Selasa, 27 Desember 2011

(Buku of the Day) Sunan Gus Dur Akrobat Politik ala Nabi Khidir

Menyingkap Prilaku Nyleneh Gus Dur
026.jpg
Judul buku : Sunan Gus Dur Akrobat Politik ala Nabi Khidir
Penulis : M. Mas’ud Adnan
Penerbit : Harian Bangsa (Jawa Pos Group)
Edisi : Cetakan pertama, April 2011
Tebal : XIV + 250 halaman
Peresensi : Aryudi A. Razaq



Gus Dur, siapa tak kenal dia? Selain dikenal sebagai tokoh NU, dia juga populer sebagai budayawan, cendekiawan, ulama dan setumpuk laqob (gelar) lain yang menghiasi namanya. Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang nyleneh. Ini Karena banyak gagasan, pemikiran dan ucapan yang dilontarkan Gus Dur tidak lazim sebagaimana tokoh besar yang selalu menjaga dan mengonsep kata-katanya sebelum diucapkan. Apa yang menurut Gus Dur benar, itulah yang dikatakan. Tak peduli ucapannya itu melawan arus. Karena itu, Gus Dur nyaris tak pernah sepi dari konflik dan kontroversi. Tapi dari ketidak laziman itulah, nama Gus Dur kian menjulang dan ketokohannya makin berkibar. Tidak ada orang yang menjulangkan namanya, tapi waktu yang menjawabnya, karena di kemudian hari ternyata ucapan atau ramalan Dus Dur itu terbukti kebenarannya. Orangpun dibikin terperangah.

Kenylenehan Gus Dur –yang kerap berujung dengan konflik itu— nyaris terjadi di semua area, terutama di panggung politik. Sejak mendirikan PKB, Gus Dur selalu “menciptakan” konflik dalam tubuh partai berlambang bumi dikelilingi bintang sembilan itu. Selesai yang satu, muncul yang lain. Mulai berseteru dengan Matori Abdul Djalil, hingga Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Namun konflik Gus Dur, tidak bisa lantas dilihat secara hitam putih. Karena nyatanya, orang yang dimusuhi Gus Dur, justru tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mandiri, lepas dari bayang-bayang kebesaran sang pendekar demokrasi itu. Sebut saja misalnya, perseteruan Gus Dur dengan Cak Imin. Itu tak lebih dari sebuah “sandiwara politik”. Menurut Cak Imin, dirinya dan Gus Dur pernah dipanggil oleh sekelompok tokoh di daerah dekat gunung Lawu. Intinya keduanya diminta islah, bahkan disumpah agar “rukun” selalu. Namun dalam perjalanan pulang dari tempat tersebut, Gus Dur berbisik kepada Cak Imin: “Min, meski kita sudah islah tapi di publik kita tetap beda” kata Gus Dur. Cak Imin mengaku sempat heran dan bertanya-tanya apa makna di balik semua itu. Dan sampai wafat, Gus Dur tetap “beda” dengan Cak Imin. Cerita seputar konflik dan keanehan Gus Dur ini dapat kita jumpai di buku “Sunan Gus Dur Akrobat Politik ala Nabi Khidir” (hal. 14).

Buku yang ditulis M. Mas’ud Adnan ini mengupas prilaku nyleneh Gus Dur, yang kerap memancing konflik. Namun berdasarkan analisa spiritual-supranatural penulis dikaitkan dengan fakta yang ada, konflik yang dibikin Gus Dur bukan sesuatu yang hampa, tapi mempunyai tujuan bagi kepentingan regenerasi ke depan. Cuma sayangnya, publik tidak banyak tahu makna dari konflik itu. Pola “pelatihan” ini mirip sekali dengan cara mendidik Nabi Khidir terhadap santrinya, Nabi Musa. Nabi Musa memang selalu protes dan bertanya tentang perbuatan Nabi Khidir yang dinilainya tidak benar, padahal apa yang dperbuat Nabi Khidir mempunyai tujuan mulya.

Rata-rata orang yang “dimusuhi” Gus Dur adalah kadernya sendiri. Gus Dur-lah yang pertama kali melambungkan nama mereka, namun Gus Dur pula yang berusaha “menenggelamkan” mereka. Dimaklumi bersama bahwa umur manusia terbatas, sehingga harus ada regenerasi. Seorang calon pemimpin juga tidak bisa terus berada di ketiak orang yang melambungkan namanya. Ia harus mandiri dan mempunyai karakter kepemimpinan tersendiri. Maka dalam konteks itulah, signifikansi konflik ala Gus Dur. Sejatinya konflik itu adalah bagian dari upaya Gus Dur untuk melatih dan mendidik mantan anak buahnya agar mempunyai mental yang kuat, berkepribadian dan tahan banting ketika terjun di belantara persaingan yang sesungguhnya. Hanya saja ada kader yang sabar dan ikhlas menerima, ada yang tidak, bahkan akhirnya juga terprovokasi sehingga menyerang Gus Dur secara membabi-buta. Biasanya orang yang sabar itulah yang tampil sebagai pemimpin tangguh dikemudian hari. Sebut saja misalnya, KH Hasyim Muzadi, KH Said Aqiel Siroj, Helmy Faisal Zaini, Lukman Edy, Imam Nahrawi dan Cak imin sendiri.

Tidak berlebihan kiranya jika orang –termasuk penulis— menilai Gus Dur adalah waliyullah. Berdasarkan kriteria yang ada, Gus Dur telah banyak mendapat karamah dari Allah. Karamah itu, misalnya bisa dilihat dari “nalar” Gus Dur yang kerap jauh menerawang ke depan. Contohnya adalah ramalan Gus Dur soal presiden. Empat tahun sebelum pemilihan presiden (1999), Gus Dur pernah menyatakan bahwa dirinya akan menduduki kursi presiden RI. Tentu saja pernyataan itu dianggap lelucon politik. Tak ada yang merespon, apalagi percaya. Pasalnya, ketika itu hegemoni kekuasaan Soeharto masih begitu kuat menancap di bumi pertiwi. Cengkeraman Orde Baru juga begitu super dan menggurita hingga ke pelosok desa. Tak ada tanda-tanda Soeharto bakal tersungkur. Dua tahun kemudian, ketika kekuatan Soeharto mulai tergerus, muncul dua nama yang disebut-sebut pantas menjadi presiden: BJ. Habibie dan Megawati. Nama Gus Dur tidak masuk dalam kalkulasi politik. Apalagi saat itu Gus Dur cenderung mendukung Mega.

Namun ternyata di tengah arus dukungan politik nasional yang terbelah dua, yaitu kepada BJ. Habibie dan Megawati, nama Gus Dur justru muncul sebagai pilihan alternatif. Ini untuk menghindari bentrok massal antara kubu BJ. Habibie dan Megawati. Dan benar, MPR RI akhirnya mengangkat Gus Dur sebagai presiden ke-4 RI.

Contoh lain, tahun 2004 ketika menghadiri Muktamar NU ke-31 di Boyolali Jawa Tengah, di sebuah kamar hotel Gus Dur pernah berucap bahwa Indonesia akan dilanda bencana besar dengan korban ribuan nyawa melayang. Ternyata, tak berapa lama kemudian, terjadilah tsunami Aceh yang begitu mengerikan itu.

Di bagian empat buku ini juga diulas bagaimana tingginya prilaku zuhud Gus Dur. Suatu ketika Gus Dur diberi uang oleh seorang anggota DPR RI sebesar Rp. 15 juta. Gus Dur lalu menaruh uang itu di lacinya. Selagi Gus Dur masih ngobrol dengan orang tersebut, datanglah seorang artis berinial MM. Ia sering muncul di koran karena didzalimi pejabat atau menteri Orde Baru, dinikahi hingga punya anak namun kemudian dicampakkan. MM mengeluh kesulitan uang kepada Gus Dur. Tanpa pikir panjang Gus Dur mengambil uang itu di lacinya dan memberikan kepada MM.

Imam Nahrawi –Sekjend DPP PKB-- juga berkisah. Suatu saat Gus Dur kedatangan tamu di kantor PBNU. Orang itu memberi amplop berisi uang Rp. 35 juta. Selang beberapa saat kemudian datang seorang kenalan Gus Dur yang mengaku perlu uang untuk membangun rumahnya. Gus Dur langsung memberikan uang itu kepada orang tersebut. Anehnya, dia langsung ngacir. Para tamu yang berada di sekitar Gus Dur, termasuk Imam Nahrawi heran, bahkan ada yang mengingatkan Gus Dur bahwa orang tadi tidak jujur dan sering menipu. “Saya tahu. Kan lebih baik menipu saya dari pada menipu orang lain,” kata Gus Dur enteng.

Ya, begitulah Gus Dur. Ia sudah tidak memikirkan uang dan kepentingan pribadinya. Menurut Sulaiman, ajudan Gus Dur, jika menerima uang, Gus Dur selalu Terima-Kasih. Maksudnya, uang diterima lalu dikasihkan kepada orang lain.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan penulis di beberapa media cetak dan online. Karena tulisan itu sifatnya temporal, maka di beberapa topik kita membacanya sudah terasa basi. Namun hal ini bisa “dihibur” dengan sajian tulisan yang mengungkap lakon nyleneh Gus Dur yang penuh misteri dan tak pernah kadaluarsa. Latar belakang penulis –

yang alumni pesantren—cukup mendukung untuk mengupas sisi spiritual dari pola pengkaderan ala pesantren yang ditunjukkan Gus Dur selama ini. Yang menarik, dalam buku ini juga disajikan tulisan tentang ayah Gus Dur, KH. A. Wahid Hasyim dan paman Gus Dur, KHM Yusuf Hasyim. Dua tokoh ini –seperti Gus Dur—juga penuh kontroversi. Uniknya, ide-ide mereka yang semula dianggap nyleneh, kemudian dipraktikkan para kiai di pesantren-pesantren. Padahal semula para kiai itu menentang gagasan-gagasan kontroversial tersebut.

* Kontributor NU Online Jember

1 komentar: