Senin, 16 Januari 2012

(Buku of the Day) Rahasia Kenikmatan Beribadah

Shalat, dari Bosan menuju Nikmat
031.jpg
Judul buku : Rahasia Kenikmatan Beribadah
Penulis : Badiuzzaman Said Nursi
Penerjemah : Fauzi Bahreisy
Penerbit : Zaman, Jakarta
Cetakan : I, 2011
Tebal : 129 halaman
Peresensi : Muhammad Itsbatun Najih

Di tengah kehidupan materialistik seperti sekarang ini, urusan ukhrawi dipandang menjemukan. Apalagi bila agama dirasa tidak memberi efek langsung pada pengikutnya. Berbeda misal ketika bekerja; pagi berangkat ke kantor, pabrik, pasar dsb, pastilah setidak-tidaknya akan memperoleh hasil (baik sedikit atau banyak). Tapi, hal yang sama tidak dijumpai ketika misal dalam ritual peribadatan. Shalat; sebagai tiang agama dan janji dalam nash firman Tuhan bahwa siapa saja yang menunaikannya akan menjadi tameng melakukan perbuatan keji dan munkar. Tapi toh, sekali lagi, justru ada kesan bahwa menunaikan shalat atau tidak menjalankannya, hasilnya sama saja.

Shalat dianggap sebagai penggugur kewajiban agama semata, tidak ada penghayatan atasnya. Maka, wajar saja jika shalat tidak membuahkan perilaku yang santun dan bermoral. Tetapi, akan semakin meneguhkan anggapan bahwa jika ritual ibadah jika dijalankan ‘asal-asalan’, maka akan menghasilkan pribadi yang ‘sama saja’. Taka ada bekas atau labet (Jawa) yang dihasilkan setelah beribadah.

Hal itu setidaknya tercermin pada maraknya kasus korupsi di negeri ini. Hari demi hari, tak henti-hentinya berita kasus korupsi baru bermunculan. Mulai dari kelas elite sampai kaum alit. Toh, pelakunya adalah orang yang mengaku beragama. Artinya, ritual ibadah seperti shalat tentu menjadi rutinitas kesehariannya. Namun, sekali lagi ternyata dalam kasus tersebut, shalat terkesan tidak ada efek baiknya, justru terkesan sebaliknya.

Selain itu, shalat yang secara terus-menerus dikerjakan dari usia balig sampai akhir hayat, kadang-kadang timbul dari sanubari manusia akan rasa kebosanan untuk menjalaninya. Rasa bosan itu selalu timbul ketika waktu shalat tiba. Atau setidak-tidaknya timbul rasa malas yang membuncah dalam diri manusia. Apalagi, waktu antara shalat satu dengan yang lain cukup berdekatan. Bayangkan saja, dalam sehari ada lima waktu shalat. Dimulai subuh; di mana kebanyakan manusia sedang asyik-asyiknya menikmati waktu tidur. Zuhur; di mana pekerjaan masih banyak dan menumpuk sehingga shalat terus ditunda-tunda pelaksanaannya. Demikian juga ashar. Sedangkan maghrib dan isya’ merupakan waktunya bercengkrama dengan keluarga dan melepas lelah.

Narasi di atas rasanya benar demikian jika alur berpikir seperti itu telah dicampuri oleh kepentingan nafsu. Namun, justru di waktu-waktu itulah, Allah SWT sebenarnya menyimpan hikmah yang besar bagi yang mau merenung. Allah tidak akan memperberat mahluk-Nya dengan kewajiban shalat yang waktunya berdekatan dan dianggap sebagian manusia telah menghambat aktivitas keduniaan. Persoalan itu rupanya telah dijawab secara apik oleh penulis buku ini, Badiuzzaman Said Nursi perihal hikmah waktu shalat. Waktu isya’, misalnya, diibaratkan sebagai manifestasi akhir perjalanan manusia di dunia yang singkat sebagai representasi dari seharian bekerja yang juga dirasa terlalu cepat berlalu. Jadi, pesan yang ingin disampaikan tak lain adalah manusia tak akan abadi untuk terus disibukkan dengan bekerja, bergaul dengan handai tolan ataupun soal beristirahat. Namun, shalat yang ‘hanya’ meluangkan waktu tak lebih beberapa menit saja justru menjadi bekal untuk mengarungi keabadian manusia di akhirat kelak.

Badiuzzaman juga menyodorkan rahasia agar shalat tak dirasa membosankan karena terus-menerus diulang setiap hari; yakni, pertama, usia manusia tak ada yang tahu kapan habisnya. Ajal tiba adalah perkara gaib dan hanya Allah saja yang mengetahuinya. Boleh jadi tahun depan, bulan depan atau esok hari, usia ini akan berakhir. Jadi, berpikirlah jika shalat yang akan dilaksanakan merupakan shalat untuk terakhir kalinya. Kedua, setiap hari manusia selalu membutuhkan asupan makanan. Pagi dengan sarapan roti, kemudian siang dengan menyantap nasi dan lauk pauknya, malam pun masih meluangkan waktu untuk kebutuhan perut. Artinya, secara tidak sadar maupun sadar, makan dan minum merupakan pekerjaan yang sama namun diulang-ulang terus-menerus tanpa rasa bosan. Nah, agar shalat tidak dirasa demikian, maka shalat harus dijadikan sebagai kebutuhan ruhani atau jiwa yang harus dipenuhi pula setiap hari layaknya makan sebagai kebutuhan perut.

Ketiga, dengan kesabaran. Sekali lagi, umur manusia tidaklah terlalu panjang. Namun, balasan Allah berupa kenikmatan di akhirat tidak mengenal batas waktu. Artinya, shalat yang hanya dilakukan beberapa tahun rasanya tidak sebanding jika diganjar dengan surga yang abadi. Namun, itulah kemurahan Allah. Keempat, soal janji Allah yang sifatnya pasti. Jika seorang akan memberikan upah tinggi kepada kita untuk bekerja selama seminggu saja, maka praktis pekerjaan itu akan dilaksanakan secara sunguh-sungguh dan maksimal walau kemungkinan dia akan memungkirinya sangat besar. Tapi jika yang berjanji adalah Allah, maka jaminan diganjar dengan surga tak perlu lagi diragukan. Maka, analoginya mendirikan shalat haruslah dengan giat dan bersungguh-sungguh pula. Kelima, pada hakikatnya manusia diciptakan untuk beribadah. Jadi tidak pas rasanya jika seluruh waktu hidup manusia digunakan untuk bekerja dan bekerja. Tentunya ada ruang tersendiri untuk meluangkan waktu menyiapkan bekal (shalat) pada kehidupan akhirat kelak.

Rasanya jika lima resep di atas bisa diresapi dan dihayati, maka shalat tidak akan menjadi bosan dan menjemukan. Justru akan memunculkan gairah dan semangat yang menggebu-gebu untuk menunaikannya. Shalat tidak sekadar ibadah vertikal, namun menyimpan relasi horizontal. Maka, jika shalatnya berangkat atas dasar keikhlasan serta kepasrahan total tanpa paksaan pastinya akan berimbas pada tumbuhnya perilaku yang santun dan bermartabat. Itulah intisari dari buku yang bisa dibilang tipis ini, namun kaya akan pencerahan.

* Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar