KHUTBAH JUMAT
Mencintai Tanah Air sebagaimana Diteladankan
Rasulullah
Khutbah I
اَلْحَمْدُ
للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ جَعَلَ الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا، وَوَعَدَ
لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا
أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ
هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا
اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ
وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ
وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ
وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ
آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Jamaah yang Berbahagia,
Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk terus
meningkatkan takwallah dengan menjalankan perintah dan menjauhi yang dilarang.
Karena betapa banyak kurnia yang telah kita terima hingga saat ini yang hal
tersebut menjadi cukup alasan terus meningkatkan takwallah. Semoga dengan
demikian beragam nikmat akan terus ditambahkan bagi kebaikan kita, keluarga dan
lingkungan sekitar.
Jamaah yang Mulia,
Kita semua tentu punya rumah. Tempat kita
singgah dalam waktu yang lama. Tempat bernaung dan memperoleh keamanan dan
kenyamanan. Di rumah kita menikmati adanya privasi, kedaulatan
untuk—misalnya—beribadah secara khusyuk, belajar dengan fokus, dan sejenisnya.
Rumah adalah kebutuhan pokok sekaligus hak seseorang yang tak boleh dirampas.
Siapa pun tak berhak mencuri harta benda atau mengganggu rumah kita. Dan
Islam menjamin hak-hak ini sehingga si pemilik boleh membela diri. Seorang
pencuri dalam Islam juga tak lepas dari sebuah sanksi.
Lebih luas dari rumah, kita menyebutnya rukun tetangga atau RT. Lebih luas
lagi, ada rukun warga atau RW, kemudian kampung, desa, kecamatan, kabupaten,
provinsi, hingga negara. Dalam bahasa Arab, untuk menyebut istilah-istilah
tersebut dikenal kata dâr yang biasa diartikan rumah, tempat tinggal, negeri,
atau sejenisnya. Kata lain yang juga digunakan adalah wathan yang
berarti tanah air, tanah kelahiran, atau negeri.
Al-Jurjani pernah menyebut istilah al-wathan al-ashli, yaitu tempat
kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.
اَلْوَطَنُ
الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ
Artinya: Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri
di mana ia tinggal di dalamnya. (Lihat: Ali bin Muhammad bin Ali
Al-Jurjani, At-Ta`rifat, Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi, cet ke-1, 1405 H,
halaman: 327).
Tempat tinggal merupakan keperluan alamiah (thabi’i). Seluruh manusia, bahkan
juga binatang, meniscayakan kebutuhan yang satu ini. Tapi mencintainya adalah
bagian dari mencintai kebutuhan primer manusiawi yang memang sangat dijunjung
tinggi syariat. Tidak salah bila para ulama mengatakan bahwa cinta tanah air
merupakan bagian dari iman atau hubbul wathan minal iman.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri pernah mengungkapkan
rasa cintanya kepada tanah kelahiran beliau, Makkah. Hal ini bisa kita lihat
dalam penuturan Ibnu Abbas Radliyallahu ‘Anh yang diriwayatkan dari
Ibnu Hibban:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا
أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي
مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
Artinya: Dari Ibnu Abbas RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Alangkah
baiknya engkau (Makkah) sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang
paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku
tidak tinggal di negeri selainmu. (HR Ibnu Hibban).
Setelah pengusiran tersebut, Nabi lantas hijrah ke kota Yatsrib yang di
kemudian hari bernama Madinah. Di tempat tinggal yang baru ini, Rasulullah pun
berharap besar bisa mencintai Madinah sebagaimana beliau mencintai Makkah. Hal
ini seperti yang terungkap dalam doa beliau yang terekam dalam
kitab Shahih Bukhari.
اللَّهُمَّ
حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ
Artinya: Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada
Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah. (HR Al-Bukhari 7/:161)
Jamaah Shalat Jumat Hadâkumullah,
Jelaslah bahwa cinta Tanah Air
bukanlah ‘ashabiyah atau fanatisme sebagaimana dituduhkan
oleh sebagian kalangan. Seolah-olah cinta tanah air berarti fanatik buta kepada
negeri sendiri lalu mengabaikan atau bahkan merendahkan negeri lain. Tidak
demikian. ‘Ashabiyah yang menjangkiti suku-suku zaman jahiliyah adalah
sesuatu yang sangat dibenci Rasulullah. Fanatisme kesukuan memicu munculnya
banyak perseteruan antargolongan. Menganggap cinta Tanah Air
sebagai ‘ashabiyah sama dengan menganggap Rasulullah melakukan
sesuatu yang beliau benci sendiri. Tentu pandangan ini sama sekali tidak masuk
akal.
Cinta Tanah Air bukan soal egoisme kelompok. Cinta Tanah Air adalah tentang
pentingnya manusia memiliki tempat tinggal yang memberinya kenyamanan dan
perlindungan. Cinta Tanah Air juga tentang kemerdekaan dan kedaulatan. Sehingga
siapa pun yang berusaha menjajah atau mengusir dari tanah tersebut, Islam
mengajarkan untuk melakukan pembelaan. Ketika kondisi aman, mencintai Tanah Air
adalah sebuah hal wajar, bahkan sangat dianjurkan.
لَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
(Al-Mumtahanah: 8)
Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut juga mengindikasikan bahwa Al-Qur’an
menyejajarkan antara agama dan Tanah Air. Al-Qur’an memberi jaminan kebebasan
beragama sekaligus jaminan bertempat tinggal secara merdeka.
Jamaah Shalat Jumat yang Mulia,
Lalu apa manfaat dari cinta Tanah Air? Apa beda
cinta Tanah Air dengan cinta kita terhadap jenis makanan tertentu atau cinta
kita terhadap hal tertentu? Kita mafhum bahwa kata cinta bermakna lebih dari
sekadar kesukaan atau kegemaran. Cinta mengandung asosiasi mengasihi, merawat,
mengembangkan, juga melindungi. Ketika Rasulullah mencintai negeri Makkah, Nabi
menjadi orang yang sangat peduli terhadap penindasan dan bejatnya moral
masyarakat musyrik kala itu. Saat mencintai Madinah, Nabi juga membangun
masyarakat beradab dengan sistem hukum yang adil untuk masyarakat yang majemuk
di Madinah.
Dengan demikian, cinta Tanah Air jauh dari pengertian fanatisme kelompok. Ia
hadir justru dari semangat untuk menghargai seluruh manusia yang tinggal dalam
satu Tanah Air yang sama meski berasal dari kelompok yang berbeda-beda. Cinta
Tanah Air menandakan seseorang untuk hidup saling menghargai, saling menolong,
dan saling melindungi. Karena Tanah Air adalah tempat mereka lahir, sumber
makanan, tempat beribadah, dan mungkin sekali juga tempat peristirahatan
terakhir bagi kita.
Semoga Allah menjadikan negeri kita dalam limpahan keberkahan, aman, damai, dan
sejahtera. Warga di dalamnya dianugerahi petunjuk sehingga mampu bersatu dan
bersama-sama membangun kemaslahatan untuk semua.
بَارَكَ
الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ
مِنْ آيَةِ وَذْكُرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ
وَاِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ
العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ
أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ
سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا
كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا
عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ
وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ
يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا
تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ
وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ
وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان
وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ
لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا
أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ
اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ
وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ
مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ
وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ
وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ
عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى
اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ
لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي
اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ
يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Ustadz Mahbib Khairon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar