Jumat, 23 September 2011

(Ngaji of the Day) Disiplin Keilmuan Islam Yang Malang

Disiplin Keilmuan Islam Yang Malang



Pandangan Islam terhadap ilmu sungguh paripurna, dan karenanya sudah dianggap final. Dalam Islam, ilmu tidak dipandang hanya sebagai perangkat lunak yang dapat dijadikan jala guna meraup capaian-capaian pragmatis. Sebab, ilmu merupakan salah satu cerminan bagi pandangan Islam terhadap hidup dan kehidupan: bahwa dalam Islam, hidup tidak hanya berhenti di ruang dunia, tapi juga berlanjut sampai alam akhirat. Maka, fungsi (manfaat) ilmu tidak terbatas pada suatu titik yang memisahkan manusia dengan dunia, tapi terus berlanjut hingga di kehidupan sesudahnya.



Pandangan Islam terhadap ilmu yang sedemikian rupa tersebut meniscayakan usaha ekstra dan berkelanjutan (mujâhadah) untuk meraihnya. Usaha sedemikian itu menjadi salah satu kunci pembuka bagi kemajuan Islam pada periode-periode sejarah yang pernah dilaluinya. Tidak ada kegemilangan suatu peradaban melainkan perhatian terhadap ilmu sudah tercurahkan secara maksimal, sesuai proporsi yang semestinya.



Kemudian, karakteristik unik yang dimiliki ilmu adalah fungsionalitasnya yang mendasar, mapan dan permanen, sehingga tidak mengenal seleksi alam. Maka, bagi ilmu, yang ada adalah pengembangan terus menerus dan berkelanjutan. Tidak ada satu ilmu yang kemudian tidak laku, lalu sama sekali mati, karena dianggap kehilangan urgensitasnya dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Sebab justru ilmu-lah yang menjadi salah satu unsur terpenting penggerak roda perkembangan zaman, serta perangkat inti bagi proses seleksi alam, sehingga ia sendiri tidak ikut terseleksi.



Jika demikian halnya, lalu bagaimana kita menjawab kenyataan akan kian meredupnya peran, gairah dan kesemarakan kajian ilmu-ilmu keislaman? Bukankah sekian banyak ilmu-ilmu yang dimunculkan para ulama brilian Islam masa lalu sudah mulai dipandang sebelah mata, bahkan di kawasan mayoritas Muslim? Bandingkan perhatian umat Islam masa kini terhadap ilmu teknologi informasi, manajemen dan industri, dengan perhatian mereka terhadap fikih, tauhid dan tasawuf. Barangkali Anda akan mendapatkan hasil timpang: 75%:25%, atau bahkan lebih rendah! Betapa malangnya.



Hal ini bukan berarti terjebak dalam lingkaran dikotomisasi ilmu. Islam memang memandang penting terhadap setiap ilmu yang bermanfaat bagi umat, baik berkenaan dengan agama maupun dunianya. Akan tetapi juga tidak boleh dilupakan, bahwa di samping itu para ulama membuat kategorisasi ilmu: ada ilmu fardhu ‘ain (kewajiban individual), ada ilmu fardhu kifâyah (kewajiban kolektif). Ilmu fardhu ‘ain, selain merupakan prioritas utama, juga menjadi kewajiban setiap individu muslim untuk mengetahuinya. Sedangkan ilmu fardhu kifâyah, kendati merupakan kewajiban kolektif, namun seseorang selalu berintegrasi dengan ilmu fardhu kifâyah, karena status dan fungsinya yang menjadi pelengkap dan penyempurna bagi ilmu fardhu ‘ain.



Nah, di sinilah ketimpangan itu terjadi. Perhatian yang tidak berimbang terhadap ilmu-ilmu Islam justru banyak terjadi di kantong-kantong umat Islam. Yang dimaksud tidak berimbang di sini tentu bukan berarti tidak ada perhatian sama sekali. Kajian fikih, tafsir, hadits dan tasawuf, di banyak lembaga Islam tentu ada, tapi dapat dikatakan stagnan, hanya berjalan apa adanya, sehingga inovasi-inovasi gemilang sebatas menjadi capaian masa lalu yang terangkum dalam cerita-cerita sejarah.



Fenomena ini jelas berbeda dengan perhatian yang telah diberikan kepada ilmu-ilmu modern. Di sini, kajian terhadapnya dilakukan secara serius dan kontinu, dengan upaya-upaya pengembangan ke depan yang terukur; ada penelitian, analisa, eksperimen, penelusuran literatur dan lapangan, sehingga disiplin ilmu-ilmu itu selalu menemukan inovasi-inovasi baru yang mengantarkannya pada taraf yang lebih matang. Tentu saja cara seperti inilah yang ditempuh umat Islam masa lalu, sehingga dalam rentang waktu yang cukup lama, setiap disiplin ilmu mengalami laju perkembangan yang signifikan.



Melalui pembacaan sosiologis-empiris, barangkali semakin memudarnya gairah untuk mengembangkan dan memajukan berbagai disiplin keilmuan Islam klasik ini dapat dijelaskan secara logis, dengan memperhatikan gejala-gejala dan fakta-fakta baru yang melingkupi. Setidaknya, kecenderungan yang kurang menguntungkan ini berangkat dari beberapa faktor kunci: politik, ekonomi dan lingkungan.



Penjelasan dari ketiga faktor tersebut cukup sederhana: bahwa dewasa ini, secara “politis”, ilmu-ilmu Islam tidak lagi mendapat perhatian seperti pada masa-masa pemerintahan Islam (khilafah Islamiyah). Pemerintah di ‘negara-negara Muslim’ masa kini sudah tidak lagi tertarik untuk melirik urusan fikih (berkenaan dengan perundang-undangan dan tata kenegaraannya), tauhid (berkenaan dengan ketetapan teologi yang dianut negara) apalagi akhlak dan tashawuf. Berangkat dari tidak adanya ‘lirikan’ pemerintah inilah, maka gairah masyarakat Muslim terhadap disiplin ilmu-ilmu keislaman kian hari kian mengendur.



Namun sebaliknya, pemerintah dan masyarakat justru terus memompa laju ilmu-ilmu eksak yang tentu saja hasilnya dapat dilihat secara langsung, dapat menyumbangkan capaian materi, serta menunjang taraf hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara—tentunya secara materi pula. Akibatnya, mereka yang memperoleh gelar ‘doktor’ bidang fikih, tauhid, tasawuf, tarikh Islam dan yang lain, tidak mendapatkan jaminan yang sama dengan politisi, birokrat, ekonom dan semacamnya, sebab pasar tidak membuka lowongan kerja untuk lulusan ilmu-ilmu Islam. Karena itulah kita dapat menyaksikan dunia ekonomi-bisnis, teknologi informasi dan hiburan mengalami perkembangan secepat kilat.



Kemudian, dua faktor di atas menjadi gejala yang semakin mewabah setelah ditopang oleh kondisi ketiga, yakni faktor lingkungan, di mana dewasa ini minat masyarakat Muslim terhadap disiplin keilmuannya sendiri kian hari kian memble, tidak sebanding dengan perhatian mereka yang berlebihan terhadap disiplin ilmu-ilmu non-agama, yang lebih menjanjikan tumpukan harta. Dan itu sudah terjadi secara merata, mentradisi, menyatu dalam lingkungan dan pikiran kita.



Akhirnya, barangkali ada baiknya jika sejenak kita menyimak cerita adz-Dzahabi dalam pengantar bukunya, Mizân al-I‘tidâl. Beliau menulis demikian: udara yang dihirup dua guru besar hadits, al-Bukhari dan Muslim, adalah udara ilmiah, di mana para pakar ilmu memdapatkan tempat yang istimewa di hati komunitas Muslim. Lihatlah al-Bukhari, ketika berkunjung ke Bashrah, kehadirannya diumumkan dua kali di masjid jami’, lalu para pakar hadits, penghafal al-Qur’an, pakar fikih dan para ilmuwan datang berduyun-duyun dalam jumlah ribuan.



Ada lagi cerita dari Shalih bin Muhammad Jazrah, ia berkata: “Aku menyemak hadits kepada Imam Bukhari di Baghdad, ternyata yang hadir ketika itu sebanyak dua puluh ribu orang!” Lebih mencengangkan lagi, Ibnu Hajar dalam Tahdzîb at-Tahdzîb mengisahkan riwayat hidup Ashim bin Ali, salah seorang guru al-Bukhari, bahwa al-Ujali berkata: “Aku menghadiri majelis Ashim bin Ali, ternyata hari itu majelisnya dipenuhi enam ratus ribu orang!”



Komunitas Muslim masa lalu memang berhasil menciptakan iklim ilmiah yang sungguh mengagumkan.



Penulis adalah staf pengajar Madrasah Miftahul Ulum Pondok Pesantren Sidogiri. Tulisan ini dimuat di Buletin Sidogiri edisi 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar