Selasa, 11 Oktober 2011

(Ngaji of the Day) Teror Bunuh Diri dan Sakit Hati

Teror Bunuh Diri dan Sakit Hati

Oleh: Moh. Safrudin, SAg, MPdi



Pelaku teroris, pengebom Gereja di Solo pada hari Ahad lalu pada saat kaum Kristiani melakukan ibadah dan pengebom di masjid Mapolres Cirebon hari Jumát tanggal 15 April 2011 yang lalu, disaat orang muslim melakukan shalat Jum’at. Siapapun orangnya, identitasnya, kelompoknya, tempat tinggalnya, alirannya, adalah orang yang hatinya sedang sakit. Mereka ingin mendapatkan kepuasan dari apa yang dilakukannya itu, dengan cara menghilangkan nyawa orang lain, sekalipun dirinya sendiri juga harus mati.


Itulah sesungguhnya penyakit hati, sedemikian dahsyat bahayanya. Memusnahkan orang lain dijadikan target dan sasarannya. Mereka ingin mendapatkan kepuasan dari menderitakan terhadap orang lain. Mereka ingin menang dari mengalahkan dan bahkan memusnahkan orang lain, dengan cara dan apapun rIsikonya.


Seseorang yang sedang sakit hati, dalam skala kecil juga bisa melakukan teror terhadap siapapun. Misalnya, seorang suami yang sedang sakit hati meneror istrinya, istri meneror suaminya, seorang bawahan meneror atasannya, dan bahkan bisa jadi sebaliknya, atasan meneror bawahannya. Teroris sebenarnya ada di mana-mana, sebab penyikit hati juga bisa diderita oleh siapapun dan dimanapun. Hal yang membedakan hanya skala kekuatannya. Oleh karena yang dianggap musuh cukup besar, dan kebetulan mereka memiliki biaya membuat bom, dan apalagi juga jaringan yang kuat, maka teror yang dilakukan menggunakan bom bunuh diri.


Islam mengajak kepada jalan keselamatan, kedamaian, dan saling menyayangi antar sesama. Demikian pula, Islam menjauhkan orang-orang dari penyakit dengki, iri hati, hasut, suudhon, permusuhan, dan lain-lain. Agama yang dibawa oleh Muhammad saw., mengajak ummatnya agar hidup sehat, bersih, peduli dan toleran terhadap sesama.


Terjadinya bom bunuh diri di Solo pada hari Ahad siang yang lalu, dengan jelas menunjukkan bahwa di negeri ini masih ada orang marah, kecewa, frustasi, dan sekaligus menempatkan pemerintah sebagai musuh yang harus dilawan. Cara memusuhi pemerintah itu dengan melakukan teror, dengan cara apa saja, termasuk bunuh diri di manapun yang bisa dilakukan, seperti di masjid ketika di Cirebon dan di gereja di Solo.


Perilaku orang marah, di manapun dan kapan pun selalu tidak normal. Orang normal tidak akan mau mengorbankan dirinya hingga mati. Apalagi tidak terbayang, bahwa usahanya akan mendapat hasil, karena melawan kekuatan yang jauh dari yang dimilikinya. Mereka hanya akan mengganggu dan menunjukkan bahwa dirinya ada.


Persoalannya adalah, bahwa kegiata itu akan selalu meresahkan dan merugikan banyak orang yang sebenarnya tidak berdosa. Orang yang sedang marah, kecewa dan frustasi, maka kegiatannya tidak akan terkontrol, termasuk yang nyata-nyata mencelakakan dirinya sekalipun.


Mungkin yang perlu dilihat lebih jauh adalah, mengapa mereka marah dan frustasi hingga melakukan kegiatan yang senekat itu. Mereka berpandangan bahwa pemerintah dianggap salah dan harus dilawan. Sebaliknya, mereka melakukan hal itu atas dasar upaya membela kebenaran. Persoalannya adalah kesalahan apa yang dilakukan oleh pemerintah dan juga benaran apa yang dimaksudkan itu.


Pertanyaan sederhana ini perlu dicari jawabnya secara mendalam. Sebab agama tidak mengajarkan seseorang harus membenci pemerintah. Selain itu membela agama tidak selayaknya dilakukan dengan cara kekerasan dan apalagi bahkan hingga merusak dan membunuh orang-orang yang tidak memusuhinya.


Tentu dengan demikian, ada pengertian yang salah, yang selama ini berkembang di tengah-tengah masyarakat. Agama yang mengajarkan tentang keselamatan, kedamaian, kasih sayang ternyata ditangkap sebaliknya, yaitu harus memusuhi orang lain dengan berbagai caranya. Selain itu, pemerintah yang seharusnya didukung dan ditaati bersama-sama, malah dijadikan musuh. Melihat kenyataan ini maka jelas ada sesuatu yang salah, yang seharusnya segera dikoreksi.


Upaya-upaya menanamkan keyakinan bahwa pemerintah adalah milik dan seharusnya dicintai bersama, adalah harus dilakukan secara terus menerus. Kebencian terhadap pemerintah akan melahirkan dampak yang sangat membayahaakan bagi seluruh warga negara. Oleh karena itu kegiatan yang mengarah pada tumbuh dan berkembangkan sikap negatif itu harus selalu dihindari. Kritis terhadap kebijakan pemerintah sebagai warga negara tidak ada larangan, akan tetapi tidak boleh hingga melahirkan kebencian.


Oleh karena itu maka siapa saja, seharusnya menghindari dari melakukan sesuatu yang menyebabkan hati seseorang jatuh sakit. Para elite atau tokoh, tatkala membuat statemen, mestinya memperhatikan dampak sosialnya secara luas dan mendalam. Para birokrat dan juga anggota parlemen dalam memutuskan sesuatu tidak menyebabkan pihak-pihak tertentu, hatinya menjadi sakit. Bahkan tidak terkecuali media massa juga dituntut hal yang sama.


Kehati-hatian seperti itu, secara langsung atau tidak langsung akan mencegah berkembangnya teroris. Sebab para teroris itu pada hakekatnya adalah orang-orang yang terlahir dari situasi tertentu. Para teroris dan bahkan semua orang dilahirkan dalam keadaan bersih dan suci. Maka lingkunganlah yang sebenarnya menjadikan pribadi seseorang terbentuk. Kita tidak ingin bangsa ini melahirkan orang-orang yang hatinya selalu sakit, bahkan sementara menjadi teroris yang membahayakan bagi semua orang.


Demikian pula, pendidikan agama harus diberikan secara cukup dan dalam perspektif yang luas. Pendidikan agama yang kurang memadai akan melahirkan kesalah pahaman dan mudah diekploitasi oleh pihak-pihak tertentu untuk membangun kebencian dan permusuhan. Oleh karena itu, kasus bom bunuh diri tersebut harus dijadikan momentum untuk memperbaiki sikap yang kurang semstinya, baik terhadap pemerintah maupun pelajaran agama yang selama ini dikembangkan. Dengan cara itu, maka apapun yang terjadi tidak hanya melahirkan kerugian, tetapi masih ada sesuatu yang bisa dipetik sisi-sisi hikmahnya. Wallahu a’lam.


* Aktivis Gerakan Pemuda Ansor Sultra Peneliti Sangia Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar