Rabu, 18 Januari 2012

(Ngaji of the Day) Demokrasi Pemerintahan Islami

Demokrasi Pemerintahan Islami
Oleh: Rangga Sa’adillah, S.A.P.*

Demokrasi secara etimologis berarti “pemerintahan oleh rakyat” dan ini membedakannya dari pola pemeritahan apapun yang legitimasinya tidak berasal dari pilihan rakyat. Abraham Lincoln mendefiniskan demokrasi “pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Dari definisi ini diantara kelompok Islam ada yang mengkontroversikannya bila dipraktekkan dalam kenegaraan atau urusan siyasah. Sahkah sistem demokrasi yang mengadopsi pemikiran dari Barat atau sebut saja mereka mengatakan sistem ini “kafir”. Apalagi penisbatan hukumnya yang dinisbatkan pada manusia. Mereka mengatakan manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan akalnya terbatas mengapa sistem yang jelas-jelas terbatas ini digunakan dalam negara atau bahkan menjadi dasar negara? Demikianlah pertanyaan serta permasalah yang tiada hentinya menyudutkan demokrasi.

Karakteristik Demokrasi

Mari kita coba untuk mencari apa sebenarnya demokrasi itu. Sadek Jawel Sulaiman memberikan karakteristik sistem demokrasi. Pertama, kebebasan berbicara. Faktor ini dapat terwujud dengan jalan warga negara dapat menyatakan pendapat-pendapat mereka secara terbuka mengenai persoalan-persoalan publik tanpa dihantui rasa takut, baik pendapat yang berupa kritik maupun dukungan terhadap pemerintah.

Kedua Sistem pemerintahan yang bebas. Faktor ini menurut rakyat secara teratur, menurut prosedur-prosedur konstitusional yang benar, memilih orang-orang yang mereka percayai untk menangani urusan-urusan pemerintahan.

Ketiga Pengakuan terhadap pemerintahan mayoritas dan hak-hak minoritas. Dalam sistem yang demokratis, keputusan-keputusan yang dibuat oleh mayoritas didasarkan pada keyakinan umum bahwa keputusan mayoritas lebih memungkinkan untuk benar daripada keputusan minoritas. Akan tetapi, keputusan mayoritas tidak juga berarti memberikan kebebasan pada mereka untuk bertindak sesuka hati.

Selanjutnya adalah otoritas konstitusional. Merupakan otoritas tertinggi bagi validitas setiap undang-undang dan aturan pelaksanaan apapun. Otoritas konstitusional berarti supremasi aturan hukum, bukan aturan-aturan individual, dalam setiap upaya pemecahan berbagai masalah publik.

Dari karakteristik tersebut kiranya bisa diterima bahwa pada akhirnya demokrasi mengandaikan adanya suatu kesetaraan atau keseimbangan politis. Itu berarti setiap elemen masyarakat memiliki kesempatan dan kemampuan yang relatif seimbang untuk memperjuangkan kepentingan politis berdasarkan garis perjuangannya masing-masing. Sekarang permasalahannya pada Islam, apakah Islam membicarakan demokrasi secara eksplisit dari dua sumber otoritatifnya (Qur’an dan Hadits)?. Tentu saja secara istilah yang eksplisit tidak ada dalam sumber otoritatif Islam yang membicarakan demokrasi. Berkaitan dengan sistem kepemerintahan atau sistem siyasah, dalam bernegara Islam memperjuangkan kesetaraan. Kalau memang Islam memperjuangkan kesetaraan berarti ini dapat ditarik sebuah benang merah yang menghubungkan perjuangan Islam dalam siyasah dengan sistem demokrasi dalam bernegara.

Kaidah-Kaidah Demokrasi dalam Islam

Kaidah-kaidah kepemerintahan dalam Islam mengidealkan prinsip kesetaraan. Bila ditarik dalam Islam prinsip kesetaraan adalah sebuah misi yang tak terelakkan lagi. Misalnya pada QS. Al-Hujurat: 13 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Kaidah yang kedua adalah bermusyawarah pada QS. Al-Syura: 38 “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”

Sementara prinsip musyawarah ini diperkuat dengan sumber sekunder syariah, yaitu sunnah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sendiri. Afan Ghaffar mengatakan:

“Adapun Beliau (Nabi) bermusyawarah dengan mereka (para sahabat) dalam suatu perkara yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an, dan yang Nabi sendiri tidak mendapat perintah (langsung) dari Allah, maka hak mereka (para sahabat) itu untuk memberi pendapat dan juga untuk mengajukan usul di luar hal yang Nabi sendiri telah pasti akan melakukannnya. Contohnya ketika Nabi menempatkan (pasukan) sahabat Beliau pada suatu posisi sewaktu perang Badr, kemudian al-Hubaib ibn al-Mundir ibn al-Jamuh bertanya, “ini perintah yang diturunkan oleh Allah kepada Engkau ataukah pendapat dan musyawarah?”. Nabi menjawab, “ini hanyalah pendapat dan musyawarah.” Maka dia (al-Hubaib) menyarankan Nabi posisi lain yang lebih cocok untuk kaum Muslim, dan Beliau menerima saran ini.

Kaidah berikutnya adalah ta’awun. Yang dimaksud dengan ta’awun yakni menyatakan adanya tuntutan untuk kerjasama demi kepentingan Tuhan dan kepentingan manusia sendiri. Sama halnya dalam nilai-nilai demokrasi yakni menekankan kerjasama dan saling tolong menolong.

Kaidah demokrasi yang terakhir adalah taghyir (perubahan). Kaidah ini menyatakan bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan hidupnya. Demokrasi menuntut suatu perubahan yang memang sejalan dengan perkembangan kesadaran manusia yang selalu ingin mengadakan perbaikan. Seperti halnya yang digariskan dalam al-Qur’an. Dalam artian Allah mendukung peran manusia dalam berproses untuk berubah mulai dari tahap ke tahap, bagaimanapun perubahan itu akan berlangsung.

Tentu saja sekali lagi dari sekian sumber syariah tidak ada satu pun yang menyebutkan demokrasi. Namun dalam batas tertentu sumber otentik dalam islam berkenaan dengan siyasah sungguh compatible dengan demokrasi. Sehingga perlu diakui terdapat pola hubungan sub-ordinatif dalam paradigma Islam. Pola hubungan sub-ordinatif menempatkan Islam sebagai substansi mutlak sedangkan bentuk negara menjadi relatif. Dihadapan negara, Islam bersifat mutlak dalam artian negara dapat menjadi ekspresi nilai-nilai perenial Islam. Dari pola hubungan demikian dimengerti bahwa Islam menjadi sebuah tujuan, sedangkan negara hanyalah sebuah instrumen saja betapapun itu bentuknya.

*Pengamat Islam Radikal, Pengurus Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar