Selasa, 28 Februari 2012

Gus Dur: Kedaulatan Hukum dan Demokrasi


Kedaulatan Hukum dan Demokrasi

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Orang banyak mengeluh, sekarang ini hukum tidak berdaulat di negeri kita, umpamanya saja KKN, bukannya berkurang malahan semakin bertambah. Pengambilan uang dari rakyat, termasuk “pembiayaan” KTP yang semakin mahal. Bahkan hanya orang-orang kaya dan yang mempunyai uang yang dapat mencarikan sekolah pilihan bagi anak-anak mereka yang ‘bodoh’. Ini berarti walaupun banyak anak pandai, tetapi semakin banyak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan karena tidak punya biaya, karena seolah-olah bangku kuliah untuk diperjualbelikan. Ini adalah keadaan yang sangat memilukan, karena sepandai apapun sorang anak mereka harus berhenti sekolah dan mencoba mencari pekerjaan di pasaran kerja yang sudah begitu penuh dengan para pengangguran. Bahwa Undang-Undang Dasar menyebutkan tugas negara antara lain adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak diperhatikan sama sekali.


Pengangguran berjuta-juta orang yang tidak mempunyai lapangan kerja, telah mencapai angka yang fantastik yaitu sudah lebih dari 10% tenaga kerja. Salah satu tugas negara utuk menjaga keamanan di dalam negeri dan menjaga perdamaian di luar negeri, ternyata tidak terbukti dalam kenyataan. Di dalam negeri terorisme terus menerus terjadi, minimal dalam bentuk peledakan bom di tempat-tempat umum (public places). Dalam pembelaannya Amrozi menyebutkan ia merakit bom berukuran kecil saja yang tidak “membahayakan” siapapun. Bom yang lebih dahsyat dan lebih besar buatan orang lain, meledak pada saat yang bersamaan. Bom tersebut adalah yang membunuh lebih dari 200 jiwa manusia, umumnya para turis dari Australia. Namun, pengadilan negeri Denpasar menolak pembelaan/pledoi Amrozi tersebut. Ia pun dihukum mati.


Semula penulis bersikap tak acuh atas pembelaan Amrozi itu. Namun, peledakan bom di Hotel Marriott (Jakarta) beberapa waktu kemudian, juga dengan korban jiwa cukup besar membuat penulis terpana, dan mulai bertanya dalam hati: mengapakah lalu tidak ada kelanjutan penyidikan dari pembelaan Amrozi itu? Benar atau salahkah yang dikemukakannya dalam pembelaan tersebut? Mengadakan penyelidikan seperti itu justru akan mengenai sejumlah “Sapi Keramat” yang harus diselamatkan dari tuntutan, dengan cara apapun dan dengan biaya berapapun? Dengan kata lain, apakah mungkin ada hal-hal yang harus ditutup-tutupi?


Hal ini semakin diperkuat dengan adanya pembunuhan atas dua orang “orang biasa” anggota Nahdlatul Ulama di daerah Lumajang dan Jember yang dibunuh oleh dua gerombolan manusia berpakaian dan bertopeng ninja. Peristiwa ini mengingatkan kita akan pembunuhan serupa, namun kasusnya tidak di apa-apakan (diperiksa sekalipun tidak) oleh pihak keamanan, yang terjadi beberapa tahun yang lalu di Kabupaten Banyuwangi. Tentu saja penulis lalu menyampaikan hal itu kepada aparat keamanan melalui media massa. Penulis khawatir, jika tidak langsung diberitakan atau tanpa diketahui massa, tidak akan ada penanganan para penegak hukum yang bersungguh-sungguh dari pihak aparat keamanan. Karena sudah banyak sekali terjadi hal-hal seperti itu tidak pernah ditangani secara serius. Soal yang satu ini pun, belum tentu juga ditangani secara bersungguh-sungguh. Jika masalahnya ‘berhubungan’ dengan tindakan dari instansi pemerintahan, tentu akan didiamkan oleh pihak keamanan.


Kejadian di atas menunjukkan, bahwa kedaulatan hukum belum sepenuhnya tegak di negeri kita. Aparat keamanan masih melakukan “tindakan memilih” dari sekian ribu kejadian yang menimpa masyarakat kita. Seolah-olah yang berkuasa di negeri ini bukanlah hukum tetapi lembaga tertentu saja, yang tentu saja melakukan tindakan-tindakan “ekstra konstitusional” alias bertindak di luar hukum. Di sinilah inti dari sebuah sistem masyarakat, apakah ia negara hukum atau bukan? Kita memiliki konstitusi yang tidak pernah dipatuhi oleh siapapun, termasuk oleh pembuatnya sendiri. Buktinya adalah uang lebih yang harus dibayarkan oleh warga negara ketika mengurus KTP atau surat ijin apapun. Penguasa menjadi sangat berkuasa, lebih dari apa yang seharusnya ia miliki menurut undang-undang.


Bahkan mengurus paspor sekalipun, yang memang sudah menjadi hak warga negara, menjadi sangat sulit dan penuh rambu-rambu yang seakan-akan tidak dapat ditembus oleh seorang “warga negara biasa”. Lalu haruskah dilakukan pembayaran pada “pihak yang mengurusi” yang dapat mencairkan kesulitan mengurus birokrasi. Ini berlaku dihapir seluruh bidang pemerintahan yang sangat luas itu. Pemegang kekausaan, sekecil apapun kedudukannya dapat menentukan nasib seseorang dalam mencari pekerjaan atau memperoleh usaha. Bahkan sepak bola, olahraga yang paling digemari di negeri ini penuh dengan berita-berita penyuapan dan pertaruhan uang yang tidak sehat. Sungguh tragis ! Sementara para pengatur permainan sepak bola, seperti PSSI yang bekerja memperbaiki teknik permainan ‘diatur’ oleh pihak-pihak yang melakukan pertaruhan/penyuapan, tidak pernah dituntut ke pengadilan.


Nah, negara yang seharusnya diatur oleh mekanisme pasar, menurut undang-undang dasar kita, ternyata diatur oleh mekanisme tindakan-tindakan di luar hukum, yang tiap-tiap kali dilakukan oleh “oknum-oknum” yang tidak pernah terkena jeratan hukum, maupun hal-hal lain yang bersifat pembatasan wewenang siapapun tanpa pandang bulu. Bahkan, Presiden sekalipun ternyata juga tidak dibatasi wewenang yang dimilikinya oleh hukum, terlihat dari kenyataan tidak ada undang-undang kepresidenan yang akan membatasi kekuasaannya itu. Karenanya jangankan sang Presiden, orang-orang tidak berjabatan resmi tetapi menjadi keluarganya atau teman dekatnya menjadi sangat ditakuti. Dan segala macam perintah mereka dilakukan oleh para petugas “di bawah” mereka. Keadaan yang sangat memilukan hati ini berjalan terus hingga sekarang, sehingga tidak ada pilihan lain selain nanti dalam pemilihan Presiden, haruslah dipilih orang yang akan mampu melakukan perbaikan, melalui perombakan besar-besaran dalam sistim pemerintahan dan menegakkan kebersihan diri.


Di sinilah terletak pesimisme yang diperlihatkan sebagaian warga masyarakat kita mungkinkah akan muncul seseorang itu? Bagi mereka yang pesimis, tentu saja mengawasi perkembangan keadaan seperti itu dan berkesimpulan tidak akan pernah ada orang seperti itu. Karenanya, mereka “bersiap-siap” menyosong kenyataan seperti itu dengan apatisme sangat besar atas jalannya pemilu beberapa bulan lagi. Bukankah sikap seperti itu mematikan upaya demokratisasi itu sendiri, jika diikuti oleh cukup banyak pemilih, walaupun diperkirakan tidak akan menghasilkan demokrasi yang utuh. Tetapi paling tidak ia merupakan upaya untuk mewujudkan demokrasi itu di negeri kita. Bukankah kata pepatah Tiongkok kuno perjalanan 10.000 lie (+ 5.000 KM), dimulai dengan ayunan langkah pertama?.


Jelaslah dari uraian di atas, bahwa kunci bagi tegaknya demokrasi di negeri ini adalah tegaknya kedaulatan hukum. Dan kedaulatan hukum hanya tegak kalau kita berani menjalankan peraturan-peraturan intern yang kita buat untuk kalangan kita sendiri, maupun untuk rumah tangga. Karenanya membangun demokrasi bukanlah dari hal yang muluk muluk, melainkan sesuatu yang biasa dan harus dilaksanakan berulang kali secara terus menerus. Ia bukanlah slogan yang hebat dan harus didengung-dengungkan setiap saat, melainkan hal-hal kecil yang dilakukan secara terus menerus. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan?


Jakarta, 4 Desember 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar