum santri untuk berbuat lebih demi tanah air tercinta. Melakukan gerakan perlawanan nyata, bersama elemen lainnya, hingga membuat Surabaya, yang boleh dibilang pusat aktifitas atau "ibukota republik" santri Indonesia, jadi membara. Pergerakan 10 November 1945 yang diwarnai insiden Hotel Orange dan insiden baku tembak lainnya serta orasi langsung yang berisi pesan moral perjuangan kepada Arek-arek Suroboyo dan pekik nyaring Allaahu Akbar yang digelorakan oleh Bung Tomo melalui corong radio.

Bentrok fisik yang tak terhindarkan itu menelan korban yang cukup banyak terutama di pihak Indonesia. Catatan yang ada menyebutkan setidaknya 6.000 hingga 16.000 orang korban tewas. Baik dari warga sipil maupun dari tentara Republik Indonesia. Dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Sementara korban tewas dari pasukan sekutu dan Belanda yang dibantu India kira-kira sejumlah 600 orang.

Pertempuran yang telah memakan ribuan korban jiwa itu disebut juga pertempuran fisik terbesar melawan penjajah pasca merdeka dan telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia demi mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada peristiwa ini membuat tanggal kejadiannya dikenal oleh Republik Indonesia hingga sekarang sebagai Hari Pahlawan.

Ranah Kejuangan Santri

Peristiwa 10 November 1945 hanyalah satu cuplikan dari etos kejuangan kaum santri. Masih banyak peristiwa dan moment yang menjadi tautan sejarah dimana kaum santri menjadikan bangsa dan negara ini sebagai medan juang. Bahkan kehadiran pesantren di Nusantara, sejak zaman Wali Songo yang kurang lebih lima sampai sepuluh abad lebih, tak ayal adalah untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang berbudi luhur, cerdas dan berkualitas serta khas Indonesia.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sama atau tidakkah medan juang santri masa lalu dengan masa kini dan nanti? Bagaimana kiat komunitas santri dalam memaknai, menjalani dan mengembangkan kiprah pengabdiannya terhadap bangsa? Apakah sama dengan yang dilakukan oleh generasi Wali Songo atau generasi Bung Tomo?

Prinsipnya, santri adalah sekelompok orang yang dengan perantaraan bimbingan dan keteladanan tokoh kiai melakukan aktifitas pendalaman dan penguasaan agama dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya (tafaqquh fii al diin). Ini bersumber dari salah satu ayat Qur'an yang mengarahkan agar tersedia sekelompok orang atau komunitas (thaa'ifah) dalam kaum muslimin yang tidak ikut terlibat berjuang melawan musuh-musuh Allah. Akan tetapi mengkonsentrasikan diri mereka dalam aktifitas akademik keilmuan guna menyiapkan tenaga-tenaga inti penjaga stabilitas dan kualitas moral kultural dan intelektual masyarakatnya.

Pada titik ini, perjuangan santri adalah berproses untuk menjadi pribadi suci dan mumpuni yang suatu saat tampil sebagai kiai atau elit agama yang mampu membina, membimbing dan melayani umat agar senantiasa berada dalam koridor kerelaan Allah SWT. Karenanya, medan juang santri pada titik ini adalah medan juang yang sakral dan terbatas yaitu ranah moral intelektual dan akademik keilmuan serta lingkungan almamater yang digeluti dan dinaunginya.

Realitanya, kiai, sebagai elit santri, tidak berada dalam ruang yang hampa. Yang berarti bahwa sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap penyuluhan moral dan intelektual masyarakat memberikan konsekuensi berupa tuntutan untuk memahami situasi dan kondisi yang tercipta di masyarakatnya secara menyeluruh. Tak jarang, tuntutan itu berubah menjadi tekanan kepada kiai untuk terlibat langsung di lapangan. Dimana untuk itu kiai kerap menunjuk santri atau muridnya guna menjadi badal atau pengganti dirinya apakah untuk meneruskan pengabdiannya di dalam pesantren melalui pembelajaran kitab kuning atau untuk melakukan pengabdiannya di luar pesantren melalui pendampingan masyarakat.

Di sini, medan juang santri yang diawali oleh persinggungan elitnya, sang kiai, adalah medan yang profan dan luas. Melampaui ranah moral dan intelektual. Yaitu realitas sosial yang terhampar sedemikian luas. Dari sini kemudian sejarah aktivisme komunitas santri dalam pergolakan kebangsaan bermula. Mulai dari mengajarkan tata hidup sehat dan tercerahkan menurut pandangan agama Islam baik aspek kepercayaan, ekonomi, sosial, seni budaya hingga aspek politik. Sejak dari masa Raden Fatah dan Pendirian Negara Kerajaan Demak atau jauh sebelumnya.

Dalam konteks pendirian republik inipun demikian. Siapa yang kira bahwa seorang sekaliber Ibrahim Datuk Tan Malaka yang mengonsep Republik Indonesia dengan bukunya Naar de Republiek Indonesia plus buku opus magnumnya "Madilog" dan telah menjelajahi 2 benua dan 11 negara setara dengan jarak tempuh 2 kali mengelilingi bumi ini adalah seorang santri yang hafal Al Qur'an dan merupakan produk pendidikan model Surau (pesantren di Minangkabau). Tak hanya itu, nilai-nilai Qur'an seperti merdeka dari rasa takut dan merdeka dari hasrat ingin menguasai pihak atau bangsa lain, musyawarah dan kemandirian diejawantahkan olehnya dengan apik. Karena kematangan religiositasnya pula, ia mampu menundukkan ideologi sosialisme bahkan komunisme sebagai alat perjuangan yang membuatnya disebut oleh Soekarno, Presiden RI Pertama, sebagai sosok revolusioner yang paling mahir dalam revolusi lewat teori dan praktek Gerilya-Politik-Ekonomi (Gerpolek)-nya.

Strategi perjuangan dan peperangan gerilya itu pula yang di tangan seorang Soedirman, Jenderal Besar Bapak Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang juga berlatar belakang santri menjadi berkembang. Dengan kebersahajaan khas wong ndeso (karena tidak mengenyam pendidikan tinggi seperti tokoh-tokoh pemimpin pergerakan nasional kebanyakan), kader dan guru Muhammadiyah ini rela keluar masuk hutan demi menunjukkan kekuatan fisik maha dahsyat revolusi Indonesia. Senafas dengan Tan Malaka, santri yang juga cenderung sosialis dan menolak berunding dengan penjajah ini menginginkan Indonesia Merdeka seratus persen.

Negara 'ala NU dan Muhammadiyah

Negara dalam konsep Tan Malaka, Bapak Pendiri Republik ini, adalah negara efisien dan fungsional yang dikelola oleh sebuah organisasi. Di dalamnya terdapat fungsi perencanaan (legislatif), pelaksanaan (eksekutif) dan pengawasan (yudikatif) (Hasan Nasbi dalam Seri Buku Tempo : Tan Malaka, 2010 : 155).

Tidak seperti negara demokrasi parlementer yang mengharuskan adanya partai politik dan negara dengan trias politikanya. Praktek negara model Montesqiu ini cenderung mewajarkan tindakan hegemoni dan penindasan sekelompok kecil (elit) terhadap kelompok besar (kawula alit). Sekarang, logika demokrasi seperti itu merajalela dan telah menghantam setiap lini kearifan bangsa. Praktek money politic dan memilih kucing dalam karung dalam pentas suksesi lokal maupun nasional telah menjadi bagian paling subur yang menyebabkan salah urus dan situasi carut marut. Sebab, kekuasaan telah menjadi rebutan.

Dalam konteks Negara Mashlahah, yang dikelola dari rakyat adalah kepercayaan (amanat) bukan kekuasaan. Sehingga mereka yang terlibat di dalamnya secara sukarela menjalankan mandat rakyat demi tercapainya nilai-nilai kebaikan (maslahat) secara maksimal dan seluas-luasnya. Sedikit sekali celah atau tindakan yang dekonstruktif dan kontra produktif karena yang berlangsung adalah optimalisasi nilai-nilai luhur.

Praktek pengelolaan mandat dan kepercayaan model inilah yang telah diterapkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang tak lain merupakan representasi komunitas terbesar di republik ini. Keduanya adalah organisasi masyarakat (ormas) keagamaan mayoritas di nusantara bahkan dunia. Pada kedua ormas santri (satu identik dengan basis desa sementara yang satunya identik dengan basis kota) ini praktek pengelolaan amanat kepercayaan publik yang efisien dan fungsional, sebagaimana diinginkan Bapak Republik ini, berlangsung memadai.

Lihatlah di NU, tradisi pemilihan kepemimpinan tidak berangkat dari pemilihan langsung yang menggunakan tim sukses demi mendulang suara layaknya partai politik, tetapi melalui ijma' atau kesepakatan para tokoh yang kredibilitasnya dan kualitas ketokohannya di atas rata yang berlandaskan prinsip tawadhu', rendah hati dan kebersahajaan. Dari proses ini lahirlah pemimpin aspiratif (rais syuriyah) yang berikut jajarannya menjalankan fungsi badan kehormatan dan pengawasan plus pengadilan. Sementara untuk pelaksana, Rais Syuriyah menunjuk seseorang yang telah diajukan publik untuk menjadi pemimpin eksekutif (ketua tanfidziyah) yang dengan gerbongnya menjalankan semua program yang telah digariskan dalam pertemuan massal (kongres atau muktamar).

Pun demikian di Muhammadiyah, muktamarnya berlangsung untuk memilih pemimpin aspiratif (tim formatur yang terdiri dari 13 orang dengan kualifikasi terstandar dan memiliki kapabilitas dan kualitas ketokohan di atas rata-rata). Beda sedikit dengan NU, pemimpin eksekutif dipilih oleh dan dari Tim 13 tersebut. Meski demikian, pembagian fungsi dan wewenang berdasarkan prinsip yang sama yaitu musyawarah dan persaudaraan.

Tak heran jika kemudian pada praktek kenegaraan dan kebangsaan NU dan Muhammadiyah dapat berperan begitu aktif dan produktif. Kader dan warga kedua ormaspun menjadi bagian perhatian. Namun, sayang, porsinya masih minim sekali dan juga relatif singkat, seperti momentum dipilihnya Gus Dur (mantan Ketua Umum Pengurus Besar NU), M. Amin Rais (mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah) dan Akbar Tanjung (mantan Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam) sebagai Presiden, Ketua MPR dan Ketua DPR di awal Orde Reformasi.

Jika pola tata kelola amanat dan kepercayaan publik model NU dan Muhammadiyah ini yang diterapkan dalam tatakelola Negara Kesatuan Republik Indonesia, kebijakan umum yang mampu mendatangkan kemaslahatan nasional secara maksimal insya Allah akan dapat terpenuhi.

Agenda Khilafah Mashlahah

Tempat agama adalah dalam pencarian batas-batas kepantasan hidup bagi sebuah bangsa. Demikian ungkapan terkenal "Wali" Pribumisasi Islam Indonesia, Gus Dur. Sebangun dengan Nurcholis Madjid, A. Syafi'i Ma'arif dan Emha Ainun Nadjib dan bahkan YB. Mangunwijaya, pemikir-pemikir Indonesia kontemporer yang semakin mematangkan rumusan kepribadian bangsa Indonesia secara idelogis dan teologis.

Teologi Kebangsaan Indonesia yang disarikan lewat Pancasila sebagaimana yang telah diformulasi sejak zaman Sunan Kalijaga, Tan Malaka hingga Indonesia Merdeka lewat tangan mereka telah memungkinkan bangsa Indonesia untuk menatap sebuah masa depan, yang dalam bentuknya yang unik, sangat menjanjikan. Masa depan yang sangat jauh dari mainstream atau arus utama pemerhati kajian rekayasa masa depan (futurolog).

Dengan bekal kekayaan sejarah masa lalu dalam pembentukan sebuah bangsa, penghayatan dinamika lokal, nasional, regional dan global masa kini dan tanggung jawab akan kemaslahatan hidup generasi esok hari, bangsa Indonesia kini mulai menyadari akan pentingnya proses mentransformasi diri menjadi masyarakat santri atau madani.

Proses kebangkitan nasional kembali yang terjadi di Indonesia itu sangat mungkin melampaui pencapaian Malaysia, India, Jepang, China bahkan Amerika Serikat. Bukan karena keajaiban atau doa leluhur semata, tetapi karena pembelajaran pahit-manis yang telah diberikan oleh negara-negara dan bangsa-bangsa di atas itu kepada Indonesia baik sengaja atau tidak. Dimana letak geografis Indonesia yang sangat strategis telah menyuburkan cara berpikir model Gado-gado pada bangsa ini untuk secara kreatif mengolah hal-hal yang tampaknya telah menjadi sampah dari peradaban dunia yang melintasinya dan merubahnya menjadi kembali berguna.

Praktek salah urus yang melanda negeri ini tentu pada saatnya akan sampai pada titik kulminasi. Ledakan emosi sekaligus inspirasi yang menginginkan perbaikan di seluruh lini tanpa terkecuali pada saatnya akan melibatkan dan mendudukkan para santri sebagai pengendali. Kenapa, karena pada titik ini perbaikan yang diinginkan bukanlah model anarki tetapi model santri yang manusiawi dan indonesiawi. Jauh dari tindak kekerasan dan pelanggaran nilai kemanusiaan tetapi tetap tegas sesuai batasan yang diperlukan.

Khilafah pada saatnya dikembangkan tetapi tentu bukan khilafah untuk mendirikan negara dalam negara (Syariat atau Negara Islam). Bukan pula yang membolehkan aksi pengeboman yang justru kontraproduktif dan jauh dari nilai kemaslahatan dan kemanusiaan. Khilafah dalam konteks generasi muslim yang indonesiawi atau madani ini adalah tata kelola lingkungan yang efisien, fungsional dan produktif dengan orientasi berkah dan maslahah. Di sinilah kita temui pembenaran tesis Cak Nur tentang ledakan santri yang berhasil menjadi profesional, pengusaha, dokter, artis, teknisi, sutradara dan produser film, penulis, pekerja dan pemilik media dan lain-lain. Dengan keteladanan dan kearifan, menjalankan misi para kiai yang tak lain adalah penerus tugas para nabi. Di sinilah Kebangkitan Islam Indonesia atau Nahdlatul Islam Indonesia itu terjadi. Selamat berkembang generasi santri, selamat memperbaiki dan membangkitkan negeri ini!

* Mantan jurnalis Bengkulu Ekpress, tengah studi di PPS. IAIN Raden Fatah Palembang dan mengabdi di PP. Nurul Huda Sukaraja serta Sekum MUI OKU Timur, Sumatera Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar